Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Grafiti di Tembok Mungil

Museum of Toys memamerkan sekitar 300 karya dalam "Museum of Walls". Grafiti berukuran kecil.

11 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran grafiti di kanvas mungil.

  • Grafiti muka tembok yang menghadirkan tokoh seram secara menggemaskan.

TULISAN grafiti itu gahar: "Genderuwall". Kata itu mengingatkan pada genderuwo, makhluk mistis yang dikenal di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Bentuk genderuwo dalam mitos mahkluk astral digambarkan seram. Ia bertubuh tinggi dan kekar, menyerupai kera, serta senang berdiam di pepohonan dan bangunan besar. Namun citra itu buyar di tangan William Davis, ilustrator yang beken dengan nama Wd Willy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Willy mengenalkan genderuwo versi ceria yang malah terlihat menggemaskan. Makhluk ini berambut ikal biru elektrik dengan wajah dipulas warna toska yang cerah. Kedua bola matanya melotot. Tapi kesan sangar jauh karena matanya diwarnai hijau neon yang mencolok. Adapun bibir si genderuwo yang tebal itu menganga, memperlihatkan dua taring tajamnya. Bibir itu pun berwarna terang, violet, dengan lidah merah muda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedua kakinya juga tampak mencolok. Kaki kanannya yang berwarna toska memakai sepatu hijau. Sedangkan kaki kirinya dicat merah muda dan mengenakan sepatu kuning menyala. Di sisi luar kedua sepatu itu terdapat mata yang membelalak khas karya Wd Willy, yang senang membubuhkan "kehidupan" seperti mata, kuping, ataupun mulut ke obyek-obyek mati.

Gambar genderuwo ini diguratkan Willy pada medium tembok mini yang disebut Muka Tembok. Bahannya vinil dengan ukuran 20 x 6 x 22,5 sentimeter. Tekstur Muka Tembok dibuat menyerupai tembok bangunan, berupa susunan bata putih dengan pinggir tidak rata. Setelah dicoret-coret Willy, Muka Tembok bersalin wajah bak kanvas grafiti yang banyak kita jumpai di jalan raya dan gang permukiman. Bedanya, pada Muka Tembok, Willy menggambar dengan Posca. Produk bikinan Jepang ini berbentuk mirip spidol, tapi warna yang dihasilkan menyerupai cat akrilik.

Genderuwall 20cm x 6cm x 22,5cm karya William Davis. Dok. MOT

Willy memilih Posca karena sesuai dengan medium Muka Tembok. Hasilnya adalah warna yang solid dan tak menggumpal, beradaptasi dengan karakter bata vinil yang bergelombang. "Lumayan susah mengecat Muka Tembok karena teksturnya bata, beda dengan bidang datar lain seperti kertas. Tapi buatku ini justru menantang," kata lelaki 29 tahun itu.

Genderuwall adalah satu dari 363 karya yang dipajang dalam pameran daring di situs lembaga nirlaba Museum of Toys. Pameran bertajuk "Museum of Walls" alias museum dinding itu digelar pada 9 Agustus-13 September 2021 atas prakarsa Museum of Toys dan studio desain Brainsack yang didirikan tiga seniman berjulukan Comolo, Crack, dan The Punten. Ketiganya berangkat dari komunitas grafiti yang mulai produktif menggarap karya seni rupa dinding dan produk mainan pada 2018.

Karakter Muka Tembok salah satu “anak” yang dilahirkan Brainsack. Idenya datang dari adegan grafiti di Jakarta berupa patahan tembok dengan dua kaki bersepatu. Bentuk itu menyimbolkan sosok yang sedang meloncat membawa kabur patahan tembok. Istilah "muka tembok” sendiri berarti orang yang tak peduli terhadap penilaian orang lain kepada dirinya. "Kami bertiga awalnya ingin membuat medium yang terinspirasi dari komunitas," tutur Ronny Pratama alias The Punten, salah satu ilustrator pendiri Brainsack, saat dihubungi, Selasa, 7 September lalu.

Medium ini sengaja dibuat mungil dan ringan agar bisa dipindahkan dan dipajang di mana pun. Kanvas mini ini juga didesain untuk menggoda masyarakat luas agar tertarik pada seni corat-coret tembok. Bila memang melukis sembarang tembok dirasa berdosa bagi sebagian orang, menggambar di Muka Tembok tak kalah menantang. "Kami ingin menjangkau masyarakat yang lebih luas, termasuk anak-anak, untuk berkreasi. Konsepnya terserah lu Muka Tembok-nya mau diapain, ujarnya.

Blau Legion. Dok. MOT

Sejatinya, Muka Tembok lahir pada 2018. Namun ketika itu medium ini masih berbahan resin. Detailnya pun belum sehalus sekarang. Kemudian Museum of Toys menggandeng Brainsack untuk berkolaborasi menggelar pameran. Acara yang semula akan digelar langsung diubah menjadi pameran daring karena pandemi Covid-19. Keseruan membuat grafiti pada tembok mini menjadi tantangan yang mesti dipecahkan para seniman.

Pendiri Museum of Toys, yang bermarkas di Green Lake City, Tangerang, Banten, Win Satrya, mengaku tertarik pada paduan konsep suguhan Brainsack dan grafiti. Medium itu sama uniknya dengan ribuan koleksi museumnya yang kebanyakan adalah mainan karya desainer, seperti halnya Muka Tembok. "Saya ingin kita punya mainan yang khas Indonesia, dan terkenal seperti produk Hasbro dan Marvel. Karena itu, Museum of Walls pun menawarkan konsep yang Indonesia banget," kata Win.

Pembuatan grafiti sebenarnya isu lama yang belakangan ini kembali hangat dan menjadi perbincangan di media sosial. Win merasa penting untuk melihat pembuatan grafiti oleh seniman dari bidang lain. Bukan hanya seniman grafiti yang mereka ajak berkolaborasi untuk proyek pameran ini, tapi juga seniman tato, desainer grafis, serta pelukis. Di antara mereka, ada yang sudah punya basis penggemar di media sosial, seperti Wd Willy, tapi ada juga pendatang baru yang ingin memperkenalkan diri.

Blau Face. Dok. MoT

Dari situlah kita bisa menikmati interpretasi seni tembok dari berbagai perspektif. Ada seniman yang memotong Muka Tembok menjadi sejumlah bagian untuk disusun kembali menjadi medium bentuk baru yang estetis. Ada pula yang mengukirkan satire sosial ke tubuh Muka Tembok dengan gaya khas. Salah satunya Eka Aprizal. Lewat karya Myth Wall, Eka menyiram Muka Tembok hanya dengan satu warna: merah darah. Di salah satu sisinya, ada relief manusia dengan berbagai karakter. "Tembok tak perlu ditakuti karena justru memperkaya dunia," ucapnya.

Namun Win menekankan bahwa pada dasarnya Muka Tembok adalah sebuah mainan. "Muka Tembok bukanlah pengganti seni corat-coret tembok. Mengkritik melalui grafiti tetap diperlukan," ujarnya. "Kami ingin karya para seniman di sini mengingatkan kita bahwa sebuah peradaban modern, termasuk di Indonesia, mulanya adalah sebuah tembok."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus