Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sudjojono membuat 38 sketsa lukisan penyerbuan Sultan Agung ke Batavia.
Museum Tumurun membelinya dari istrinya melalui pendekatan selama dua tahun.
Pertama kali tersaji untuk publik.
“BUAT saya sketsa itu penting sekali. Dari itu nasihat saya, kalau ada pelukis dikatakan besar, atau ada master dikatakan kelas berat, coba lihat buku sketsa dia. Bukti si master atau si pelukis gede itu terlihat di garis-garis sketsa hitam-putih tadi. Menurut pengalaman saya, kalau bisa saya lihat sketsa-sketsa mereka, kasihan, banyak mereka bergelimpangan di bawah tanah,” demikian ujaran Sindoedarsono Sudjojono pada 1970.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sketsa bagi Sudjojono, perupa kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, teramat krusial. Dengan warna, menurut Sudjojono, seseorang bisa menipu. Pun dengan tema. Namun sketsa berjarak dengan tipu muslihat. Itu pula yang membuat maestro yang wafat pada 1985 dalam usia 72 tahun ini mencatatkan banyak detail dalam sketsanya. Termasuk yang terkait dengan salah satu mahakaryanya, lukisan Pertempuran Antara Sultan Agung dan JP Coen pada kanvas berukuran 3 x 10 meter. Lukisan yang terpajang di Museum Sejarah Jakarta itu dikerjakan Sudjojono pada 1973.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam menyiapkan lukisan tersebut, Sudjojono membuat 38 sketsa, yang kini sedang tampil dalam pameran “Mukti Negeriku!” di Tumurun Private Museum, Solo, Jawa Tengah, pada 27 Agustus 2021-28 Februari 2022. Ini pertama kali rangkaian sketsa lukisan Sultan Agung goresan Sudjojono tampil lengkap untuk publik. “Semua sketsanya kami dapatkan dari keluarga Sudjojono, dan sudah menjadi koleksi Tumurun sekitar setahun terakhir ini,” ucap pemilik Tumurun yang juga Wakil Presiden Direktur PT Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, saat ditemui Tempo di galerinya, Selasa sore, 7 September lalu.
Total ada 38 sketsa yang disuguhkan di galeri Tumurun. Sketsa itu dibagi menjadi tiga kelompok, yang masing-masing mewakili ketiga panel lukisan. Yang berhubungan dengan panel pertama ada 5 sketsa, panel kedua adalah yang terbanyak karena memuat detail adegan pertempuran dengan 31 sketsa, dan panel ketiga terhubung dengan 2 sketsa. Dalam setiap sketsa itu, termuat detail-detail yang terkait dengan adegan dalam panel. Misalnya cara Sultan Agung duduk di singgasana, umbul-umbul pada masa itu, bendera, motif batik, juga visualisasi alas kaki yang dikenakan raja, prajurit, dan rakyat biasa. Ada juga sketsa pertemuan Kiai Rangga dengan Jan Pieterszoon Coen di Batavia.
Sejumlah sketsa Sudjojono tentang Sultan Agung dalam pameran Mukti Negeriku di Museum Tumurun, Solo, Jawa Tengah, 10 September 2021. TEMPO/Bram Selo
Iwan membeli langsung semua sketsa itu dari istri Sudjojono, Rose Pandanwangi, 92 tahun. Sketsa-sketsa itu menjadi kesatuan karena memang seluruh alur cerita lukisan ada dalam rangkaian ini. “Semua sketsa dikirimkan dengan mobil biasa karena perjalanannya cukup singkat, dan tak memakai perlakuan khusus,” ujar lelaki 38 tahun itu.
Menurut Iwan, Rose percaya Tumurun dapat merawat dengan baik peninggalan suaminya, juga memamerkannya ke publik. Adapun selain sketsa, Iwan menyimpan empat lukisan Sudjojono yang ia koleksi sejak tiga tahun lalu. Iwan menyebutkan Rose amat emosional saat berpisah dengan sketsa-sketsa itu. Terlebih bila mengingat sejarahnya, saat Sudjojono melakukan riset lukisan Sultan Agung sampai ke Belanda dengan biaya pribadi. Sementara itu, pada masa tersebut, kondisi keuangan keduanya belum stabil betul.
Ia menjelaskan, pendekatan yang dilakukan Tumurun dengan Sudjojono Center yang sebelumnya mengoleksi sketsa-sketsa itu berlangsung sejak dua tahun lalu. Dari situ Iwan mendapati bahwa pihak keluarga menyimpan dengan rapi sketsa dan naskah tulisan tangan Sudjojono. Namun, untuk yang terakhir, hingga kini masih menjadi koleksi keluarga karena isinya personal. “Ini bisa diadopsi seniman lain, karena pengarsipan sangat vital bagi nasib satu karya seni,” tuturnya.
Selain dengan keluarga Rose, Iwan berjejaring di komunitas seni rupa. Di situ, menurut dia, banyak yang berharap sketsa lukisan Sudjojono dirawat oleh satu institusi dalam satu rangkaian penuh agar tak tercecer.
Dari serangkaian koleksi sketsa Sudjojono di Tumurun, Iwan menaruh perhatian lebih pada bagian bagian sketsa Sudjojono yang melakukan studi terhadap adegan pertempuran. Pada mural yang dibuat Sudjojono di Museum Fatahillah, Jakarta, adegan pertempuran di Batavia pada 1628 itu disuguhkan Sudjojono di bagian tengah panel.
Sketsa-sketsa mengenai pertempuran ini, menurut Iwan, disuguhkan secara cermat oleh Sudjojono. Sudjojono demikian detail dalam sketsa-sketsanya dalam mempelajari aksen, pakaian, dan wajah prajurit yang digambarkan multietnis karena pada masa itu Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC diperkuat tentara bayaran.
Pameran seni rupa Mukti Negeriku di Museum Tumurun, Solo, Jawa Tengah, 10 September 2021. TEMPO/Bram Selo
Lukisan Sultan Agung dulunya dipesan khusus oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dalam rangka peresmian Museum Sejarah Jakarta pada 1974. Demi lukisan itu, Sudjojono pergi ke Belanda selama tiga bulan untuk meriset lebih dalam sejarah pertempuran di Batavia tersebut. Ia lalu menumpahkan penelitiannya ke puluhan sketsa yang dibubuhi narasi mendetail mengenai obyek dan peristiwa yang ia gambarkan. Pada masa itu, Sudjojono juga sampai menempati studio khusus untuk merampungkan lukisan besar tersebut.
Memang, tak semua informasi yang disajikan Sudjojono dalam lukisan Sultan Agung sejurus dengan catatan sejarah. Ada sejumlah hal yang masih ditelusuri lebih lanjut, seperti pertemuan Kiai Rangga (lelaki berserban) dengan J.P. Coen (memakai baju khas Eropa pada era itu) yang tergambar di panel ketiga. Bahkan Sudjojono sendiri menyiratkan keraguannya ke dalam catatan. Dalam sketsa, kedua tokoh tersebut digambarkan berjumpa di dalam ruangan. Tapi, dalam lukisan, Kiai Rangga dan J.P. Coen bertemu di ruang terbuka berlatar Pelabuhan Sunda Kelapa.
Namun, terlepas dari itu, Iwan menilai lukisan dan serangkaian sketsa Sudjojono ini epik dan layak ditahbiskan sebagai salah satu cagar budaya nasional. Status itu penting agar lukisan tersebut mendapat perhatian lebih. “Saya melihat kondisi lukisan itu sekarang kurang terawat, dan itu menyedihkan,” katanya.
Adapun saat ini lukisan itu masih berumur 47 tahun, sementara syarat obyek yang bisa didaftarkan sebagai cagar budaya mesti berusia minimal 50 tahun. Bila nantinya diterima sebagai obyek cagar budaya, lukisan Sudjojono itu tetap akan menjadi milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Rangkaian sketsanya pun berstatus koleksi pribadi Iwan.
DINDA LEO LISTY (SOLO)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo