Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Platform digital, Klik Film menghadirkan film Kambodja yang berlatar tahun 1955, sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka. Film produksi Falcon Pictures ini dibintangi oleh Adipati Dolken, Della Dartyan, Revaldo, dan Carmela van der Kruk. Film besutan sutradara, Rako Prijanto ini bisa ditonton mulai 13 Mei 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Rako Prijanto mengaku tidak mengalami kesulitan saat menyutradarai film ini, meski mengambil setting Jakarta 1955. "Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Semua pemain berakting secara optimal. Chemistry antar pemain juga sudah terjalin saat proses reading," kata dia dalam siaran pers yang diterima Tempo pada Kamis, 5 Mei 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Adipati Dolken pun mengungkapkan semangatnya. "Akhirnya setelah lama menunggu film ini tayang juga. Meski baru melihat trailernya, tapi sedikit menghilangkan rasa penasaran," ujar Adipati. " Terimakasih mas Rako dan Falcon Pictures, yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk terlibat dalam film Kambodja ini," timpal Della Dartyan.
Revaldo juga merasa senang, bisa kembali bekerja sama dengan Rako Prijanto dan Adipati Dolken. "Ini bukan film pertama saya bersama Rako Prijanto dan Adipati Dolken. Mudah-mudahan, film ini bisa menghibur penggemar film Indonesia," ujarnya.
Film Kambodja mengisahkan Jakarta pada 1955, saat Indonesia belum genap sepuluh tahun merdeka. Danti dan suaminya, Sena, mendatangi sebuah rumah kos milik Cik Mei. Danti bekerja di perpustakaan, adapun Sena aktif di sebuah partai. Rumah kosan itu hanya punya tiga kamar.
Kamar pertama dihuni Bayu, seorang penulis lepas kolom opini dan cerita pendek di surat kabar. Ia tinggal bersama istrinya, Lastri, seorang biduan. Kamar kedua nantinya akan dipakai Danti dan Sena. Sedangkan kamar ketiga, lebih sering kosong, padahal disewa seseorang bernama Erwan.
Kehidupan kosan berasa sunyi, saat Sena pergi ke luar kota untuk urusan partai. Sedangkan Lastri juga keliling kota untuk bernyanyi di acara kampanye suatu partai. Saat itu bulan-bulan menuju pemilu tahun 1955.
Danti dan Bayu nyaris tak pernah bercakap. Setiap kali berpapasan di selasar atau ruang makan, keduanya hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Suatu malam, Bayu yang kegerahan membawa mesin tiknya ke ruang tamu. Di situ duduk Danti tengah mengipas-ngipas kegerahan.
Bayu minta maaf dan mau beranjak ke tempat lain. Tapi Danti mencegah, karena udara memang amat panas. Ruang tamu adalah ruangan yang sirkulasinya paling baik, udara mengalir deras. Bayu tersenyum kaku dan mulai mengetik. Ia tak sadar, saat diam-diam Danti beringsut pergi.
Bayu menyetorkan tulisannya pada redaktur surat kabar. Redaktur menganggap tulisan Bayu terlalu dangkal. Tulisannya ditolak. Bayu yang kesal, memutuskan pergi ke perpustakaan untuk mencari referensi. Ia tak menduga bertemu Danti. Bayu dan Danti akhirnya berjalan bersama untuk pulang ke kosan. Saat menunggu bis umum, mereka berteduh di bawah pohon Kambodja. Mereka bercakap-cakap untuk pertama kalinya.
Hidup berjalan terasa membosankan. Danti menunggu-nunggu Sena pulang. Bayu pun selalu ditinggal Lastri. Tanpa sadar Bayu dan Danti memiliki ikatan, karena kesamaan. Sama-sama merasa sepi. Sama-sama diabaikan.
Suatu hari, Danti memeriksa dompet Sena dan mendapatkan tiket perjalanan dari Surabaya. Di kamar sebelah, tanpa sengaja Bayu mendapatkan tiket perjalanan Lastri dari Surabaya. Danti mengajak bicara Bayu. Percakapan itu menguak kisah tentang perselingkuhan Sena dan Lastri. Dalam keadaan terluka, Danti dan Bayu, tersesat. Hanya sekali itu saja. Kejadian sekali itu, malah membuat Danti menjauhi Bayu, karena merasa bersalah.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.