Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film tentang pertemuan tiga tokoh Jawa.
Film fiksi Simpang Masa karya Subiyanto.
Akan diputar dalam dua festival film di Yogyakarta dan Bali.
KETIGANYA tampak serius di sebuah ruangan yang teduh. Mereka duduk bertiga menghadap meja bulat. Sesekali dari mereka ada yang berdiri sambil bercakap dengan lawan bicaranya. Mereka berbusana rapi dalam balutan kain, mengenakan blangkon. Yang membedakan adalah baju beskap yang mereka kenakan: dua orang tampak memakai beskap mewah, sementara yang satu memakai kain lurik. Mereka tiga tokoh penting dalam sejarah tanah Jawa pada abad ke-19, yakni Adipati Mangkunegaran Surakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV; Pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Ronggowarsito; dan seniman kenamaan pada zaman itu, Raden Saleh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita diawali dengan Mangkunegara IV dan Raden Saleh yang asyik berbincang di dalam sebuah ruangan di Istana Mangkunegaran itu. Raden Saleh berbincang sembari membuat sketsa lukisan potret Mangkunegara IV. Mereka membahas berbagai hal. Salah satunya sejumlah aturan pemakaian busana yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Sesuai dengan aturan, pemakaian busana kala itu harus senantiasa disesuaikan dengan acara yang akan dihadiri dan melihat siapa yang mengenakannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka pun membincangkan keprihatinan akan tanah leluhur mereka seusai Perang Jawa yang sangat menguras tenaga, pikiran, material, hingga nyawa. Dalam bahasa Jawa kuno, mereka mendiskusikan sekaligus mendebatkan seni dan kemerosotan ekonomi, budaya, dan politik di Jawa; kekhawatiran-kekhawatiran akan kondisi rakyat Jawa; serta apa yang hendak mereka lakukan untuk Jawa.
Salah satu topik pembicaraan adalah upaya mengusir Belanda dari tanah Jawa. “Siapa nanti yang akan menang dan kalah? Ketika senapan sudah mengarah pada kepala macan dan macan sudah bersiap menerkam manusia, siapa yang tidak ingin mengusir Belanda pergi dari tanah Jawa?” kata Ronggowarsito dalam bahasa Jawa yang sangat sastrawi kepada Raden Saleh. Pelukis itu menjawab pertanyaan sang pujangga: “Saya juga tidak tahu siapa yang akan hidup dan mati. Yang menarik bagi saya adalah situasi itu sendiri. Ketika makhluk dihadapkan pada situasi yang sulit, antara terkaman atau tembakan senapan.”
Mereka bertiga “dipertemukan” oleh Subiyanto dalam film berjudul Simpang Masa, yang merupakan karya tugas akhir di Institut Seni Indonesia Surakarta, Jawa Tengah. Pertemuan imajiner ini mempersuakan ide, curah pikir ketiga tokoh Jawa itu. Subiyanto mengakui belum ada bukti ilmiah pertemuan ketiganya secara fisik. Namun dia mendasarkan filmnya pada beberapa dokumen yang ia teliti.
Film fiksi itu baru saja diputar di Rumah Kita Baluwarti, Pasar Kliwon, Surakarta. Film berdurasi 90 menit dengan tampilan hitam-putih ini pernah diputar di Jogja-NETPAC Asian Film Festival Film 2021 (Official Selection) dan Festival Film Internasional Bali (Balinale) 2022. Rencananya, film itu juga akan diputar di komunitas film di beberapa kota lain, seperti Semarang dan Yogyakarta.
Mangkunegara IV membawa kejayaan Kadipaten Mangkunegaran dengan mendirikan dua pabrik gula, yakni Colomadu dan Tasikmadu, untuk memperkuat ekonomi wilayah kekuasaannya. Ia juga seorang seniman dengan karya antara lain Serat Wedhatama, Serat Tripama, dan Serat Paliatmo. Sedangkan Ronggowarsito adalah pujangga terakhir Kasunanan Surakarta dengan karya antara lain Serat Kalatida dan Serat Jayengbaya. Dia juga menjadi anggota redaksi koran berbahasa Jawa, Bromartani.
Adapun Raden Saleh adalah maestro lukis yang melanglang hingga Eropa dan meraih apresiasi karena karyanya, antara lain lukisan Ratu Belanda Wilhelmina. Tiga seniman Surakarta berperan dalam film itu: Yustinus Popo (Ronggowarsito), Turah Hananto (Mangkunegara IV), dan Sosiawan Leak (Raden Saleh).
Subiyanto semula membuat dialog dalam bahasa Indonesia, tapi kemudian mengubahnya menjadi bahasa Jawa. “Ketika saya riset itu saya mulai membaca karya-karya sastra Jawa, terutama Ronggowarsito. Jadi terpikir oleh saya film itu menggunakan bahasa Jawa yang digunakan pada kisaran tahun 1866," ujarnya. Butuh enam bulan baginya untuk berkonsultasi mengenai bahasa Jawa dengan pustakawan Mangkunegaran dan ahli bahasa Jawa dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Perubahan bahasa dalam dialog film itu Subiyanto akui menjadi tantangan tersendiri. Para pemeran sudah mulai menghafalkan dialog pada seminggu pertama pembuatan film. Tapi akhirnya mereka harus memulai dari awal dengan bahasa Jawa. “Itu tantangan, tapi jadi menarik. Ada diksi yang tidak pas dalam bahasa Indonesia, maka diputuskan memakai bahasa Jawa,” ucapnya kepada Tempo.
Subiyanto sangat antusias menggarap film ini karena mempertemukan gagasan para tokoh tentang banyak hal, dari nasionalisme, kemandirian ekonomi, hingga budaya. Menurut dia, para tokoh ini adalah orang yang terasing di zaman mereka. Mereka berusaha “melawan” Belanda dengan cara masing-masing. Dari sana ia juga melihat ada pergolakan batin dalam ketiganya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Septhia Ryanthie berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pertemuan Imajiner Raden Saleh, Ronggowarsito, dan Mangkunegara IV"