Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Artefak dan Manuskrip Kuno Kembali dalam Repatriasi

Ratusan artefak kembali ke Indonesia sejak 1970-an. Artefak teks dan manuskrip belum banyak mendapat perhatian.

3 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengunjung melihat Arca Mahisasuramardini di pameran repatriasi yang bertajuk “Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara”, di Galeri Nasional, Jakarta, 30 November 2023. Tempo/Magang/Joseph.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Empat arca Candi Singasari telah kembali bersama ratusan harta jarahan Lombok.

  • Masih banyak artefak lain menunggu kejelasan.

  • Artefak teks dan manuskrip butuh perhatian untuk kepentingan pengkajian.

ARCA Prajnaparamita yang anggun diletakkan paling depan seperti menyambut para pengunjung di halaman Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Dewi kebijaksanaan dalam kepercayaan Buddha Tantrayana ini berada dalam posisi bersila. Tangannya digambarkan dalam sikap dharmachakra mudra yang berarti “sedang memutar roda darma”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arca sang dewi duduk di atas lapik yang tertutup kain panjang. Perhiasannya terlihat menjuntai di atas lapik seperti bunga teratai. Sikap kakinya padmasana, yaitu disilangkan sehingga telapak kaki kiri dan kanan terletak di atas kedua paha. Kepalanya agak menunduk sehingga wajahnya tak terterangi cahaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koleksi Museum Nasional Nomor Inventaris 17774 tersebut kembali ke Indonesia pada Januari 1978. Kini sang Prajnaparamita telah ditemani empat arca lain yang baru saja kembali ke Tanah Air pada 18 Agustus lalu. Empat arca dari Candi Singasari itu diangkut ke Belanda pada era kolonial Belanda. Diperlukan dua tahun dialog hingga tercapai kesepakatan pemerintah Belanda-Indonesia di Museum Volkenkunde. Keempat arca ini dikirim dari Museum Volkenkunde di Leiden oleh pemerintah Belanda ke Amsterdam hingga ke Jakarta.

Empat arca ini adalah Mahakala, Ganesha, Durga Mahisasuramardini, dan Nandiswara. Keempatnya diletakkan bersampingan melingkar. Di samping kiri arca Prajnaparamita, diletakkan arca Mahakala, representasi Dewa Syiwa dalam wujud mengerikan (krodha). Kedua tangannya memegang belati dan gada. Posisinya dinamis dengan lekuk tubuh alami serta ukiran rambut keriting dan ikal yang naturalis.

Di samping Mahakala, ada sang Ganesha yang unik. Seperti dikatakan pada tulisan sebelumnya, arca Ganesha ini istimewa karena kaki kanannya seperti diangkat sehingga memberikan kesan dinamis. Di samping kiri Ganesha terlihat arca Durga Mahisasuramardini, sang Durga yang berada dalam posisi dinamis, kaki mengangkang berdiri di atas kerbau yang pasrah. 

Arca ini mengundang kekaguman para pengunjung pameran "Repatriasi Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara" pada 28 November-10 Desember 2023. “Akhirnya bisa melihat Durga Mahisasuramardini,” ucap salah satu pengunjung pada Selasa, 28 November lalu.

Arca Nandiswara dalam posisi statis menggambarkan Dewa Syiwa bertangan dua dan diukir dengan cukup detail. Tubuhnya terbalut kain bermotif batik. Pada Candi Syiwa di kompleks Candi Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, arca ini menempati relung sebelah kanan pintu masuk candi. Keempat arca ini masih dalam kondisi baik dan bisa dinikmati para pengunjung galeri.

Pengunjung berfoto dengan arca Ganesha di pameran yang bertajuk “Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara” di Galeri Nasional, Jakarta, 30 November 2023. Tempo/Magang/Joseph.

Para pengunjung juga masih bisa menikmati benda-benda yang dikembalikan sejak periode awal hingga peningiriman tahap kedua pada 2023 ini. Termasuk yang terbaru adalah keris Klungkung yang dijarah dari Perang Puputan Klungkung, Bali. Keris ini terbuat dari besi, nikel, kayu, batu permata, serta emas pada gagang dan sarung disertai taburan batu mulia pada gagang keris.

Selain itu, ratusan perhiasan berupa cincin, anting, gelang, penjepit, serta kancing yang terbuat dari emas dan batu permata dari rampasan Lombok ikut dipajang. Perhiasan yang paling mendapat perhatian adalah sebuah bros emas dengan berlian besar puluhan karat. Ada pula peralatan sehari-hari, seperti botol parfum, mangkuk persembahan, tempat tembakau, wadah air suci, piring, dan kotak rokok.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid menyatakan aspek produksi pengetahuan dari artefak dan benda bersejarah merupakan hal penting. “Repatriasi bukan hanya pengembalian, yang penting bagaimana repatriasi mengintegrasikan kembali potongan gambar yang akan melengkapi narasi sejarah kita. Soalnya bukan siapa mempunyai apa, tapi ini soal identitas, identitas sejarah, budaya,” kata Hilmar.

Hilmar juga menyampaikan repatriasi menjadi perhatian arkeolog dan akademikus Edi Sedyawati sejak akhir 1990-an. Ketika ada upaya pemulangan, Edi sangat mendukung dan menyemangati karena seharusnya sudah lama dilakukan.

•••

DALAM Borobudur Writers & Culture Festival yang berlangsung di Malang, Jawa Timur, 23-27 November lalu, isu benda-benda hasil repatriasi ini menjadi salah satu puncak diskusi. Arkeolog Agus Aris Munandar dari Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, menjabarkan penjelasan tentang Candi Singasari dan kaitannya dengan Raja Kertanegara. Menurut dia, Candi Singasari merupakan candi dengan kompleks yang luas.

Selain empat arca ini, Agus menambahkan, masih ada beberapa arca yang masih tertinggal di Belanda. Salah satunya Bhairawa Cakra-cakra yang pecah sandaran atau prabhamandala-nya. Tingginya 167 sentimeter dan menggambarkan raksasa yang sedang berdiri dinamis. Kedua kakinya agak dilipat, bertangan empat, dengan setiap tangan memegang trisula, domaru, kodgha, dan kapala. Arca ini berdiri di lapik tumpukan tengkorak dan di belakangnya terdapat figur serigala. “Penggarapannya bagus,” ujar Agus. Mengutip pernyataan August Johan Bernet Kempers, konon masih ada pula arca Brahma berkepala empat di Leiden.

Menurut Agus, ada pengaruh gaya seni arca India (India timur) pada arca di candi di Jawa Timur. Misalnya, arca Durga Mahisasuramardini yang berdiri dengan merentangkan kaki terlalu lebar biasanya ditemukan di arca India. Dalam penggarapan, arca di Jawa Timur ternyata lebih detail daripada seni arcapala di India. “Meski ada pengaruh, seniman pahat Jawa Timur kuno telah mengembangkan teknik dan gaya seni arcanya tersendiri,” tuturnya. Dia juga mengatakan ada kemiripan gaya kesenian yang dekat antara Dinasti Kakateya di India selatan dan Dinasti Rajasa di Singasari, seperti pada arca Bhairawa Cakra-cakra. “Secara rasa, lebih kena di Candi Singasari. Detail dikembangkan lebih baik,” ucap Agus.

Pengunjung mengabadikan gambar arca Prajnaparamita di Galeri Nasional, Jakarta, 30 November 2023. Tempo/Magang/Joseph.

Pada Candi Singasari, arca digambarkan luwes dan naturalis dengan bagian tubuh yang proporsional. Penggambarannya plastis dengan penggarapan permukaan yang halus. Bagian tubuh dan sikap tubuhnya menyerupai sikap tubuh manusia. Perubahan bagian-bagian tubuh terjadi berangsur-angsur, tidak secara fraktal.

Dikerjakan dengan cermat, penggambaran kain pada arca dilengkapi berbagai macam bentuk ornamen dan mengekspresikan keagungan dewata yang dikonsepkan dalam mitosnya. “Ini menurut pemikiran Bu Edi Sedyawati,” ujar Agus. Mengenai arca Durga Singasari yang dikembalikan, Agus menilai inilah satu-satunya arca Durga yang memakai baju zirah dan kain panjang. Ia memakai kain panjang dengan pola batik ceplok bunga, disertai asura dan kelopak bonggol teratai. Arca ini pada Candi Syiwa menempati bilik belakang.

Agus juga menjelaskan catatan dari arca Candi Singasari, yang antara lain arca dibuat setelah wafatnya Raja Kertanegara dan dipahat para rupakara untuk mengisi parswa devata candi. Peresmian pembangunan Caitya dilakukan oleh Gajah Mada. Arca Singasari, Agus mengungkapkan, berciri kesenian keluarga Istana Singasari, meski dikerjakan para rupakara pada masa Majapahit. Penggarapannya naturalis. Sepasang teratai keluar dari bonggolnya dan terdapat garis-garis di sekitarnya yang mengesankan sinar terpancar dari suatu benda.

Filolog sekaligus Direktur École française d’Extrême-Orient, Paris, Arlo Griffiths, mengapresiasi pengembalian empat arca itu. Namun, dia menerangkan, pemerintah kurang memperhatikan manuskrip dan prasasti, seperti Prasasti Sangguran atau dikenal sebagai Batu Minto (Minto Stone) dan Prasasti Pucangan. Prasasti Sangguran dirampas oleh pasukan Inggris pada 1813.

Hingga kini prasasti itu masih berdiri di tanah keluarga Lord Minto di Skotlandia. Sementara itu, Prasasti Pucangan masih berada di Museum Kolkata, India. Tempo menulis perihal dua prasasti ini pada edisi 4-10 Mei 2015. Pemerintah Indonesia pernah berupaya melakukan pendekatan diplomasi untuk mendapatkan prasasti ini, tapi belum ada titik cerah. “Artefak batu teks atau manuskrip cenderung diabaikan dalam repatriasi dibanding artefak besar seperti arca,” tutur Griffiths.

Menurut dia, ada banyak pengetahuan yang bisa diungkap dan diperlukan penelitian lebih lanjut atas muatan teksnya. Pengabaian ini, dia menambahkan, terjadi karena menurunnya pengetahuan dalam keahlian linguistik dan filologi tentang bahasa Jawa Kuno. Prasasti Sangguran, kata Griffiths, punya nilai sejarah sebagai penanda transisi periode kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kondisinya relatif baik dan terawat. Griffiths dan beberapa koleganya tahun lalu mendatangi prasasti itu untuk melihat langsung dan mendokumentasikannya dengan citraan fotografi tiga dimensi secara digital.

Hal yang juga menjadi catatan penting dari repatriasi benda-benda kuno disuarakan oleh Wayan Jarrah Sastrawan. Dia adalah fellow École française d’Extrême-Orient dan sejarawan pascamodern Indonesia yang mengkhususkan diri pada penelitian Jawa Kuno dan Bali. Pada 1894, Belanda menyerang Lombok yang dikuasai kerajaan dari Bali. Kerajaan Lombok, Wayan menerangkan, merupakan kerajaan pribumi terkaya saat itu. Belanda menjarah Cakranegara dan Mataram dengan mengambil 230 kilogram emas, 7 ton perak, dan lebih dari 400 naskah. Dalam repatriasi ini, barang yang dikembalikan lebih banyak berupa perhiasan. “Tapi naskah-naskah ini belum dimasukkan,” ucap Wayan.

Naskah ini kemudian dimiliki Belanda. Dulu pemerintah Belanda menugasi filolognya, Jan Laurens Andries Brandes, menginventarisasi naskah-naskah dan menyimpannya di Batavia hingga ia meninggal. Naskah kemudian dihibahkan ke Perpustakaan Leiden. “Koleksi naskah menjadi sumber primer kajian filologis di Belanda,” ujar Wayan. Namun satu naskah majemuk, Nagarakertagama, sudah dikembalikan.

Notula Bataviaasch Genootschap (Juni 1984) menyebutkan naskah menjadi prioritas untuk kepentingan akademis. Brandes juga dianggap berjasa dengan menyelamatkan banyak naskah dari Perang Lombok. Koleksi perpustakaan Lombok meliputi 400 naskah lontar yang kebanyakan berasal dari Karangasem, Bali timur.

Kebanyakan naskah memakai bahasa Jawa Kuno dan Bali. Bahasa Melayu dan Sasak hanya sedikit. Genrenya dari parwa, kakawin, kidung, lambang, purana, babad, tattwa, tutur, dharma, usada, mantra, wariga, primbon, rerajahan, pangalingan, hingga surat-surat. Ada beberapa naskah langka dan penting, seperti Sang Hyang Kamahayanikan (teks majemuk), Dewsavamana (Nagarakertagama), Bhuvanakosa, Kresnayana, Parthayana, dan Adipurana.

Sementara itu, sejarawan Peter Carey mengusulkan adanya lembaga yang secara spesifik mengurus manuskrip, yakni badan atau komisi manuskrip nasional. Menurut dia, daripada berbondong-bondong meminta manuskrip yang belum tentu bisa dirawat, lebih baik Indonesia menerbitkan naskah dalam bentuk teks dan bisa dijangkau masyarakat umum. Negara tetangga memiliki karya sastra negara yang bisa dinikmati oleh masyarakat umum. “Kalau lihat Singapura, Filipina, Thailand, mereka punya badan atau komisi nasional manuskrip,” tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Yang Masih Tertinggal dari Repatriasi"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus