Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berita Tempo Plus

Gemerlap seni istana

Pengarang : helen ibbtson jessup. new york : the asia society galleries, 1990. resensi oleh : ananda moersid.

6 April 1991 | 00.00 WIB

Gemerlap seni istana
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
COURT ARTS OF INDONESIA Oleh: Helen Ibbitson Jessup Penerbit: The Asia Society Galleries, New York, 1990, 288 halaman. BUKU ini diterbitkan sebagai pengantar dari pameran Court Arts of Indonesia yang diselenggarakan The Asia Society Galleries. Ini bukan sekadar katalogus pameran dalam masa pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat) sepanjang 1990, 1991, hingga awal 1992, berlangsung di Dallas Museum of Art, New York, Arthur M. Sackler Gallery di Washington, D.C., dan Natural History Museum di Los Angeles. Wujud kultural bumi Nusantara memang beragam. Helen Ibbitson Jessup, penyusun buku, mengawalinya dengan pemaparan tentang apa, bagaimana, dan juga satu hal yang sering masih perlu diinformasikan bagi orang Amerika: di mana letak geografis Indonesia, lengkap dengan peta Asia Tenggara. Di situ dipapar perjalanan kultural bangsa kita dari era prasejarah, masuknya pengaruh Hindu, Budha, serta Islam, hingga periode kolonial dan kemerdekaan. Dengan kerangka pembahasan tentang court arts, seni yang dilahirkan oleh kejayaan sebuah kerajaan, atau dalam arti yang lebih sempit, kesenian keraton atau istana, masih juga timbul masalah yakni mana yang pantas disebut sebagai kerajaan dan raja. Misalnya Sriwijaya, Majapahit, serta Mataram dengan wilayah kekuasaan yang luas dan hierarki struktur politik yang nyata. Ataupun kerajaan Ternate, Tidore, dan Gelgel di Bali, meski memiliki kekuasaan sentral, skalanya yang kecil bisa masuk hitungan. Dan sering apa yang disebut sebagai "raja" lebih berfungsi sebagai kepala suku, seperti terjadi di Timor atau Rote. Untuk itu, dicoba mengangkat beberapa tema mitologis yang dianggap mengakar dan sering diambil sebagai sarana legitimasi kekuasaan sang raja yang kita kenal sebagai "wahyu". Dengan menganggap tema ini menyebar di seluruh Nusantara, organisator pameran mengambil lima tema utama. Yaitu, Raja sebagai turunan dewa yang menguasai gunung, Padi dan lambang kesuburan Dewi Sri, Ular dan Naga, Perahu dan Penguasa Laut serta Pohon Kehidupan. Melalui bahasan tentang kekuasaan hukum raja dan wilayahnya, penulis memunculkan hal yang disebutnya sebagai "ironi" dari kekuasaan di mana kemegahan lahiriah raja -- terutama di Jawa -- justru timbul ketika kekuasaan militer dipatahkan Belanda. Bahasan buku ini bisa makin menarik kalau penulis menyimak lebih dalam awal berubahnya istana dari pusat kekuatan yang eksternal menjadi pusat kultural yang internal di abad ke-18 dan 19 -- seperti ditulis Theodore G. Th. Pigeaud. Doktor sastra dari Leiden ini dalam bukunya Literature of Java, 1967, beranggapan bahwa abad ke-18 dan 19 justru renaissance atau masa kebangkitan kembali dari sastra sebagai ibu yang melahirkan seni pertunjukan dan visual. Surutnya kekuasaan ekonomi kota-kota pesisir, dengan menguatnya Batavia, membuat pusat kerajaan beralih ke pedalaman, yaitu Mataram kedua. Di situlah pusat kultur berkembang menjadi internal. Teater wayang, misalnya, mendapat pengayoman dari keraton. Dan gubahan para raja serta pangeran banyak lahir dalam era itu. Kita kenal pula puisi-puisi moralistik seperti Wulangreh karya Paku Buwono IV dan Wedatama-nya Mangkoenagoro IV, konon ini merupakan pengaruh pujangga besar Surakarta, Ranggawarsita, yang dikenal dengan Kalatida. Yang dipaparkan buku Helen Ibbitson Jessup ini kemudian adalah pemilahan pelbagai hasil kegiatan seni di bawah patron istana, tanpa bahasan arus dasar yang sedang bergejolak. Padahal, abad ke-17 adalah awal kebangkitan ke dalam, dan puncak-puncak hasil abad ke-18, bahkan abad ke-19 -- saat persinggungan dengan Barat yang tak bisa dibendung lagi selain dari beberapa contoh karya seni dari abad ke-14 dan 15 dari Sulawesi dan era Majapahit, dan sebentuk cincin emas dari Jawa yang diduga dari abad ke-9. Bab penutup mempertanyakan peran istana dalam era republik ini. Kemampuan adaptasi para penghuni keraton sejak kemerdekaan belum bisa menjawab kontinuitas seni yang lahir darinya. Helen mencoba menjabarkan seni "istana" dan seni "vernakular" (seni rakyat) sebagai dua aspek dengan akar yang sama. Yang satu merupakan penghalusan yang menghasilkan ekspresi cemerlang. Dan hilangnya salah satu aspek berarti kita kehilangan wajah yang utuh dari masa lampau. Lalu apa yang dimaksud dengan pelestarian? Apakah sebuah keris seperti Nagakresna dari abad ke-19, Surakarta (fig. 119), yang hampir sempurna tiap elemen seni rupanya: proporsi, irama, dan teknik garapannya, masih bisa dilestarikan? Ananda Moersid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus