Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SASTRA Indonesia di era milenial ini seperti berada dalam situasi anomali. Koran-koran bertumbangan! Sejumlah majalah mengalami nasib yang sama. Padahal, media massa cetak itulah yang lebih dari satu abad memberi sumbangan penting bagi perkembangan sastra Indonesia. Bahkan, jika ditelusuri ke belakang, pers di Nusantara ini lahir, tumbuh, dan berkembang justru lantaran mereka memanfaatkan sastra untuk menarik minat pembaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini peranannya, dalam beberapa hal, seolah-olah hendak digantikan media sosial semacam Facebook, Twitter, Myspace, Instagram, WhatsApp, YouTube, Tumblr, dan entah apa lagi. Mereka tampil penuh percaya diri dengan segala keingarbingarannya. Majalah dan koran pun, beberapa di antaranya, hijrah ke media digital.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski begitu, tidak semua media konvensional ambruk, rata dengan tanah. Beberapa koran di daerah masih bernapas dengan ruang sastra yang makin sempit. Begitu juga penerbitan buku (sastra), muncul satu-dua, terutama dalam event, perayaan, atau peringatan peristiwa tertentu. Redaktur budaya, kritikus, dan pihak-pihak yang dipandang punya otoritas dalam menentukan kualitas atau nilai karya sastra seperti tak berlaku di media sosial. Posisinya digantikan oleh kuantitas jempol (like), follower, atau tanggapan publik (netizen) yang diandaikan membaca karya sastra yang disiarkan di media sosial.
Apakah dengan begitu karakteristik sastra Indonesia berubah? Apakah sikap budaya, spirit nasionalisme, dan perilaku mereka juga berubah hanya karena permainannya beralih ke media sosial yang tidak terikat ruang dan waktu? Apakah mereka benar-benar mencampakkan media konvensional dan perkara otorisasi? Boleh jadi masih ada sejumlah pertanyaan lain yang mencoba mencari jawaban, apakah segala perubahan itu terjadi 180 derajat atau masih ada yang tersisa dari tradisi yang sejak awalnya menjadi fondasi karakteristik sastra Indonesia, apa pun media yang digunakan.
Siapa pun kini bisa begitu bebas menyiarkan karyanya di media sosial. Perkara kualitas, peduli hantu! Yang penting, publish! Mereka yang terkait dengan perkawanan atau para follower, bebas me-like, memberi komentar singkat atau apa pun, suka-suka saja, tanpa beban, tanpa bermaksud melegitimasi atau sekadar iseng belaka. Di sinilah problem otoritas ambyar karena memang tanggapan mereka tidak berpretensi ke arah sana. Di satu sisi, media sosial menjadi ruang terbuka yang memberi kesempatan bagi siapa pun memanfaatkannya untuk kepentingan apa pun, dan di sisi yang lain, tidak terhindarkan, kadang kala muncul ekses negatif di antara sejumlah nilai positifnya.
***
Selepas pencanangan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, sastrawan Indonesia cenderung berada di dua wilayah modal budaya, yaitu kultur etnik yang melahirkan dan membesarkannya dan bahasa Indonesia yang tiba-tiba menjadi sarana ekspresinya. Di dalamnya termasuk mereka yang terpaksa meninggalkan kemahiran bahasa Belanda-nya.
Ilustras karya sastra dalam bentuk cetak dan digital. TEMPO/ Nita Dian
Itulah generasi pertama sastrawan Indonesia yang menempatkan bahasa Indonesia dalam dua kepentingan, yaitu sebagai (i) bahasa persatuan untuk meningkatkan rasa kebangsaan, (ii) media menyampaikan ekspresi gagasan yang punya ikatan dengan kultur etnik. Situasi tersebut terus bertahan sampai zaman Orde Baru. Sebagian besar karya sastra pada periode itu, boleh dikatakan, mencerminkan ekspresi budaya etnik dengan bahasa Indonesia sebagai medianya. Bahasa Indonesia mengatasi bahasa etnik dan sekaligus juga ekspresi budayanya.
Makin luasnya mobilitas suku-suku bangsa di Indonesia memungkinkan terjadinya peningkatan perkawinan antar-etnik. Dari sinilah generasi kedua lahir, yaitu mereka yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, meski bukan bahasa ibu. Jika keluarga ini bermukim di wilayah budaya etnik, masih ada peluang menempatkan bahasa ibu sebagai bahasa pertama.
Tetapi bagaimana dengan posisi mereka yang tinggal di Jakarta atau kota-kota besar lain yang dalam kehidupan kesehariannya menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama? Mereka seperti terlepas dari ikatan kultur etnik orang tua atau para leluhurnya dan memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahkan, tidak sedikit pula di antara orang tua generasi kedua ini membawa anak-anak mereka ke lingkaran bahasa Inggris sebagai bahasa pertama dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua.
Situasinya kini lebih rumit. Generasi 4.0! Mereka yang lahir dan dibesarkan di wilayah budaya etnik yang masih memelihara bahasa etnik atau yang lahir dan dibesarkan di wilayah perkotaan boleh dikatakan tidak terbebani oleh kultur etnik atau bahasa Indonesia. Mereka tiba-tiba saja bermain di wilayah budaya global lewat dunia maya. Akibatnya, ada kecenderungan mereka tak terlalu peduli pada kultur etnik dan tak merasa terkungkung perkara nasionalisme.
Inilah generasi ketiga yang lahir pada pengujung abad ke-21. Jangkauan wilayah budayanya jauh lebih luas melalui dunia maya yang tidak tersekat batas negara. Terbuka peluang mereka leluasa merambah sastra dan budaya dunia. Sangat mungkin mereka tidak mengenal sastrawan leluhurnya, tapi cukup akrab dengan khazanah sastra dunia. Generasi ketiga ini cenderung asyik-masyuk bermain dalam kehidupan dunia maya, jagat virtual, dan sering kali gamang ketika menjejakkan kaki dalam kenyataan hidup dunia di sekitarnya.
***
Jika ditarik garis lurus dan persoalannya disederhanakan, konstelasi sastra Indonesia sekarang berada dalam kiprah generasi kedua yang sangat mungkin disalip generasi ketiga untuk masa yang akan datang. Generasi kedua punya ikatan sejarah dengan generasi pertama. Karena itu, kualitas nilai dan otorisasi masih ditempatkan dalam posisi yang penting. Adanya Sayembara Anugerah Hari Puisi yang diselenggarakan Yayasan Hari Puisi, Kusala Sastra Khatulistiwa, Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta, Cerpen Pilihan Kompas, Sastra Pilihan Tempo, lomba menulis puisi atau cerpen, ajakan menulis puisi dalam menyambut event atau peristiwa tertentu, dan serangkaian tawaran menulis puisi yang datang dari puluhan komunitas, lembaga, atau siapa pun menegaskan bahwa legitimasi dan otoritas tetap dianggap penting. Jadi, keberadaan juri, kritikus, penilai atau kurator—dan editor—tidak ambyar sama sekali. Bukankah para penulis Insta-poet dan Wattpad pun merasa perlu mencetak karya-karyanya dalam bentuk buku dan menjualnya secara konvensional?
Malam Anugerah Sayembara Novel dan Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 22 Juli 2023. Dok. DKJ
Meskipun begitu, generasi ketiga, bagaimana pun, adalah “penguasa” masa depan. Dalam masa transisi ini, boleh jadi mereka masih merasa perlu legitimasi kualitas nilai dari otoritas tertentu. Kita tidak tahu bagaimana konstelasi sastra Indonesia dalam dua atau tiga dekade ke depan. Apakah kualitas nilai diganti dengan kuantitas follower atau reviewer dan siapa pun warganet (netizen; citizen) merasa punya hak dan otoritas untuk menentukan kualitas nilai?
Mengutip pernyataan Bung Karno, “Jas Merah!” (Jangan sekali-sekali melupakan sejarah). Pertanyaannya: apakah generasi ketiga ini punya kesadaran sejarah? Itulah titik krusial perjalanan sastra Indonesia ke depan. Jika mereka asyik-masyuk sendiri dengan dunianya tanpa mencoba menengok capaian dan reputasi para pendahulunya, sejarah akan terulang kembali! Akan terjadi rumpang yang memisahkan perjalanan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tengoklah perubahan sosial yang terjadi pada pertengahan abad ke-19. Ketika itu, pergantian huruf Arab-Melayu ke huruf Latin lewat Keputusan Gubernur Jenderal Rochussen pada 1850-an telah memisahkan tradisi sastra Melayu adiluhung ke wilayah masa lampau nun jauh di sana. Karya-karya agung pujangga Hamzah Fansuri, Bukhari al-Jauhari, Shamsuddin As-Samatrani, Nuruddin ar-Raniri, Abdur Rauf Singkel, Raja Ali Haji, dan para ulama besar di berbagai kesultanan di Nusantara, seperti Aceh, Banjarmasin, Banten, Bima, Gowa, Makassar, serta Palembang, termasuk juga para pujangga Jawa, Sunda, dan Betawi, seperti Ronggowarsito, Hassan Mustafa, serta Muhammad Bakir (abad ke-16 sampai ke-20), peranannya senyap-lenyap begitu saja. Ketenggelaman mereka seolah-olah digantikan oleh para penulis berbahasa Melayu rendah yang menggunakan huruf Latin.
Apa akibatnya perubahan sosial yang terjadi seperti itu? Para pengelola surat kabar atau majalah, para pengarang Tionghoa atau siapa pun yang sekadar bisa berbahasa Melayu dan menulis huruf Latin, tiba-tiba saja tampil sebagai generasi baru yang oleh sebagian besar para pengamat sastra Indonesia ditempatkan dalam posisi terhormat sebagai perintis kesusastraan Indonesia (modern). Jika kita mencermati semua khazanah sastra yang dimuat dalam surat-surat kabar periode 1850-an sampai awal 1900-an, tidak ada satu pun yang kualitasnya melebihi karya-karya para pujangga yang tadi disebutkan. Tak ada satu pun!
Fakta sejarah peristiwa penggantian huruf Arab-Melayu ke Latin pertengahan abad ke-19 telah mengubah begitu banyak tatanan kehidupan, cara berpikir, dan paradigma sosial. Kini perkembangan sejenis terjadi pada era milenial ini. Budaya cetak mulai beralih ke budaya digital. Pengaruhnya juga sudah menunjukkan perubahan signifikan. Jadi, perkembangan dunia digital adalah keniscayaan yang tidak dapat ditolak dan dibendung.
Meski begitu, sejarah adalah alat becermin. Karena itu, perkembangan dan perubahan apa pun tidak sepatutnya pula menjadikan kita lupa pada capaian dan reputasi para pendahulu kita. Betapa tradisi literasi masyarakat Nusantara yang begitu semarak dan mendapat pujian bangsa-bangsa asing sejak abad ke-16 sampai abad ke-19 tiba-tiba surut ke belakang menjadi lapuk dan terusir dari bahan pengajaran dunia pendidikan. Semoga generasi milenial yang kelak akan menjadi penguasa masa depan tidak terperosok pada lubang yang sama: tunasejarah!
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo