Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gerilya dari India

Indian Artist Network, sebuah jaringan perupa India, kembali memamerkan dan menjual karyanya di Indonesia.

24 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ajit Vahadane tampak begitu gembira ketika melihat wartawan datang. "Tolong usahakan agar seniman-seniman Jakarta bisa kemari, agar kami bisa saling mengenal," katanya. Pameran di lantai dasar gedung World Trade Center (17-27 Mei) ini memang sepi dari perupa Indonesia. Padahal ekshibisi ini tergolong besar. Lebih dari seratus lukisan karya 30 perupa India ditampilkan.

Pria jangkung berewokan berusia 50-an tahun yang selalu berpakaian sharwal gamish itu untuk kedua kalinya memimpin rombongan Indian Artist Net-work berpameran di World Trade Center—setelah pameran pertama pada 2003. Indian Artist Network adalah organisasi yang bertujuan mempromosikan pelukis-pelukis muda berbakat sekaligus membuka pasar yang lebih luas. "Di India susah. Galeri-galeri dikuasai pelukis yang sudah mapan," kata Suhas Bhujbal, salah seorang pelukis yang datang.

Agaknya, di India, sebuah infrastruktur seni rupa bisa dibangun tanpa menunggu uluran tangan pemerintah. Indian Artist Network adalah organisasi mandiri—dikelola secara swadaya, sama sekali tak mendapat subsidi dari pemerintah atau donasi swasta. Kedatangan mereka ke Jakarta, misalnya, menggunakan biaya patungan para perupa yang berpartisipasi. Organisasi ini memiliki program internasional yang memungkinkan perupa muda India bisa berpameran di luar negeri atau karyanya dibeli kolektor asing.

Organisasi ini mengelola website khusus. Di situ seniman India mana pun—tentu saja dengan kualitas yang telah dianggap baik—bisa meng-online-kan karyanya. "Saya salah satu anggota kurator," kata Ajit Vahadane. Pemuatan karya di situs ini ada syarat-syaratnya. Untuk bisa memajang 10 karyanya, seorang perupa dikenai biaya 2.500 rupee atau sekitar Rp 5 juta per tahun. Dan bila lukisannya terjual, ia dikenai potongan 10 persen. Website ini juga menyediakan ruang bagi perupa yang tidak mampu membayar per tahun. Bedanya, mereka hanya bisa menampilkan 3 lukisan dan dikenai potongan 30 persen bila lukisannya laku. Setiap minggu organisasi ini mengirim e-mail ke galeri dan kolektor di seluruh dunia untuk menawarkan lukisan, juga menjajaki kemungkinan ekshibisi di seluruh dunia.

Pameran di Jakarta ini tidak mengusung tema khusus. Yang ditampilkan keragaman khazanah lukisan India. Dari pameran ini, kita memang tidak bisa mengharapkan dapat membaca perkembangan terbaru seni kontemporer India seperti pernah terjadi pada pameran perupa Cina di Jakarta. Misalnya, dari tanggal 15 sampai 23 Mei ini, di The Pakubuwono Residence, bertajuk On the Edge, diadakan pameran bersama pelukis Indonesia dan Cina. Perupa Cina yang karyanya ditampilkan adalah Sui Jianguo, Wang Guangyi, Yan Lei, dan Zhang Hong Tu, yang merupakan pelukis-pelukis "terkini" negaranya. Setahun yang lalu, di Galeri Nasional, bertajuk From China with Art, datang karya-karya Fang Li Jun, Feng Menbo, Gio Wei, Yue Minjun, dan lain-lain dengan kurator Johnson Chang, yang dikenal sebagai kurator pameran China New Art, Post 89 di Shanghai. Di situ perkembangan mutakhir perupa Cina bisa kita raba, termasuk refleksi politiknya.

India—seperti Cina—adalah wilayah yang menjadi inspirasi banyak pelukis dunia. Banyak pelukis yang melakukan riset di India. Katakanlah Francesco Clemente, pelukis kontemporer asal Italia yang pernah menetap di Madras. Dalam salah satu periodenya, lukisannya banyak bertolak dari simbol-simbol alam mitologi dan folklor India. Tapi sebaliknya para perupa India. Di dalam negeri sendiri, kekuatan tradisi banyak mengungkung perupa India. "Di India, dialektika antara tradisi dan modernitas tidak ada pemenangnya," kata Suhas. Suhas sendiri tengah melakukan riset tentang perkembangan seni abstrak di Academy of Art College di San Francisco, Amerika. Ia merasa, di Barat, lukisan sepenuhnya bisa secara total abstrak, tapi di India tidak.

"Ini adalah lukisan turun-temurun sebuah keluarga di Negara Bagian Orissa," kata Vahadane sembari menunjuk sebuah lukisan besar di atas sutra bertema Ramayana. Lukisan itu, seperti di Kamasan, Bali, dibuat secara kolektif. Menurut Vahadane, di Orissa, berkembang tradisi lukisan sutra dengan bahan pewarnaan alami (tumbuhan). Memang banyak pada pameran ini lukisan yang bertema Ramayana, Mahabarata, serba-serbi prosesi istana, legenda-legenda, atau panorama alam semesta tanpa ada tafsiran yang baru.

D.G. Pujare, 72 tahun, misalnya, perupa senior, menampilkan cetak kayu panorama daerah Konkan, Maharashtra. Pujare disebut-sebut sebagai master yang mampu mengembangkan cetak kayu secara sangat halus dan impresif. Untuk mendapatkan warna-warna yang lembut, ia sering sampai melakukan sepuluh kali cetakan. "Beliau sekarang sedang sakit dan kesulitan dana," kata Vahadane. Sebuah karya menarik lain yang menggambarkan nelayan, kail, dan ikannya dapat kita lihat pada karya B.B. Sikdar, berjudul The Fisherman.

Dari generasi muda, tampil Praveen Nair. Karyanya seperti poster yang riang. Betapapun, ia tetap bertolak dari tradisi. Sejak berumur 10 tahun, ia menari. Inspirasinya datang dari pelbagai variasi gerak tangan penari. India kaya dengan gestur sikap tangan. Salah satunya adalah tradisi tari Bharatanatyam. Ia mengambil pola-pola tangan itu dengan gaya pop warna-warni. Nair gandrung gestur tari, tapi Suhas tertarik pada arsitektur dan langsung ngeluyur ke Taman Mini Indonesia Indah, sementara Siddharth Parasnis gemar menyusuri rumah-rumah tradisional.

Pada Mei 2005 direncanakan Indian Artist Network akan kembali berpameran di Jakarta—tentu dengan materi yang lain dan seniman yang datang pun berbeda. Inilah sebuah gerilya pemasaran. Pilihan mengadakan pameran di World Trade Center pun bukan sembarang pilihan. Di situ bercokol kantor-kantor perbankan internasional dan konsultan bisnis internasional. Kira-kira begitulah strateginya di setiap negara—walau setidaknya sampai minggu ini di Jakarta pameran ini sepi disambut perupa lokal.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus