GAZA berarti ?kekuatan? dalam bahasa Kanaan, dan ?mutiara? dalam bahasa Persia. Sungguh tepat. Kekuatannya justru berasal dari sumbernya yang sejati, people power. Gaza pula yang menjadi ?mutiara? perjuangan rakyat Palestina. Intifadah, melontar pasukan Israel dengan batu, memang bukan imbangan tank-tank Israel, namun nilainya ada pada semangat perlawanan kaum muda.
Pertarungan di Gaza memang berat sebelah. Lontaran batu tangan-tangan mungil dibalas roket Hellfire yang melesat dari helikopter Apache Israel. Nyawa para patriot kecil lepas satu-satu. Hanya di Gaza si pelempar batu diancam hukuman sampai 20 tahun penjara. Atau ditembak di tempat, seperti yang menimpa Karim, 10 tahun, akhir April lalu.
Seperti disaksikan wartawan TEMPO, kekejian itu pun menarik ribuan orang ke sebuah jalan di pusat kota. ?Bunuh Israel! Bunuh Sharon...! Yang kami inginkan hanya membalas dendam!? Dalam ratap dan kutuk, Karim diantar ke haribaan Tuhan.
Padahal bangsa Kanaan sudah sejak tiga milenium sebelum Masehi bermukim di sana. Berada di bibir Laut Mediterania, kota strategis ini menghubungkan Palestina dan Mesir di satu sisi, dan Semenanjung Arab dan Asia Barat Daya di sisi lain, serta juga dengan Eropa.
Seluas 360 kilometer persegi, Gaza tak henti membara sejak Perang Arab-Yahudi pecah, Mei 1948. Lebih dari 90 persen tanah Palestina jatuh ke tangan Yahudi, dan menjadi wilayah negara Israel. Sekitar 1,2 juta orang Palestina melakukan nakba, mengungsi, ke Jalur Gaza dan Tepi Barat. Namun itu pun dicaplok Israel pada 1967, setelah kemenangan spektakulernya dalam Perang Enam Hari dengan negara-negara Arab. Tapi tahun itu pula Syekh Ahmad Yassin mendirikan Ikhwanul Muslimin cabang Palestina, yang bermetamorfosis menjadi Hamas.
Setelah hampir 20 tahun berdiam diri, sejak 1970 rakyat Gaza mulai melawan. Fathi Shaqaqi membentuk grup kecil revolusioner Harakat al-Jihad al-Islami al-Filastini, yang biasa disebut Jihad. Namun pamor Jihad tenggelam di balik kafiyeh Ketua Organisasi Pembebasan Palestina, Yasser Arafat, yang lebih kompromistis dengan Israel.
Tapi, pada 1 Oktober 1987, Israel menembak mati tujuh penduduk Gaza yang diduga anggota Jihad. Tak lama, seorang murid perempuan Palestina tewas dengan cara sama. Ini mempercepat tumbuhnya Hamas, yang ingin ?mengibarkan panji-panji Allah di setiap inci wilayah Palestina?. Artinya, negara Israel harus tenggelam. Periode 1987-1988 juga melahirkan intifadah.
Intifadah ?bab satu? ini tamat pada 1993 dengan berlangsungnya Perjanjian Oslo. Saat itu Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, yang difasilitasi Norwegia, menyepakati penarikan mundur pasukan Israel dari Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan berdirinya Otoritas Palestina. Badan semi-otonom ini diketuai Yasser Arafat, yang kemudian menjadi presiden.
Apa daya, tak lama. Pada 2000 meletus Al-Aqsa Intifada, setelah pemimpin oposisi garis keras Israel, Ariel Sharon, mengunjungi Yerusalem. Kericuhan besar menewaskan lagi seorang bocah, Muhammad Ad-Dura, 12 tahun.
Menghadapi intifadah ?bab dua? ini, Israel makin brutal, terutama terhadap penduduk Tepi Barat?dan Gaza tampil di depan melawannya. Apalagi setelah Sharon memanjat kursi perdana menteri, yang berujung pada tewasnya dua Ketua Hamas, Syekh Ahmad Yassin dan penggantinya, Abdel Aziz al-Rantissi, hanya dalam 25 hari, Maret-April lalu. Kini kegusaran dan dendam rakyat Gaza kian menjulang, untuk menuntut pembalasan dan merebut tanah airnya yang terampas.
Akmal Nasery Basral, Zuhaid el-Qudsy (Gaza)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini