DI Teater Tertutup TIM, 26 dan 7 April yang lalu dipergelarkan
opera empat babak La Gioconda ciptaan Amilcare Ponchielli.
Tebal sekali pengunjungnya. Tidak hanya orang asing, pribumi pun
mau-maunya duduk di emperan untuk bisa menyaksikan kerja segi
enam ini. Sanggar Susvara, Paduan Suara UI, Paduan Suara Devina,
Siswa-siswa Akademi Musik LPKJ dan Farida Feisol Dance Group
tumpah bersama-sama, dalam kerjasama yang sungguh-sungguh juga.
Inilah cerita keagungan cinta seorang wanita. Pada abad ke 17
tersebutlah di Venesia seorang penyanyi pengembara bernama La
Gioconda. Ia mencintai bangsawan Enzo Grimaldo dari Genoa.
Padahal Enzo sudah kasmaran pada Laura. Sedangkan Laura sendiri
dicintai pula oleh Alvise Badero seorang penguasa. Enzo
dienyahkan oleh Alvise, sehingga ia dapat mengawini Laura. Tapi
pada akhir cerita, Laura dan Enzo dapat bersatu kembali akibat
pertolongan Gioconda. Sementara penyanyi ini kemudian bunuh diri
karena tidak mau dijamah oleh Bernaba -- seorang mata-mata.
Cerita sesungguhnya amat berbelat-belit, tetapi malam itu hanya
dicomot bagian-bagian yang penting saja. Dalam hal ini kita
cukup terkesan oleh penampilan soprano Fawrita Koempoelan yang
menghidupkan tokoh La Gioconda. Ia bermain dengan tekun dan
bersih. Demikian juga Catharina Wiriadinata (alto) yang
mendampinginya sebagai ibu. Sementara Enzo Grimaldo yang
dimainkan oleh Harry Haryadi dan Yanto Sularyanto (masing-masmg
tenor) juga menampakkan unsur-unsur akting yang lumayan di
samping penguasaan pada suara.
Yang tidak memberikan imbangan semestinya adalah Josef Soeryadi
(bariton) sebagai Barnaba, Richard I Rasmindarya (basso sebagai
Alvise Badoero dan Arni Sahir (messo soprano) sebagai Laura.
Mereka hanya memikirkan keutuhan suara, tanpa memperhatikan
untuk menghidupkan karakter yang mereka dukung. Yang agak
mendingan adalah Rachman (bariton) sebagai padri anto Markus.
Bahkan peran ini sempa menampilkan sebuah adegan yang
mengesankan. Dengan pakaian hitam-hitam yang berbentuk kerucut
di kepalanya, ia berdiri di belakang altar membawa sejumlah
lilin. Waktu ia menyanyi sambil mengembangkan tangannya, kita
melihat sebuah gambar yang bagus.
Adapun tarian yang diselipkan oleh Farida Feisol tak dapat
masuk. Ia hanya jadi tempelan. Sedangkan rombongan paduan suara
yang ikut menjadi khalayak, lebih menyerupai sejumlah peragawati
atau rombongan folk song yang amat populer sekarang itu.
Untunglah Suyatna Anirun selaku penata artistik dan jenderal
panggung sempat menata mereka sehingga tidak sempat mengganggu.
La Scala
"Sebetulnya latihan amat kurang hanya satu bulan," kata Suyatna
Anirun di belakang kamar lampu. "Blokingnya sama sekali belum
tergarap." Walaupun demikian, jerih payah Yatna cukup ada
hasilnya, terutama dalam kesempatan hanya satu atau dua pemain
yang muncul, panggung jadi terlalu lengang. Dengan bahasa Itali
yang tidak bisa dipahami serta kicauan lagu yang masih asing
bagi perbendaharaan telinga, penampilan yang disebut "teater
musik" itu benar-benar masih kering dari segi akting. Itulah
agaknya yang harus mendapat perhatian besar-besaran, kalau
memang mau membiasakan sesuatu yang sangat Itali itu di Jakarta.
Melihat penontonnya berjubel, naga-naganya akan "galak."
Dalam bulan Mei ini misalnya, sudah dapat dipastikan 4 orang
pemain opera dari gedung opera terkenal Itali La Scala di
Milan akan bergabung dengan sebuah tim di Indonesia
mempertunjukkan Pemangkas Rambut Dari Sevilla dari Giacchino
Rossini. Opera itu akan dimainkan di Studio V RRI pada tanggal
26, 28 dan 30 Mei. Duta Besar Italia yang berkepala gundul ikut
repot mempersiapkan. Ia sangat mengelu-elukan kehidupan opera di
Jakarta. "Opera bukan hanya milik Italia sekarang tapi milik
dunia. Dan kalau saya boleh hilang yang kurang di Jakarta
sebagai kota metropolitan adalah sebuah gedung opera!" ujarnya
dengan nekat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini