Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gioconda yang malang

Sanggar susvara, paduan suara ui, paduan suara devina, siswa akademi musik lpkj dan farida feisol dance grup mempergelarkan opera 4 babak la gioconda ciptaan amilcare ponchielli di tim, jakarta.(ms)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Teater Tertutup TIM, 26 dan 7 April yang lalu dipergelarkan opera empat babak La Gioconda ciptaan Amilcare Ponchielli. Tebal sekali pengunjungnya. Tidak hanya orang asing, pribumi pun mau-maunya duduk di emperan untuk bisa menyaksikan kerja segi enam ini. Sanggar Susvara, Paduan Suara UI, Paduan Suara Devina, Siswa-siswa Akademi Musik LPKJ dan Farida Feisol Dance Group tumpah bersama-sama, dalam kerjasama yang sungguh-sungguh juga. Inilah cerita keagungan cinta seorang wanita. Pada abad ke 17 tersebutlah di Venesia seorang penyanyi pengembara bernama La Gioconda. Ia mencintai bangsawan Enzo Grimaldo dari Genoa. Padahal Enzo sudah kasmaran pada Laura. Sedangkan Laura sendiri dicintai pula oleh Alvise Badero seorang penguasa. Enzo dienyahkan oleh Alvise, sehingga ia dapat mengawini Laura. Tapi pada akhir cerita, Laura dan Enzo dapat bersatu kembali akibat pertolongan Gioconda. Sementara penyanyi ini kemudian bunuh diri karena tidak mau dijamah oleh Bernaba -- seorang mata-mata. Cerita sesungguhnya amat berbelat-belit, tetapi malam itu hanya dicomot bagian-bagian yang penting saja. Dalam hal ini kita cukup terkesan oleh penampilan soprano Fawrita Koempoelan yang menghidupkan tokoh La Gioconda. Ia bermain dengan tekun dan bersih. Demikian juga Catharina Wiriadinata (alto) yang mendampinginya sebagai ibu. Sementara Enzo Grimaldo yang dimainkan oleh Harry Haryadi dan Yanto Sularyanto (masing-masmg tenor) juga menampakkan unsur-unsur akting yang lumayan di samping penguasaan pada suara. Yang tidak memberikan imbangan semestinya adalah Josef Soeryadi (bariton) sebagai Barnaba, Richard I Rasmindarya (basso sebagai Alvise Badoero dan Arni Sahir (messo soprano) sebagai Laura. Mereka hanya memikirkan keutuhan suara, tanpa memperhatikan untuk menghidupkan karakter yang mereka dukung. Yang agak mendingan adalah Rachman (bariton) sebagai padri anto Markus. Bahkan peran ini sempa menampilkan sebuah adegan yang mengesankan. Dengan pakaian hitam-hitam yang berbentuk kerucut di kepalanya, ia berdiri di belakang altar membawa sejumlah lilin. Waktu ia menyanyi sambil mengembangkan tangannya, kita melihat sebuah gambar yang bagus. Adapun tarian yang diselipkan oleh Farida Feisol tak dapat masuk. Ia hanya jadi tempelan. Sedangkan rombongan paduan suara yang ikut menjadi khalayak, lebih menyerupai sejumlah peragawati atau rombongan folk song yang amat populer sekarang itu. Untunglah Suyatna Anirun selaku penata artistik dan jenderal panggung sempat menata mereka sehingga tidak sempat mengganggu. La Scala "Sebetulnya latihan amat kurang hanya satu bulan," kata Suyatna Anirun di belakang kamar lampu. "Blokingnya sama sekali belum tergarap." Walaupun demikian, jerih payah Yatna cukup ada hasilnya, terutama dalam kesempatan hanya satu atau dua pemain yang muncul, panggung jadi terlalu lengang. Dengan bahasa Itali yang tidak bisa dipahami serta kicauan lagu yang masih asing bagi perbendaharaan telinga, penampilan yang disebut "teater musik" itu benar-benar masih kering dari segi akting. Itulah agaknya yang harus mendapat perhatian besar-besaran, kalau memang mau membiasakan sesuatu yang sangat Itali itu di Jakarta. Melihat penontonnya berjubel, naga-naganya akan "galak." Dalam bulan Mei ini misalnya, sudah dapat dipastikan 4 orang pemain opera dari gedung opera terkenal Itali La Scala di Milan akan bergabung dengan sebuah tim di Indonesia mempertunjukkan Pemangkas Rambut Dari Sevilla dari Giacchino Rossini. Opera itu akan dimainkan di Studio V RRI pada tanggal 26, 28 dan 30 Mei. Duta Besar Italia yang berkepala gundul ikut repot mempersiapkan. Ia sangat mengelu-elukan kehidupan opera di Jakarta. "Opera bukan hanya milik Italia sekarang tapi milik dunia. Dan kalau saya boleh hilang yang kurang di Jakarta sebagai kota metropolitan adalah sebuah gedung opera!" ujarnya dengan nekat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus