Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Protes Mahasiswa, Harap Maklum

Tesis berjudul perbedaan antara pemimpin & aktivis dalam gerakan protes mahasiswa. Sarlito WS memperoleh gelar doktor di UI.Gerakan mahasiswa telah mampu menimbulkan perubahan sosial & politik.(pdk)

6 Mei 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA mahasiswa protes? Betulkah mereka ditunggangi oleh segelintir pemimpin? Pertanyaan yang hangat ini -- karena lahir dari tuduhan pemerintah terhadap gerakan mahasiswa baru-baru ini -- ternyata dapat kajian ilmiah. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, ada tiga tipe mahasiswa dalam hubungan dengan keterlibatannya dalam gerakan protes: kelompok aktivis dan kelompok pemimpin (masing-masing pernah ikut dalam suatu gerakan protes minimal satu kali --jumlahnya hanya 8%) serta kelompok mayoritas yang tidak pernah ikut sama sekali gerakan protes (jumlahnya 92%). "Tapi mengapa kelompok mayoritas itu tidak bisa mengimbangi para aktivis yang jumlahnya jauh lebih sedikit?," begitu antara lain pertanyaan Prof. Slamet, Iman Santoso. Jawab Sarlito, kelompok mayoritas itu bukan berarti tak bisa jadi aktivis. "Misalnya menjelang SU MPR, ketika mahasiswa melancarkan aksi mogok selama kira-kira tiga minggu, kalau disebarkan kwestioner kepada mereka, 100% adalah aktivis," katanya. Ucapan ini disambut gemuruh oleh hadirin, ketika lulusanfakultas psikologi UI (1968) mempertahankan thesis untuk gelar dokter, di Aula FKUI, 29 April kemarin. Ayah dari dua orang anak yang lahir 34 tahun yang lalu itu thesisnya berjudul "Perbedaan antara pemimpin dan aktivis dalam gerakan protes mahasiswa," sebagai suatu studi psikologi sosial. Dalam penelitian yang mengambil sampel lebih dua ribu mahasiswa yang mewakili kota besar dan kecil di Jawa dan luar Jawa itu (berarti hampir 1% dari jumlah seluruh mahasiswa), gerakan protes itu dirumuskan sebagai tindakan menantang otoritas (pemerintah maupun perguruan tinggi) yang dilaksanakan tidak melalui saluran-saluran formil. Harapan Dan Kenyataan Protes yang dilakukan mahasiswa, menurut Sarlito, semata-mata merupakan reaksi atas persepsi mereka terhadap kepincangan-kepincangan sosial dalam masyarakat, karena adanya jarak yang makin lama makin besar antara harapan dan persepsi dan kenyataan. Frustrasi yang timbul karena adanya jarak antara harapan dan kenyataan itu merangsang timbulnya berbagai protes dari pihak mahasiswa. Antara lain, reaksi protes yang agresif. Penelitian Sarlito selain berhasil menunjukkan pemimpin dan aktivis itu berangkat dari kelas menengah ke atas dan menunjukkan suku-suku bangsa tertentu lebih punya kemampuan menghasilkan kedua kelompok tersebut (dari Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan), juga menunjuk badan-badan kemahasiswaan intra universitas (DM, SM dan MPM) sebagai tempat persemaian yang baik untuk pembentukan aktivis dan pemimpin gerakan protes mahasiswa. "Padahal sebenarnya gerakan politik itu ditampung oleh ekstra universitas,'' kata Sarlito. Tapi sayangnya, lanjut Sarlito, ekstra yang ditendang dari dalam kampus (gejala itu terjadi mulai tahun 1968). di luar pun tak mendapatkan tempat yang jelas. Bahkan Sarlito menunjukkan konsep teknostrukturnya Daoed Joesoef baru-baru ini. "Di sana ekstra universitas tak jelas posisinya, apakah masuk parpol atau apa?" kataya kepada TEMPO. Apakah Dewan Mahasiswa misalnya perlu dibubarkan? "Tidak perlu," kata Sarlito, "asal dikembalikan kepada fungsinya." Maksudnya, kampus tidak dijadikan arena politik. Lagi pula dengan dihapusnya Dewan Mahasiswa, tak berarti gerakan protes bakal hilang. Selama pemerintah belum bisa membereskan soal-soal di luar kampus dengan mendekatkan serapat mungkin antara harapan dan kenyataan tadi, selama itu, kata Sarlito, gerakan protes mahasiswa akan terus berlangsung. "Inilah tugas pemerintah," katanya. Tak Suka Protes Itu sebabnya Sarlito tidak sependapat dengan pandangan yang menekankan kepada tindakan represif terhadap mahasiswa dalam usaha mengendalikan gejolak sosial. Mahasiswa bukanlah sumber gejolak sosial, karena itu tindakan terhadap mahasiswa tidak akan menyelesaikan persoalan. Justru akan menambah persoalan baru. Karena itu, lanjut Sarlito lagi, penataan kembali organisasi-organisasi ekstra universitas dalam Undang-Undang kepartaian dan organisasi massa perlu segera dilakukan. "Lagi pula," ujar Sarlito, "pada dasarnya mahasiswa Indonesia bukanlah orang yang suka protes." Kalau pun ada gerakan protes, selama itu masih murni mahasiswa, tidak bakalan terjadi kerusuhan-kerusuhan. Dan bila kebetulan terjadi konflik fisik, sebagai yang dibuktikan pada gerakan mahasiswa sejak 1966 sampai akhir 1976 yang lalu, selalu karena didukung oleh unsur-unsur dewasa dan non-mahasiswa. "Karena mungkin ada kebersamaan dengan para politisi atau buruh misalnya," katanya. Tapi bagaimana pun setiap gerakan mahasiswa, mampu menimbulkan perubahan-perubahan sosial, bahkan perubahan politik, Sarlito menunjuk gerakan mahasiswa 1966 yang mampu meruntuhkan kekuasaan Presiden Sukarno. Kejadian 15 Januari 1974, sekalipun kenyataannya tidak jalan, pernah ada larangan impor mobil mewah anjuran untuk hidup sederhana dan ada hubungannya dengan kasus Pertamina. Bahkan gerakan mahasiswa menjelang SU MPR yang lalu menurut Sarlito ada pengaruhnya. "Misalnya terlihat dari susunan kabinet baru serta beleid Menteri P&K yang baru," katanya kepada TEMPO, sehari sebelum promosi. Besoknya oleh promotor, Sarlito dinyatakan lulus dengan predikat 'sangat memuaskan'.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus