MENGAPA mahasiswa protes? Betulkah mereka ditunggangi oleh
segelintir pemimpin? Pertanyaan yang hangat ini -- karena lahir
dari tuduhan pemerintah terhadap gerakan mahasiswa baru-baru ini
-- ternyata dapat kajian ilmiah.
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, ada tiga tipe mahasiswa dalam
hubungan dengan keterlibatannya dalam gerakan protes: kelompok
aktivis dan kelompok pemimpin (masing-masing pernah ikut dalam
suatu gerakan protes minimal satu kali --jumlahnya hanya 8%)
serta kelompok mayoritas yang tidak pernah ikut sama sekali
gerakan protes (jumlahnya 92%).
"Tapi mengapa kelompok mayoritas itu tidak bisa mengimbangi para
aktivis yang jumlahnya jauh lebih sedikit?," begitu antara lain
pertanyaan Prof. Slamet, Iman Santoso.
Jawab Sarlito, kelompok mayoritas itu bukan berarti tak bisa
jadi aktivis. "Misalnya menjelang SU MPR, ketika mahasiswa
melancarkan aksi mogok selama kira-kira tiga minggu, kalau
disebarkan kwestioner kepada mereka, 100% adalah aktivis,"
katanya. Ucapan ini disambut gemuruh oleh hadirin, ketika
lulusanfakultas psikologi UI (1968) mempertahankan thesis untuk
gelar dokter, di Aula FKUI, 29 April kemarin. Ayah dari dua
orang anak yang lahir 34 tahun yang lalu itu thesisnya berjudul
"Perbedaan antara pemimpin dan aktivis dalam gerakan protes
mahasiswa," sebagai suatu studi psikologi sosial. Dalam
penelitian yang mengambil sampel lebih dua ribu mahasiswa yang
mewakili kota besar dan kecil di Jawa dan luar Jawa itu (berarti
hampir 1% dari jumlah seluruh mahasiswa), gerakan protes itu
dirumuskan sebagai tindakan menantang otoritas (pemerintah
maupun perguruan tinggi) yang dilaksanakan tidak melalui
saluran-saluran formil.
Harapan Dan Kenyataan
Protes yang dilakukan mahasiswa, menurut Sarlito, semata-mata
merupakan reaksi atas persepsi mereka terhadap
kepincangan-kepincangan sosial dalam masyarakat, karena adanya
jarak yang makin lama makin besar antara harapan dan persepsi
dan kenyataan. Frustrasi yang timbul karena adanya jarak antara
harapan dan kenyataan itu merangsang timbulnya berbagai protes
dari pihak mahasiswa. Antara lain, reaksi protes yang agresif.
Penelitian Sarlito selain berhasil menunjukkan pemimpin dan
aktivis itu berangkat dari kelas menengah ke atas dan
menunjukkan suku-suku bangsa tertentu lebih punya kemampuan
menghasilkan kedua kelompok tersebut (dari Sumatera Utara,
Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan), juga menunjuk badan-badan
kemahasiswaan intra universitas (DM, SM dan MPM) sebagai tempat
persemaian yang baik untuk pembentukan aktivis dan pemimpin
gerakan protes mahasiswa.
"Padahal sebenarnya gerakan politik itu ditampung oleh ekstra
universitas,'' kata Sarlito. Tapi sayangnya, lanjut Sarlito,
ekstra yang ditendang dari dalam kampus (gejala itu terjadi
mulai tahun 1968). di luar pun tak mendapatkan tempat yang
jelas. Bahkan Sarlito menunjukkan konsep teknostrukturnya Daoed
Joesoef baru-baru ini. "Di sana ekstra universitas tak jelas
posisinya, apakah masuk parpol atau apa?" kataya kepada TEMPO.
Apakah Dewan Mahasiswa misalnya perlu dibubarkan? "Tidak perlu,"
kata Sarlito, "asal dikembalikan kepada fungsinya." Maksudnya,
kampus tidak dijadikan arena politik. Lagi pula dengan
dihapusnya Dewan Mahasiswa, tak berarti gerakan protes bakal
hilang. Selama pemerintah belum bisa membereskan soal-soal di
luar kampus dengan mendekatkan serapat mungkin antara harapan
dan kenyataan tadi, selama itu, kata Sarlito, gerakan protes
mahasiswa akan terus berlangsung. "Inilah tugas pemerintah,"
katanya.
Tak Suka Protes
Itu sebabnya Sarlito tidak sependapat dengan pandangan yang
menekankan kepada tindakan represif terhadap mahasiswa dalam
usaha mengendalikan gejolak sosial. Mahasiswa bukanlah sumber
gejolak sosial, karena itu tindakan terhadap mahasiswa tidak
akan menyelesaikan persoalan. Justru akan menambah persoalan
baru. Karena itu, lanjut Sarlito lagi, penataan kembali
organisasi-organisasi ekstra universitas dalam Undang-Undang
kepartaian dan organisasi massa perlu segera dilakukan.
"Lagi pula," ujar Sarlito, "pada dasarnya mahasiswa Indonesia
bukanlah orang yang suka protes." Kalau pun ada gerakan protes,
selama itu masih murni mahasiswa, tidak bakalan terjadi
kerusuhan-kerusuhan. Dan bila kebetulan terjadi konflik fisik,
sebagai yang dibuktikan pada gerakan mahasiswa sejak 1966 sampai
akhir 1976 yang lalu, selalu karena didukung oleh unsur-unsur
dewasa dan non-mahasiswa. "Karena mungkin ada kebersamaan dengan
para politisi atau buruh misalnya," katanya.
Tapi bagaimana pun setiap gerakan mahasiswa, mampu menimbulkan
perubahan-perubahan sosial, bahkan perubahan politik, Sarlito
menunjuk gerakan mahasiswa 1966 yang mampu meruntuhkan kekuasaan
Presiden Sukarno. Kejadian 15 Januari 1974, sekalipun
kenyataannya tidak jalan, pernah ada larangan impor mobil mewah
anjuran untuk hidup sederhana dan ada hubungannya dengan kasus
Pertamina. Bahkan gerakan mahasiswa menjelang SU MPR yang lalu
menurut Sarlito ada pengaruhnya. "Misalnya terlihat dari susunan
kabinet baru serta beleid Menteri P&K yang baru," katanya kepada
TEMPO, sehari sebelum promosi. Besoknya oleh promotor, Sarlito
dinyatakan lulus dengan predikat 'sangat memuaskan'.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini