Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERAWAL dari kebiasaan menyiram tanaman sambil mengucapkan terima kasih kepada tanaman itu ketika masih anak-anak, Gita Syahrani terus berupaya mendekatkan diri dan menyayangi alam agar berfungsi secara baik. Sejak kecil, aktivis lingkungan itu punya impian mengajak orang-orang merasa satu dengan alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan 39 tahun ini mengatakan, bila manusia bersikap sembarangan kepada alam, yang punah bukanlah bumi, melainkan manusia itu sendiri. “Jadi bukan tentang menyelamatkan bumi, tapi menyelamatkan umat manusia jangan sampai terusir dari bumi,” kata Ketua Dewan Pengurus Koalisi Ekonomi Membumi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu upaya yang Gita jalankan adalah mendampingi pemerintah kabupaten dalam mewujudkan pembangunan lestari. Pada 2016, ia bergabung dengan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL)—asosiasi pemerintah kabupaten yang dibentuk untuk mempertemukan para pemangku kepentingan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Selama menjadi Kepala Sekretariat LTKL periode 2017-2023, Gita adalah sosok kunci di lembaga tersebut. Ia menjadi convener atau perangkai gotong-royong yang menjembatani kalangan industri, pemerintah, dan masyarakat dalam aksi kolektif menghadapi isu iklim dan pelestarian lingkungan.
Gita harus memastikan sembilan kabupaten dapat mewujudkan visi dan misi organisasi, yaitu menjaga 50 persen hutan, gambut, dan ekosistem penting serta menyejahterakan 1 juta keluarga di kabupaten anggota LTKL. Kemudian LTKL mengembangkan jejaring gotong-royong pembangunan lestari multipihak dan menyusun resep pembangunan lestari yang dapat direplikasi oleh semua kabupaten di Indonesia.
Setelah LTKL menjadi badan hukum pada 2018, Gita menggalang dukungan dari jejaring mitra. Total ada 27 organisasi mitra yang bekerja sama dengan LTKL. Ada sejumlah capaian yang mereka raih di bawah bimbingan Gita. Untuk kategori resep pengembangan berkelanjutan, terdapat lima kabupaten, yakni Sintang, Sanggau, dan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat; Siak, Riau; dan Bone Bolango, Gorontalo, yang telah menyelaraskan dokumen perencanaan dengan prinsip berkelanjutan.
Kabupaten Sintang; Siak; Sigi, Sulawesi Tengah; Musi Banyuasin, Sumatera Selatan; Gorontalo; dan Sanggau telah merancang kebijakan dan peraturan kerangka kerja untuk transformasi kabupaten berkelanjutan. Adapun Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh; Musi Banyuasin; dan Siak mendirikan struktur tata kelola multipihak melalui aksi kolektif untuk transformasi berkelanjutan.
Selain itu, ada empat kabupaten, yaitu Sintang, Gorontalo, Musi Banyuasin, dan Sigi, yang telah melaksanakan implementasi model pemantauan dan evaluasi untuk mengukur dan melaporkan kemajuan berkelanjutan.
Untuk pelindungan ekosistem penting, capaiannya adalah 4 juta hektare hutan dan 1 juta hektare gambut di enam kabupaten. Ini telah tercantum di dokumen perencanaan dan kerangka peraturan sebagai dasar pelindungan ekosistem penting. Lalu seluas 76.744 hektare lahan gambut di tiga desa di Siak telah dilindungi melalui entitas bisnis berkelanjutan.
Untuk kategori kesejahteraan sosial, capaiannya antara lain terdapat dua entitas bisnis berbasis masyarakat yang terbentuk di Siak dan Sintang serta 36 entitas di kabupaten yang bertransisi menjadi bisnis berkelanjutan di sembilan kabupaten. Terdapat peningkatan pendapatan yang signifikan pada usaha berkelanjutan dalam dua tahun lewat program yang difasilitasi LTKL.
Adapun untuk aksi berkelanjutan, capaiannya berupa 168 organisasi yang mewakili masyarakat sipil, perusahaan berdampak, mitra pembangunan, dan asosiasi yang terlibat aktif dalam proses transformasi kabupaten berkelanjutan. Sebanyak US$ 470 ribu telah diinvestasikan sektor swasta untuk mendukung pendirian entitas bisnis baru berkelanjutan di dua kabupaten.
Terdapat hampir US$ 3 juta kontribusi dari filantropi untuk mendukung transformasi kabupaten berkelanjutan di sembilan kabupaten dalam dua tahun terakhir. Transaksi sebesar hampir US$ 25 ribu di antaranya merupakan bagian dari pengadaan barang dan jasa berkelanjutan di sembilan kabupaten.
Salah satu contoh pola pembangunan baru yang digagas LTKL ini bisa dilihat di Kabupaten Siak. Wilayah tersebut sebelumnya menjadi salah satu daerah yang berkontribusi besar dalam peristiwa kabut asap pada 2015. Sebagai catatan, sekitar 57 persen wilayah Kabupaten Siak merupakan lahan gambut yang luasnya mencapai sekitar 479 ribu hektare.
Sejak kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi di sana, pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan untuk melindungi gambut. Tapi masyarakat yang tinggal di sekitarnya masih mencari alternatif pendapatan yang ramah gambut. Dari situ, tercetus model bisnis untuk membantu masyarakat sekaligus menjaga lingkungan lewat budi daya ikan gabus di lahan konservasi gambut dan area sekat kanal.
Kegiatan ini kemudian mendorong lahirnya PT Alam Siak Lestari, perusahaan berbasis komunitas yang diinisiasi anak muda dan desa di Siak. Gita didapuk sebagai chief of partnership di perusahaan tersebut pada 2021.
Selain untuk menjaga lahan gambut tidak kering, budi daya ikan gabus bisa meningkatkan ekonomi warga Siak. Perusahaan yang dipimpin Musrahmad ini turut memproduksi ekstrak albumin dari ikan gabus. Zat ini bermanfaat bagi kesehatan, seperti dalam percepatan regenerasi sel dan penyembuhan luka.
“Kita bisa ambil kolagen, bereksperimen dengan sisiknya. Ternyata harganya bisa berkali lipat kalau bisa bikin fasilitas research and development serta processing facility di sana,” ujar Gita.
Gita menuturkan, inovasi yang dijalankan perusahaan tersebut berhasil memenangi penghargaan internasional dalam kompetisi MIT Solve Challenge 2021 dari Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat.
Dari kisah sukses di Siak, Gita menyadari bahwa LTKL mesti melihat potensi keanekaragaman hayati di wilayah anggota. Salah satu terobosannya adalah berupaya membangun fasilitas pengolahan mikro di semua kabupaten untuk menaikkan nilai tambah. “Bahasa sekarang hilirisasi berbasis alam yang lestari,” ucapnya.
Selain budi daya ikan gabus di Siak, ada pengembangan vanila di Kabupaten Sigi; cokelat di Sintang; serta kopi di Sintang, Gorontalo, dan Sigi.
•••
LAHIR di Bandung, Jawa Barat, 30 Januari 1985, sejak usia tiga tahun Gita Syahrani banyak menghabiskan masa kecil bersama neneknya yang gemar memelihara tanaman. Ia pun sering kebagian tugas menyiram tanaman sambil harus berterima kasih kepada tanaman itu. Neneknya berpesan, manusia dibiarkan tinggal di bumi berkat keberadaan alam. Jadi manusia harus berterima kasih kepada alam.
“Kalau kita biarkan mereka (alam) marah, kita bisa diusir. Dulu kepercayaannya begitu di keluarga,” tuturnya.
Lalu, saat masih duduk di taman kanak-kanak, ada kejadian yang membuat Gita sadar bahwa tak semua orang menyayangi alam dan binatang. Tukang becak yang sering mengantar-jemput Gita ke TK tiba-tiba menendang seekor anjing yang menghalangi perjalanan mereka.
Gita pun merasa syok dan menangis. Ia tidak percaya tukang becak yang sudah lama dikenalnya tega melakukan kekerasan terhadap binatang. “Gimana kalau anjingnya marah dan kita diusir dari bumi ini?” demikian isi pikirannya saat itu.
Kebiasaan menyiram tanaman dan peristiwa tukang becak menendang anjing di masa kecil itu kemudian menginspirasi Gita dalam perjalanan kariernya sebagai pegiat lingkungan. Ia mulai mencari metode sebagai panduan untuk membantu semua orang agar kembali bisa menyayangi alam serta menyadari bahwa manusia dan alam adalah satu.
Gita lalu menemukan panduan agar manusia bisa merasa satu dengan alam lewat peraturan. Ia pun mulai mempelajari dan menekuni bidang hukum yang berfokus pada isu iklim dan lingkungan.
Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Gita bekerja sebagai pengacara di DNC Advocate pada 2007. Di firma hukum tersebut ia kemudian mendirikan divisi perubahan iklim dan investasi hijau pada 2009. Kliennya datang dari kementerian, Kantor Staf Presiden, dan korporasi.
Gita Syahrani di Sigi, Sulawesi Tengah, Januari 2018. Dok. Pribadi
Dalam mengembangkan unit baru di firma hukum tersebut, Gita menimba ilmu magister di University of Dundee, Skotlandia. Ia mengambil jurusan Climate Change and Energy Law & Policy.
Setelah lulus pada 2012, ia kembali bekerja di firma hukum itu. Salah satu klien yang dia tangani sejak 2011 adalah Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan.
Gita dan timnya mengerjakan persiapan pendirian Badan REDD+. Ia terlibat merancang dokumen kelembagaan dan pendanaan untuk REDD+ Indonesia yang menjadi cikal-bakal berdirinya Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.
Di sinilah Gita akhirnya menemukan keseruan masuk ke bidang kebijakan publik. “Karena bisa menciptakan dan imajinasinya tak terbatas,” ucapnya.
Pada 2013, Gita memutuskan berhenti dari DNC Advocate. Langkahnya dalam upaya pelestarian lingkungan kemudian bergeser ke ranah kebijakan publik dengan bergabung secara penuh waktu dengan Badan REDD+. Badan ini berfokus menurunkan emisi serta menghindari deforestasi dan degradasi hutan. Badan itu kemudian dilebur ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Seiring dengan waktu, Gita melihat kebijakan publik ternyata masih jauh dari implementasi. Ia memutuskan bergabung dengan Indonesian Palm Oil Pledge, sebuah koalisi yang diinisiasi enam perusahaan sawit di Indonesia yang memiliki komitmen keberlanjutan. “Aku masuk manajemen timnya dan belajar bagaimana menggotongroyongkan gerakan kalau diinisiasi private sector,” katanya.
Akhirnya pada 2016 Gita berlabuh di Lingkar Temu Kabupaten Lestari dan membantu pemerintah daerah. Lewat LTKL, ia mendapat pelajaran bahwa yang paling pas memfasilitasi gotong-royong sebetulnya pemerintah karena memiliki mandat.
Setelah menjabat kepala sekretariat selama enam tahun, Gita dipercaya menjadi Head of Executive Board LTKL pada Mei 2023. Tugasnya adalah membantu LTKL memastikan ada resep membantu gotong-royong multipihak yang bisa direplikasi kabupaten lain di luar anggota LTKL.
Untuk memperluas jaringan di daerah-daerah itulah Gita kemudian mendirikan Koalisi Ekonomi Membumi yang juga bekerja sama dengan LTKL. Koalisi yang diinisiasi saat pertemuan G20 berlangsung pada 2022 itu diharapkan bisa mulai mereplikasi program-program yang sudah dipelajari di LTKL.
Koalisi ini memiliki target pada 2026 menyalurkan US$ 200 juta ke 100 daerah yang berkomitmen melalui 100 rantai pasok komoditas yang sudah ditargetkan.
•••
KONTRIBUSI Gita Syahrani pada isu iklim dan pelestarian lingkungan dia wujudkan dalam berbagai gerakan. Pada 2009, ia membuat program Kreasi Daur Ulang atau Si Dalang. Dari program ini, ia bersama pegiat lingkungan lain membuat gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik—kini diubah namanya menjadi Indonesia Diet Plastik. Gerakan ini berhasil mendorong lebih dari 100 daerah melarang penggunaan plastik sekali pakai.
Pada 2016, Gita menginisiasi Hutan Itu Indonesia bersama rekan-rekannya sesama pencinta lingkungan. Gerakan ini mengkampanyekan pengembalian hutan sebagai identitas bangsa Indonesia.
Saat bekerja sebagai pengacara, Gita membuat Social Corporate Law Society atau Socolas. Wadah ini semacam lembaga bantuan hukum, tapi khusus menangani kegiatan para pelaku usaha agar berdampak luas atau punya kontribusi sosial bagi masyarakat.
Atas terobosan dan inovasinya untuk iklim serta inspirasi melindungi bumi, Gita meraih penghargaan Climate Breakthrough 2023. Bentuk penghargaan itu berupa hibah sebesar sekitar Rp 47 miliar. Gita menerangkan, untuk memperoleh dana tersebut, ia harus membuat strategi ekonomi baru, yang ditargetkan selesai pada Juli 2024.
Proyek itu akan dikerjakan oleh yayasan yang Gita dirikan, Bless Foundation. “Kami masih mencari model. Karena kami bisa mengakses dana hibah itu saat strategi sudah di-approve,” tuturnya.
Lewat penghargaan ini, Gita menargetkan pada 2028, atau tepat saat 100 tahun peringatan Sumpah Pemuda, Indonesia memiliki bayangan ekonomi restoratif atau model ekonomi yang memperhatikan keseimbangan kegiatan ekonomi dan lingkungan.
Langkah Gita dalam pelestarian lingkungan dan kegiatan menjaga bumi terus berlanjut. Dia mengungkapkan, berdasarkan riset Yale University, Amerika Serikat, tentang persepsi orang Indonesia terhadap iklim, hampir 70 persen sudah sadar akan krisis iklim. Tapi orang yang turun langsung untuk melindungi iklim masih minim.
Gita Syahrani (tengah) dalam acara bootcamp Lingkar Temu Kabupaten Lestari, Maret 2023. Dok. Pribadi
Gita menyebutkan aksi yang paling banyak dikerjakan adalah penghimpunan donasi karena paling mudah. “Mungkin di situ yang kami lihat sebagai tantangan gimana mengubah pemahaman orang Indonesia jadi betul-betul aksi konkret,” kata lulusan pendidikan executive master di MIT Sloan School of Management, Amerika Serikat, ini.
Untuk menjawab tantangan itu, Gita menilai hal terpenting adalah tidak hanya menitikberatkan perilaku individu, tapi juga menerapkannya dalam keseharian. Misalnya memantau pembangunan di daerah masing-masing, memberi masukan ke organisasi tempat mereka bekerja, dan ikut menyebarluaskan pesan lingkungan ke komunitas.
Partisipasi generasi muda dalam aksi pelestarian lingkungan juga penting. Gita mengatakan ada beberapa langkah untuk mengajak mereka terlibat. Pertama, tidak memanggil mereka dengan sebutan anak muda, melainkan orang muda. Sebab, terminologi anak muda memberi kesan mereka belum hidup seutuhnya dan kurang memiliki kekuatan.
“Dan saat menghilangkan unsur anak-anak itu kita bisa percaya bahwa mereka bisa banget menjadi ujung tombak pergerakan,” tuturnya.
Meski sudah banyak orang muda yang terlibat, Gita menjelaskan, yang perlu dilakukan sekarang adalah merekognisi mereka yang terlibat agar betul-betul bisa masuk ke bidang pengambilan keputusan.
Langkah kedua adalah membantu orang muda mengidentifikasi keahlian yang mereka miliki untuk mendukung pola pembangunan ke depan. Dengan begitu, upaya mereka untuk pelestarian lingkungan bisa menjadi pilihan karier dengan berbagai kesempatan.
“Bisa tetap bikin orang tua bangga, punya penghasilan. Mereka bisa menemukan tempat yang berdampak, tapi juga membanggakan. Itu harus sejalan,” katanya.
Langkah ketiga, memberikan cara yang mudah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya mau mengkonsumsi tipe barang dan jasa seperti apa. Kita harus dapat membedakan mana komoditas yang diproduksi secara lestari dan mana yang tidak.
Langkah terakhir adalah mengenal diri sendiri dan potensi di daerahnya. Sebab, banyak orang muda dari daerah beranggapan mereka bisa lebih sukses bila pindah ke kota besar.
Gita pun berharap teman-teman muda bisa berkarya di daerah masing-masing. Dia mengatakan unsur kebanggaan terhadap daerah perlu dibangkitkan. “Menjaga daerah tempat mereka tinggal itu tuh mesti dibikin jadi benchmark keren yang baru.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Perangkai Gotong-Royong dalam Melestarikan Alam"