Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUDUL-JUDUL lukisan itu seakan memaknakan "kesakitan" tertentu. Nowhere Mind, Mencari Kepala Baru, Endangered Mind, Blue Eyes Two Thoughts, Menghitung Sakit Kepala. Judul itu semua berkenaan dengan kecamuk pikiran.
Dunia imajinasi macam apakah yang disajikan S. Teddy di sebuah rumah di bilangan Depok yang disulap penyair Sitok Srengenge menjadi galeri itu? Bila Endangered Mind kita bayangkan sebagai visualisasi teror yang menggedor pencerapan, kanvas Teddy jauh dari itu. Figur-figurnya sederhana. Komposisinya tidak berjejal. Temanya menghindari kegaduhan sosial. Bobot "daya ganggunya" terletak pada suasana delusif. Seolah ada sebuah ruang yang mengambang dalam pikiran. "Semacam situasi paranoid, posisi pikiran yang tak jelas," kata sang pelukis.
Dalam buklet, ia menamai konsepnya "gambarsari". Ia percaya pikiran terdiri dari endapan, bagaikan arakan awan menyuarakan banyak tafsir gambar. Secara spontan mengeluarkan yang muncul dalam pikiran tanpa peduli ada kausalitas adalah sikap estetisnya. Teddy tidak ingin menata, mengontekskan, menambahinya ornamen sehingga menjadi sebuah narasi. Asosiasi pikiran, menurut Teddy, memiliki logika cerita sendiri. Lelaki kelahiran Padang, 1970, itu menyebutkan, itulah sari atau sejatinya gambar.
Di kalangan perupa, Teddy dikenal "seiman" dengan Ugo Untoro (sebuah lukisannya berjudul Portrait of Ugo dan sebuah lagi yang bergambar kepala yang digurat mengingatkan pada lukisan Ugo berjudul Tanah Liat). Mereka mengintenskan teknis yang paling bersahaja, yaitu coretan. Coretan lain dengan sketsa. Ugo, misalnya, dikenal sebagai perupa yang rajin mencoret di sembarang kertasdi grenjeng rokok, halaman novel, buku tulis, bungkus kacang, atau apa pun. Itu metode latihan mencurahkan kelokan-kelokan pikiran. Seperti terapi yang membiarkan pasien memunculkan lapisan phantom body imagerymimpi-mimpi buruk tubuhnyadi situ muncul fantasi tentang tubuh yang penuh melawan tabu-tabu, sekaligus arkaik. Ibarat gunung es, dunia coretan adalah bongkahan bawah air yang mendidih, sementara kanvasnya adalah yang menyembul terseleksi.
Pameran ini menyertakan coret-coretan Teddy pada kertas tulis yang disobek-sobek. Kita melihat panorama radikal: lelaki dengan kelamin bercabang, anjing berdiri menampakkan puluhan susunya, lelaki dengan kelamin binatang. Singkatnya, suatu alam phalus. Tapi, pada kanvas minyaknya, yang muncul adalah goresan yang penuh kendali. Teddy mampu menyeleksi dan mendinginkan keliarannya.
Tengok Mr. Waryo of Me. Ini karya kuat. Seorang laki-laki berambut ikal telanjang dengan tangan bersedekap, dan kelaminnya terbuka. Sementara itu, ada lelaki lain, bersongkok, mengarah menatapnya. Ini bukan suatu karya tentang kritik sosial. Tidak ada dramatisasi politik di situ. Tapi, menyaksikan sosok berpeci yang menatap itu, kita diberi sebuah alusi tentang hipokrisi. Karya ini lebih berhasil dibandingkan dengan karya yang oleh Teddy diberi judul Onion Fascist dan Kelincinya. Untuk sinisme sosial, Teddy lebih berhasil pada karya instalasinya. Beberapa tahun lalu, karyanya, Tak Kutuk Dadi Watuia memahat batu-batu cadas dari Borobudur menjadi bentuk-bentuk televisidipuji banyak pengamat karena kritik cerdasnya terhadap industrialisasi. "Kalau hidup di Jakarta, mungkin pikiran saya dipenuhi ilusi tentang fasis," katanya.
Yang menarik, kebanyakan visi-visi ilusifnya itu digarap dengan warna cerah: oranye dan merah muda. Lihat Lady Teji, sosok wanita lencir bergaun merah muda, atau bayangan sosok pada Shadow of Betrayer, yang berkelir ringan. Teddy berusaha menolak psikologi warna bahwa oker atau warna kelam cocok untuk menstimulasi gagasan kedalaman. Beberapa tahun terakhir banyak perupa yang mengambil jalur "pikiran" seperti ini, tapi terbata-bata visualisasinya, entah karena sulit mendefinisikan sendiri konsepnya atau apa. Karya-karya Teddy adalah salah satu yang relatif berhasil.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo