TERIMA KASIH atas pemuatan wawancara saya oleh TEMPO yang dimuat dalam edisi 14-20 Agustus 2000 dengan judul Lapar Dahulu, Pandai Kemudian. Tapi saya ingin mengajukan beberapa keberatan saya.
Judul itu tidak dari saya. Dan ungkapan ”Lapar Dahulu, Pandai Kemudian” tidak membentuk pengertian yang logis. Yang saya maksudkan dalam wawancara itu, Korea Selatan dahulu dapat dicontoh dalam pembangunan bangsanya, yaitu menempatkan pendidikan pada prioritas tinggi daripada ekonomi. Kemudian, ekonomi, dalam hal ini produktivitas, akan menyusul dan berkembang berkat kemajuan warga negara yang berpendidikan. Logikanya, judulnya berbunyi ”Pandai dahulu, Makmur Kemudian” atau lebih tepat lagi ”Pendidikan Dahulu, Kemakmuran akan Menyusul.” Sedangkan judul TEMPO memberikan makna seakan kita sekarang berlapar-lapar, pandainya nanti saja. Jadi, kita biarkan diri menderita lapar sekaligus menunda pendidikan.
Lalu, petikan yang akan banyak menimbulkan salah paham: ”Yang penting dalam Islam adalah percaya kepada Tuhan—tanpa embel-embel apa pun” dan ungkapan ”Yang penting dalam Islam, kamu harus percaya kepada Tuhan—tanpa tambahan harus menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Yang saya coba katakan dalam wawancara ialah, dalam Kitab Suci, yang ada ialah ”Aku percaya kepada Tuhan (Allah)—amantu bi’I-Lah”—tanpa ada kalimat ”dan aku wajib menjalankan syariat Islam.” Sebab, hal itu akan merupakan pernyataan berlebihan (redundancy), mengingat bahwa kalau orang sudah menyatakan ”Aku percaya atau beriman kepada Tuhan (Allah),” dengan sendirinya dia wajib melaksanakan ajaran-ajaran-Nya. Kalau menolak, orang bersangkutan tergolong kafir (menolak kebenaran).
Di situlah poin saya, yaitu bahwa penyebutan ”dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” adalah suatu lingkupan redundant karena pengertian itu sudah dengan sendirinya tercakup dalam ungkapan ”Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Karena itu, orang Islam harus dan tidak-bisa-tidak memahami ”Ketuhanan Yang Maha Esa” itu sebagai paham tauhid, sesuai dengan syahadat pertama. Berarti, beriman dengan konsekuensi keharusan menjalankan ajaran Tuhan yang disebut ”syari’at” itu, tanpa perlu dikatakan lagi.
Begitulah ketentuan normatifnya sepanjang sejarah agama Islam, di seluruh dunia. Tinggal sekarang masalah apa yang dimaksudkan dengan ”syari’at”. Hampir semua tulisan saya yang langsung berkenaan dengan ajaran Islam adalah usaha penjabaran tentang apa yang dimaksudkan dengan ”syari’at” itu, sebatas kemampuan saya.
Dalam kerangka pikiran itulah kita akan dapat lebih mamahami berbagai kasus pelaksanaan ”syari’at” Islam atau percobaan melaksanakannya, seperti kasus Arab Saudi, Pakistan, dan Iran. Kita perlu belajar dan mengambil pelajaran dari mereka itu, baik dari segi keberhasilan maupun kegagalannya.
Karena itu, saya berpendapat, dan sedikit-banyak telah pula mencoba melakukan, perlu pemahaman kembali ajaran Islam (baca: ”syari’at Islam”) yang lebih menyeluruh dan mendalam, agar dapat ditangkap pesan dasarnya yang merupakan titik temu (Kalimat-un Sawa’) antara ajaran semua nabi, sebagaimana disebutkan di banyak tempat dalam Kitab Suci. Jadi, seperti petikan TEMPO, ”Ajaran Islam harus ditarik (ke atas untuk dipahami kembali) pada dataran generalisasi yang tinggi dan universal, kemudian diturunkan lagi ke dataran operasional, disesuaikan (sesuai) dengan konteks ruang dan waktu.” Menurut saya, inilah tantangan umat Islam seluruh dunia saat ini, dan siapa saja kiranya dapat berpartisipasi secara terbuka, sesuai dengan pengetahuan masing-masing.
NURCHOLISH MADJID
Paramadina
Jalan Metro Pondokindah
Jakarta 12310
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini