Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hampir semua berlapis emas

Pameran seni keraton berlangsung di museum nasional.benda-benda seni akan ditampilkan dalam pameran kebudayaan indonesia di as (kias).amerika menjamin keamanan dengan asuransi senilai us$ 3,5 juta.

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REBAB ternyata tak cuma sekadar alat musik yang bisa melantunkan melodi indah. Ia juga bisa dinikmati sebagai karya seni yang luar biasa. Apalagi jika dikerjakan oleh empunya. Rebab berukuran 92 x 18,4 x 8,5 cm warisan Kerajaan Klungkung, Bali, bisa menjadi contoh. Bagian tempurung, yang seluruhnya dilapis emas 24 karat itu, sarat ukiran. Ada pula taburan batu mirah, batu safir, dan warna-warni batu akik, yang menghias kelopak bunganya. Hasil karya adiluhung seniman Puri Klungkung, Bali, abad ke-19 itu kini menjadi koleksi Museum Nasional, yang sejak 9 sampai 29 Juli 1990 dipajang dalam rangka Pameran Seni Keraton Indonesia di Museum Nasional. Rebab ini salah satu dan 98 jenis karya seniman-seniman keraton Indonesia yang September mendatang akan ditampilkan dalam Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS). "Lewat pameran ini, kami berharap masyarakat bisa mengetahui mutu benda-benda seni keraton yang akan dipamerkan di KIAS itu," kata Wakil Ketua Panitia Pelaksana (panpel) Pameran KIAS, R. Adenan. Pameran seni keraton tadi merupakan satu dari empat pameran inti yang secara bergiliran akan digelar di 40 kota di Amerika Serikat. Keempatnya dikemas dalam bentuk paket rangkaian perjalanan budaya seni rupa Indonesla. Seni keraton termasuk paket ketiga yang diurus Direktorat Permuseuman. Karena benda ini begitu tinggi nilainya, pihak Amerika sanggup menjamin keamanan seluruh koleksi itu. Semua barang diasuransikan lewat United States Government in Damnity, AS. Nilai asuransi lebih dari US$ 3,5 juta. Jumlah itu tentu sangat jauh jika dibandingkan harga lelang lukisan Vincent van Gogh, yang laku sampai US$ 82,5 juta. Seni keraton ini, baik pinjaman dari museum, keraton, maupun koleksi pribadi, hampir semuanya dibungkus emas. Cupeng atau penutup kemaluan yang dipinjam dari Istana Mangkunegaran, Solo, yang dulu dipakai anak-anak gadis istana yang sudah akil-balig pun, dibuat dari emas murni. Juga mahkota sultan Banten yang kini menjadi koleksi Museum Nasional, berlapis emas. Mahkota berukuran 16,5 x 19,3 cm itu dihias batu mirah, berlian, batu emerald, dan mutiara. Motif ukirannya dibuat dengan teknik Kerawangan, bergambar pohon hayat dalam panil-panil. Mahkota ini sudah berumur 200 tahun. Dibuat menurut gaya mahkota Salokoa, mahkota Kerajaan Goa abad ke-14. Kipas upacara atau jogan merupakan pusaka Kesultanan Riau. Bentuknya mirip gunungan pada pertunjukan wayang. Pada bagian kipasnya terdapat tulisan Arab Indonesia (Melayu) yang menyatakan bahwa: Inilah rakyat Bukit Siguntang, keturunan Baginda Sri Sultan Iskandar Zulkarnaen. Bentuk gunungan yang penuh simbol adalah gambaran pentingnya silsilah raja. Jogan ini berukuran 54,8 x 27,7 x 3 cm, terbuat dari emas dan perak. Dibikin pada abad ke-19. Beberapa koleksi yang tak terbuat dari emas misalnya kain songket dari Bali, yang dibuat pada abad ke-19. Juga ada pat ola, tenunan sutera berhiaskan lempengan emas berukuran 378 x 109 cm, yang dipinjam dari desainer Iwan Tirta. Pat ola ini aslinya buatan Gujarat, India. Sampai ke Indonesia lewat perdagangan. Pat ola itu, karena langkanya, menjadi lambang status dan banyak dipakai raja-raja Jawa Tengah. Dengan tambahan prada, tekstil itu kemudian dipakai pada upacara perkawinan seorang putri Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Mangkoenagoro VII di Surakarta tahun 1920. Hampir setiap keraton menampilkan keris. Bermacam keris aneka bentuk dan hiasan dipajang di sini. Keris kenegaraan dari Puri Gianyar, Bali, agak istimewa. Keris ini terbuat dari campuran besi, nikel, dan pecahan meteor. Ukurannya 63 x 19,5 x 5 cm. Gagang keris dihiasi ornamen berbentuk Buto Hawosari, untuk menjaga jiwa keris dan kesejahteraan pemiliknya. Keris dan gagangnya dilapis emas dan bertatahkan berlian. Keris ini sekarang disimpan Dr. Mr. Ida Anak Agung Gde Agung, putra Raja Gianyar, di purinya. Pencarian dan penyeleksian benda-benda seni yang akan dipamerkan itu dilakukan sejak tiga tahun yang lalu. Lewat data yang diperoleh dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Helen Ibbitson Jessup -- kurator dari The Asia Society Galleries, organisator pameran seni keraton di pameran KIAS -- bersama ko-kurator yang terdiri dari kurator-kurator Indonesia, menghubungi keraton, museum, dan kolektor di seluruh Indonesia. Tidak semua keraton bersedia meminjamkan koleksinya. Seperti Kesultanan Watampone di Sulawesi Selatan, yang tak bersedia meminjamkan satu pun koleksi karya seni kerajaannya. Keraton Ngayogyakarta cuma berani meminjamkan satu koleknya, yakni wayang kulit Rahana, peninggalan Sultan Hamengku Buwono VIII, yang dibuat pada 1900. "Barang-barang seni itu tinggi nilai sakralnya. Sering dipakai untuk upacara-upacara keraton. Jadi, mereka keberatan kalau dipinjam terlalu lama. Apalagi sampai dua tahun," kata Adenan. Usai pameran di Museum Nasional, barang-barang akan dipak. Setiap jenis -- sekecil apa pun barangnya -- dibungkus tersendiri dengan kertas antiasam, untuk mencegah perubahan warna dan goresan. Setelah itu, dibungus lagi dengan bahan lunak (busa) dan diikat. Kemudian baru dimasukkan dalam kotak seukuran barang tadi dan dimasukkan dalam peti bersegel, yang murnya dirancang khusus, tak bisa dibuka dengan obeng biasa. Ini, antara lain, bentuk keamanan yang dijanjikan panitia KIAS di Amerika. Pameran seni keraton Indonesia akan dibuka 17 September 1990 di The Asia Society Galleries, New York. Selanjutnya pameran akan berpindah ke Dallas Museum of Arts, Texas, pada 10 Februari sampai 7 April 1991. Kemudian pindah ke Arthur M. Sackler Gallery, Washington, D.C., pada bulan Mei sampai September 1991. Terakhir, koleksi keraton itu akan dipamerkan pada 19 Oktober 1991 sampai 5 Januari 1992 di Museum of Los Angeles County, California. Berbahagialah masyarakat Amerika yang bisa melihat barang seni, yang di sini pun langka untuk dilihat karena lebih kerap berada di kotak pusaka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus