Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Jendela dengan kaca yang bening

Penyunting dan penerjemah : john h.mcglynn jakarta : yayasan lontar, 1990 resensi oleh : leila s.chudori.

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ON FOREIGN SHORES Penyunting dan penerjemah: John H. McGlynn Penerbit: Yayasan Lontar, Jakarta, 1990, 189 halaman. KETIKA kaki melangkah ke belantara Amerika, keterasingan pun tak terelak. Subagio Sastrowardoyo merasakan betapa hari makin sempit dan udara telah sebak oleh layap burung mati. Di New York, tahun 1971, Sapardi Djoko Damono melihat baja dan semen yang mengatur langkah kita. Kedua penyair itu bukannya bersungut. Mereka berbicara lewat sajak-sajak mereka yang termuat dalam kumpulan On Foreign Shores. Buat mereka, gedung-gedung pencakar langit di Amerika itu seperti siap menelan siapa saja. Sementara itu, nyawa tak berharga, individu dipaksa tenggelam sehingga tempat ini begitu sempit untuk doa dan suara manusia. Bukan cuma karya dua penyair Indonesia itu yang termuat dalam On Foreign Shores -- judul yang diambil dari terjemahan sajak Subagio Sastrowardoyo, Di Negeri Asing. Masih ada ekspresi 19 penyair lainnya, dalam bahasa Inggris dan Indonesia, yang disajikan dalam antologi yang diterjemahkan dan disunting oleh John H. McGlynn ini. Ada Ayip Rosidi yang berteriak memanggil dirinya sendiri yang jauh tersembunyi. Lalu Taufiq Ismail berpantun tentang terang bulan di Midwest atau bunyi kelenengan trem di San Francisco. Bahkan Sitor Situmorang, di antara dinginnya butir salju, bisa menghargai udara biru bening di negeri Robert Frost itu. Sementara itu, Rendra melakukan "studi puitis" tentang negara asing itu, yang sudah kita kenal sebagai Blues untuk Bonnie dan Rick dari Corona. Di sini, Rendra -- seperti kata Sapardi dalam kata pengantar buku ini -- berhasil membangun jendela bagi orang Indonesia untuk melihat kompleksnya soal rasisme di Amerika. Tapi kenapa tentang Amerika? Dengan pembatasan tema seperti ini, berarti tak semua karya penyair andal bisa masuk dalam kumpulan ini, karena mereka tak menulis puisi dengan setting Amerika. Sebaliknya, tak semua karya yang masuk ke dalam antologi ini adalah karya yang terbaik. Tapi, mungkin ini adalah cara untuk menarik orang Amerika melihat diri sendiri melalui kaca mata orang asing (dalam hal ini orang Indonesia). Apalagi, menurut McGlynn, antologi itu akan diikutsertakan dalam KIAS (Festival Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat). Jadi, bagi orang Amerika (yang membaca), penerjemahan John McGlynn ini akan menjadi "jendela" untuk menilik diri sendiri melalui penyair Indonesia. Sebelumnya, Harry Aveling dan Burton Raffel telah merintis penerjemahan beberapa puisi Rendra di dalam Ballads and Blues: Poems keluaran Oxford University Press. Menerjemahkan karya sastra bukan hanya membutuhkan kemampuan memindahkan satu kata ke kata lain secara telanjang. Menerjemahkan karya sastra juga berarti menerjemahkan sebuah kebudayaan ke dalam bahasa yang berbeda dari kebudayaan tersebut. Di dalam proses penerjemahan, sang penerjemah dituntut untuk tenggelam dan menyatu dengan kebudayaan yang tengah diterjemahkannya. Tujuh belas tahun silam, Aveling menerjemahkan beberapa baris sajak Rendra yang berbunyi ... wahai dik Narti/ kupinang kau menjadi isteriku menjadi Hei, little sister Narti/I want you for my wife. Dialog Bawuk dengan suaminya, dalam cerpen Umar Kayam, yang berbunyi Saya siap, mas ... diterjemahkan menjadi Yes, husband, I am ready. Tampaknya, Aveling tak tahu, atau tak mengindahkan, kebudayaan Jawa. Sebutan "dik" yang digunakan Rendra adalah panggilan untuk seorang kekasih, bukan saudara perempuan. Sedangkan panggilan "mas" rasanya lebih baik dibiarkan apa adanya dengan catatan kaki -- daripada diterjemahkan sebagai husband. Selain menerjemahkan secara literal, Aveling telah meruntuhkan nuansa estetika yang telah dibangun penciptanya. Namun patut dicatat, Aveling telah berjasa dalam merintis penerjemahan beberapa karya sastra Indonesia. Sebelumnya, McGlynn telah membuktikan kemampuannya melalui antologi puisi Suddenly the Night karya Sapardi Djoko Damono. Bahkan novel Armijn Pane, Belenggu, terasa lebih puitis daripada aslinya ketika diterjemahkan menjadi Shackles. Bacalah baris sajak Rindu karya Subagio yang diterjemahkan menjadi Homesick ... Above the snow everything freezes/ the sun dies/ long nights seal the road.... Di sini terlihat kemampuan McGlynn dalam menerjemahkan rasa rindu penyair terhadap matahari dengan memilih kata-kata yang pas. Begitu pula dengan pemilihan kata-kata McGlynn untuk Rick dari Corona karya Rendra yang berbunyi /... namaku Betsy/ cantik/ aku suka telanjang di depan kaca/ aku benci lelaki...." McGlynn menerjemahkannya menjadi My name is Betsy/ I'm something to look at/ I like to stand naked in front of the mirror/ But I hate men." Bandingkanlah dengan terjemahan Aveling yang berbunyi "My name is Betsy/ I'm beautiful/ I like to strip in front of the mirror/ I hate men." Terlihat, apa yang dilakukan McGlynn bukanlah sekadar memindahkan satu kata ke kata lain dalam bahasa yang berbeda, tapi ia juga menerjemahkan suatu "kebudayaan", dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Dan McGlynn berhasil. Namun, sesekali McGlynn tampak terpaksa mengorbankan rima dalam sebuah sajak, yang sebenarnya adalah bangunan awal estetika penyair, untuk bait-bait berikutnya. Misalnya, Salju karya Subagio, yang berbunyi: "Sebab bicara tak pernah berhenti/ dan saliu jatuh seperti mimpi diterjemahkan menjadi for speaking never ceases/ and snow dreamlike falls/." Atau dalam sajak Darmanto Jatman, nampaknya, McGlynn susah mencari kata yang "terdekat" untuk menerjemahkan kata-kata Jawa yang bertebaran di sana-sini. Itu memang bukan persoalan mudah. Lewat antologi ini, McGlynn telah berhasil membangun sebuah jendela, dengan kaca yang bening, agar orang asing dapat menikmati sastra Indonesia. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus