Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Hantu-hantu Utopia 

Pameran tunggal Suvi Wahyudianto menapak tilas peristiwa kelam konflik antarsuku dua dasawarsa lalu.

26 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran lukisan tunggal Suvi Wahyudianto yang engeksplorasi luka masa lalu.

  • Tentang konflik SARA di Kalimantan lebih dari 20 tahun lalu.

  • Luka konflik berdarah dalam kanvas.

ADA hantu membayang pada karya-karya Suvi Wahyudianto. Hantu itu bernama utopia. Sebuah lukisannya yang berjudul Utopia (cat minyak dan bordir pada kanvas, 2023) menggambarkan panorama langit setengah mendung dengan tulisan “utopia”. Huruf-huruf miring itu dibordir dengan benang putih di atas kanvas, mengambang di atas cakrawala. Ada sesuatu nun di sana, tidak terjangkau oleh kita, seperti ilusi batas langit itu sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Utopia (dari kata Yunani: οὐ-τόπος) memang berarti nirtempat atau tempat yang tidak di mana-mana. Namun utopia juga bisa dimaknai sebagai yang belum, tidak sama sekali kosong. Suvi tidak menyembunyikan utopianya atas peristiwa kekerasan di masa lalu yang menjadi tema karyanya di pameran ini. Pameran tunggalnya “Di Antara Tapal” di Can’s Gallery, Jakarta (7 Maret-6 April 2023) adalah upaya untuk memberi tempat bagi yang belum dan tidak terjangkau itu. Jika utopia adalah sarana kritik bagi fiksasi pandangan ideologis tertentu, khayal utopis bagi Suvi memungkinkan hadirnya teks liris dan puitika visual dalam karyanya.

Lukisan langit kosong itu tidak cuma sebiji. Di bagian depan ruang pameran ada Lanskap Border Setelah Hujan, Lanskap Border Menjelang Pagi, Lanskap Border Burung Berterbangan, semuanya bertarikh 2023. Pemandangan langit di mana? Sejak kata utopia ditempatkan di langit, pertanyaan itu pasti tidak penting lagi bagi pelukis utopis. Yang membedakan lukisan-lukisan itu adalah rekayasa obyek nyata: jajaran tapal besi mini dan rentangan kawat duri. Benda-benda itu dirakit, menciptakan sekat fisik antara penonton dan citra yang dilukis. Bingkai-bingkai lebar dari seng galvanis juga mengesankan bahwa jarak itu, antara yang nyata dan ilusi, di sini dan di sana, selalu mencemaskan, membeku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lanskap Border Setelah Hujan di Cans Galerry, Gambir, Jakarta, 23 Maret 2023. Tempo/Febri Angga Palguna

Di ruang tengah, seri lukisan utopia berlanjut. Perhatikan, misalnya, Langit dan Anak Panah Melesat (Hope), yang bertarikh 2023. Beberapa kanvas bergabung, dilukisi awan-awan kelabu dan anak-anak panah terbang ke berbagai arah. Pada lukisan-lukisan lain, bingkai seng membentuk altar atau meja bersahaja untuk menaruh obyek. Pahatan kayu sepasang kaki manusia berdiri goyah di pojok meja pada Bentang dan Sepasang Kaki Berdiri (2023). Buah nanas serta jeruk berbahan resin, kelabu seperti berlapis debu tebal, tampak seperti benda-benda still life pada Yang Manis, Yang Silam dan Harapan (2023).

Konflik antaretnis di Kalimantan 20 tahun lalu menjadi tema yang digarap Suvi. Pada 1999, kekerasan etnis pecah di Sambas, Kalimantan Barat, di antara tiga kelompok warga: Dayak, Melayu, dan Madura. Dua tahun kemudian terjadi lagi ketegangan di antara mereka di Sampit, Kalimantan Tengah. Konflik itu dipicu oleh masalah penguasaan lahan dan kesenjangan ekonomi antara warga asli, suku Dayak dan warga Melayu, dengan warga Madura yang sudah mulai mendiami daerah itu sejak 1900-an.

Pekerjaan utama mereka sama, petani dan buruh. Nanas dan jeruk adalah aforisma, lambang kebenaran yang padat dalam narasi konflik di mata Suvi. Jeruk adalah simbol kemakmuran, hasil utama pertanian orang Sambas di masa lalu sebelum perdagangannya dikuasai oleh perusahaan besar, para kroni Orde Baru. Selepas kerusuhan, nanas kemudian menjadi penyelamat bagi para pengungsi Madura yang berpindah ke permukiman baru, Desa Madani. Ribuan nyawa melayang dan ratusan rumah warga hancur akibat konflik berdarah-darah itu.

Suvi mengunjungi tempat-tempat itu melalui program residensi seniman yang diadakan oleh Yayasan Bienal Yogyakarta pada 2019. Suvi, yang lahir di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, 1992, antara lain mendatangi Kecamatan Pemangkat, permukiman paling padat di Kabupaten Sambas. Ia merekam jejak-jejak kekerasan melalui foto. Tiga karya instalasi fotonya, Lanskap Ziarah pada Kehilangan (2022), adalah hasil dari kunjungan pertama kali itu. Bangunan dan toko milik warga Madura yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya tetap kosong. Ada juga foto terminal yang menandai arus pengungsian orang Madura ke Pontianak dan sebuah masjid yang masih tegak.

Tiga buah foto berukuran besar itu seakan-akan diletakkan begitu saja, ditindih batu, masing-masing terletak di atas alas miring dari pelat besi dengan sudut-sudut tajam. Tapi gambaran pada foto itu tidak hanya jejak dari masa lalu. Suvi menambal citra lain, berbentuk siluet potret dirinya yang melatari foto-foto warga Madura, antara lain perempuan separuh baya, wanita tua, dan anak-anak. “Saya menjahit foto ini pada foto yang sudah ada dengan benang medis, sebagai simbol untuk menutup luka-luka lama,” tutur Suvi.

Kata “jahit” tidak sepenuhnya meniadakan praktik melukis. Pada lukisan Utopia kita sudah melihat Suvi membubuhkan bordiran benang pada kanvas. Pada instalasi foto ia menjahit siluetnya sendiri di atas foto. “Jahit” berasal dari kata anjahit, melukis pada kain seperti kita ingat “lukis” yang bersumber dari anglukis. Pada masa Jawa kuno, arti kata jahit tidak sama dengan maknanya sekarang. Jahit berubah menjadi jarit atau pakaian dan bahan tenun yang dicat atau dilukisi. Menjahit di masa lalu adalah dinom (menjarumi). Kita sekarang mengenal kata “dom” dalam bahasa Jawa yang artinya jarum. Kalau menjahit adalah “menjarumi”, ada jejak jarum yang tidak kelihatan pada foto ini. Utopia yang dikhayalkan seniman sesungguhnya tidak pernah menghilangkan luka-luka lama, karena jarum juga menandai citra baru di atas foto-foto lama dengan cara “melukai”-nya. Di antara tapal yang mengeras ada utopia. Maka utopia itu akan berbunyi: "mustahil menghapus sepenuhnya semua luka yang pernah ada".

Karena utopia meniadakan luka adalah semacam hantu dalam karya-karya Suvi di pameran ini, ia hanya bisa menetap dalam ingatan seniman. Ingatan itu tidak nyata. Perhatikan, misalnya, karya video dan ratusan foto pada Telepresence After 20th (2021). Suvi merekam penelusurannya atas jejak-jejak permukiman warga Madura di sejumlah kota dan desa di Kalimantan melalui peta Google.

Lanskap Ziarah Pada Kehilangan di Cans Galerry, Gambir, Jakarta, 23 Maret 2023. Tempo/Febri Angga Palguna

Dalam durasi waktu kurang dari dua menit ia menghasilkan citra tangkapan layar sebanyak 480 foto polaroid. Tamasya maya ini adalah upaya napak tilas untuk merasakan kekosongan atau ketidakhadiran. Yang kita lihat sebuah tamasya biasa, seperti perjalanan pulang kampung dengan segudang ingatan dan kerinduan pada masa kecil. Tapi ini adalah tatapan “hantu”: seniman hadir sebagai bayangan siluet pada layar, memunggungi kita, menghadap ke satu titik yang entah. 

Pernyataan melankolisnya, “cetakan polaroid adalah suatu proses dari bidang kertas putih menjadi perlahan-lahan jelas, menampakkan semua obyeknya", adalah pencarian yang mengambang.

Selain pencarian kembali, tema lain adalah kematian. Lukisan Lelaki di Penghujung, Sungai di Tepi, Setelah Usai, semuanya dibuat pada tahun ini, dibayangi kesendirian dan kesepian. Lukisan-lukisan kecil Stone Night #1 dan #2 (2020) yang berlatar gelap sudah menunjukkan suasana ini. Yang paling jelas tentu saja adalah Lanskap dan Rubuhnya Seekor Sapi (2019) yang terdiri atas enam karya di atas kertas berukuran sama, 60 x 79 sentimeter, yang dilukis dengan ekstrak tembakau berwarna kecokelatan. Langit tidak lagi lengang, ditandai pergantian waktu dan kotor oleh citra bangkai sapi. Utopia terisap kembali ke dunia nyata: tempat kekerasan menampakkan wajahnya yang nyata. Apakah ini gambaran imajiner atau dari arsip foto?

Namun gambar Lanskap dan Sapi yang Rubuh (2023) pada dua bidang kertas kecil seperti catatan etnografis bersahaja dan mendalam. Berbagai macam gambar, tulisan tangan, dan teks puitis Suvi banyak ditampilkan dalam Arsip Drawing dan Teks Catatan Perjalanan Residency Juni-Juli 2019. Himpunan ini merekam pencerapan dan renungan Suvi, menggambarkan perasaan campur aduk antara cerita, fakta, dan angan-angannya sendiri. Di antara himpunan itu, seperti pada karya lain yang terpisah, terselip gambar-gambar daun juang (Cordyline fruticosa) dengan tinta, yang bagi orang Madura melambangkan “kayu urip” atau kayu kehidupan. Tampak seperti sebuah ujung dari utopia setelah kita menyaksikan video Catatan Hari Berkabung (2019). Karya ini hanya menampilkan citra semak belukar—situs kematian—pada pecahan bidang layar dan suara seniman dalam logat Maduranya yang kental, “Adhe’ mateh kabbhi”, artinya, “sudah habis semua….” 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus