Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Napas Panjang 'Politik' Bapak Tomat dan Timun

Pameran 50 tahun kartunis Rahmat Riyadi alias Libra berkarya menampilkan kritik sosial melalui kartun.

26 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARTUN itu dimuat pada 1973. Sosok demonstran berbaris turun ke jalan membawa poster: "Anti Kemewahan", "Anti Cukong", "Anti Judi". Tapi paling belakang sendiri seorang polisi mengintil membawa poster: "Anti Huru Hara". Itu kartun setrip pertama Libra—nama samaran Rahmat Riyadi, 75 tahun, yang dimuat di harian Indonesia Raya, koran pimpinan Mochtar Lubis. “Saya buat kartun itu saat ada banyak demo di Jakarta, “ katanya. Ia lupa kartun itu digambarnya beberapa bulan menjelang peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari atau Malari pada 1974.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampai kini sebagai kartunis ia tetap memiliki perhatian terhadap isu-isu politik dan hukum. Inisial Libra juga bertahan. “Saya memakai identitas Libra sudah sebelum di Indonesia Raya,” ujar lelaki kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, ini. Indonesia Raya dibredel pada akhir Januari 1974. Koran ini pada 1968-1974 dikenal terus-menerus memberitakan korupsi Orde Baru. Atmosfer demikian agaknya mengasah kepekaan sosial Libra walau hanya setahun mengisi koran itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satire kartun Libra bukan jenis sinisme garang yang langsung memparodikan pejabat-pejabat politik. Ia misalnya tidak pernah secara verbal menampilkan raut wajah politikus-politikus atau kroni-kroni penguasa. Itu berbeda dengan mendiang kartunis Augustin Sibarani—kartunis kawakan yang sejak 1955 memulai kariernya di harian Bintang Timur yang berhaluan kiri. Sibarani tersohor sering menampilkan sosok-sosok pejabat yang langsung bisa dikenali pembaca. Bahkan ia tak canggung “mendeformasi” wajah mereka seperti binatang. Kartun-kartun Sibarani saat masa Orde Baru dan era Reformasi juga berani menampilkan wajah Soeharto dan para loyalisnya secara gamblang. Pada Libra, kritik lebih berupa celetukan-celetukan yang mencubit sosok-sosok ciptaan dia yang figurnya kocak. 

Libra saat menggambarkan kerusuhan yang terjadi selama 13-15 Mei 1998.

Bila kita perhatikan kartun pertamanya di Indonesia Raya, sosok yang ditampilkan sudah agak setengah bulat—cenderung bulat—belum gendut amat. “Awal kali saya buat kartun, tokoh-tokohnya masih saya buat langsingan. Di Indonesia Raya pun masih langsing-langsing,” ucapnya. Munculnya sosok bulat-bulat yang kemudian menjadi ciri khasnya itu bermula saat ia membuat kartun-kartun lepas di majalah hiburan kaum muda pada 1970-an. “Saya buat kartun lepas di majalah mingguan seperti Stop. Kartun-kartun itu cuma satu atau dua gambar dengan atau tanpa balon teks. Nah, itu sosoknya mulai bulat-bulat,” tuturnya. Majalah Stop adalah majalah terbitan Grup Selecta yang memberi ruang lebar pada kartun. Pada 1970-an majalah hiburan seperti Detektif Romantika, Varia, Top, Vista, dan Aktuil lumayan banyak menampilkan vinyet-vinyet dan kartun.  

Sosok bulat-bulat ini terus menjadi ciri khas dan identitas gambarnya. Segera mudah kita kenali, bila ada kartun bersosok bulat-bulat dengan deretan gigi besar, itu pasti karya Libra. Di Kompas, sejak 1985 ia menciptakan sosok Timun. Baru saja Kompas memperingati 38 tahun Timun. Timun adalah kepala keluarga di sebuah keluarga kecil. Istrinya bernama Delima dan anaknya bernama Terong. Sosok mereka semua gembul. Keluarga Timun bukan keluarga kaya. Ia keluarga kebanyakan yang penuh kesulitan sehari-hari. Sosok Timun biasa keluar-masuk gang-gang Jakarta berjalan kaki, menyusuri Ibu Kota sampai malam. Keluarga ini gaduh, cerewet, usil, bawel, dan sering saling berteriak. Namun keributan mereka adalah bagian dari suara nurani kita. Suara Timun adalah suara rakyat. Bisa dibilang kartun Timun di Kompas mendampingi kartun Om Pasikom karya G.M. Sidharta dan Panji Koming karya Dwi Koen. 

Sosok kartun bulat-bulat sesungguhnya lebih dulu dipopulerkan Libra di majalah Kawanku. Mulai 1976 ia menciptakan sosok Tomat, si anak hutan, yang dimuat di halaman belakang tiap terbitan Kawanku. Tokoh Tomat gendut, giginya lebar, rambutnya keriting, bertelanjang dada, dan bercawat hitam. Tapi ia lincah, sanggup berjumpalitan dan berlari cepat bersama macan. Ia bergelundungan ke sana-sini bersama kera, kuda, babi, kancil, dan kerbau. Berlompatan dan main perosotan di punggung dan belalai gajah. Tindak tanduknya sering slebor. Banyak polahnya yang sembrono. Tapi ia jujur dan baik hati. Tomat memiliki sahabat perempuan, Turi, yang sering menasihatinya. Bagi anak-anak, Tomat menjadi fabel yang ceria. Kartun Tomat tampak tidak ada kaitannya dengan korupsi atau kesenjangan sosial. Namun sesungguhnya ceritanya tetap memuat kekritisan. “Ide cerita-cerita Tomat itu sebetulnya tetap dari masalah sosial yang lagi ramai di masyarakat, tapi saya terjemahkan untuk anak-anak,” ujar Libra. 

Kritik terhadap berbagai tragedi berdarah yang terjadi di Indonesia.

Di sinilah kepiawaian Libra. Majalah Kawanku dianggap majalah yang mampu menampilkan sastra anak. Kartun Libra menambah bobot sastra anak itu. Tomat sering ngrumpi tentang kehidupan kota. Dalam sebuah edisi menjelang tahun baru, Tomat digambarkan bersandar di pohon dan berkata: "Betul-betul sedih, tahun baru di hutan sepi, diggigiti nyamuk…." Tapi ia kemudian diingatkan Turi agar bersyukur. Tomat juga suka bermain bola. Suatu kali ia memamerkan keterampilannya menendang bola, sampai bersalto. Tapi ternyata semua tembakannya bisa ditangkap dengan mudah oleh Turi. “Kamu belum bisa diterima masuk Galarimba,” Turi menyindir.

Kawanku didirikan oleh aktivis Asmara Nababan dan para sastrawan, yaitu Julius Siyaranamual, Toha Mohtar, Fadli Rasjid, dan Trim Sutidja pada 1970. Pada 1990-an Kawanku dibeli oleh Grup Kompas dan dijadikan majalah remaja hingga memuat kartun Tomat tamat. Oktober 2010, Asmara Nababan, yang dikenal sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, wafat. Pada 2011, terbit sebuah buku yang bertujuan mengenang kepergiannya: Asmara Nababan Oase bagi Setiap Kegelisahan. Buku itu kumpulan tulisan para sahabatnya. Rahmat Riyadi sebagai bekas karyawan Kawanku juga diundang. 

Obituari yang dibuat Rahmat lain daripada yang lain. Ia menggambar kartun Tomat yang telah lama hilang. Dalam kartunnya itu di tengah hutan Turi mendengar kabar Asmara, anggota Komnas HAM, wafat. Lalu, semua warga dengan dipimpin Tomat hutan berkumpul dan berkabung mengenang kepergiannya. Mereka menyatakan hak asasi binatang harus dihormati sama dengan hak asasi manusia. Tomat juga memimpin para binatang berseru: "Komnas H.A.B dan Komnas H.A.M harus terus hidup dan terus maju". Kartun ini cerdas sekaligus mengharukan. 

Di Galeri Mata Waktu, Oscar Motuloh menyeleksi kartun-kartun Libra buatan 1997-2002. Kita ingat pada 1997 Indonesia dilanda krisis moneter, nilai rupiah merosot. Gonjang-ganjing politik dimulai. Maret 1998, pemimpin redaksi majalah D&R, misalnya, dipanggil aparat karena menampilkan cover bergambar kartu truf Soeharto secara bolak-balik. Edisi D&R saat itu mempertanyakan kemampuan Soeharto menangani krisis. ”Kartun-kartun Libra yang ditampilkan di sini menyajikan tak henti-hentinya kasus politik semenjak reformasi sampai 2002,” tutur Oscar. Soal kerusuhan Mei 1998, misalnya, gambar Libra menampilkan tiga orang yang tiarap ketakutan terhadap peluru nyasar yang ditembakkan aparat. Dor, dor, dor. Mereka masing-masing memperkenalkan diri: "Saya maling, kamu?", "Saya mahasiswa, kamu?" Lalu orang ketiga berkata: "Saya kencing…." Masih tetap ada canda di situ.


Rahmat Riyadi. Repro Pameran Kartun Politik 50 Tahun
Berkarya O Libra Libre/Matawaktu

Lalu terdapat pula kartun lain. Sepasang pria-wanita gendut bergidik menyaksikan darah-darah berceceran di Ambon, Trisakti, Semanggi, Tanjung Priok, dan Aceh. Sang wanita mengucap seperti iklan Coca Cola: "Di mana saja, kapan saja, siapa saja". Disambung suaminya: "Darah…." Libra tanpa henti mengangkat isu politik panas setelah kejatuhan Soeharto. Ia meleluconkan Habibie yang mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun 1998 pada 2 Desember 1998 tentang pemeriksaan Soeharto, tapi tak berkelanjutan. Pada 1999, Libra mengangkat peristiwa saat pihak militer menembaki warga di Aceh, yang dikenal sebagai Tragedi Simpang KKA (Simpang Kraft), dengan 23 korban warga tewas.

Dari presiden ke presiden, kekerasan militer dan korupsi adalah topik utama Libra. Salah satu kartun yang saya anggap berhasil adalah kartun ramai-ramai cuci tangan. Tiga orang mendendangkan lirik lagu "ayo rame-rame cuci tangan, sayange", menyindir militer yang cuci tangan dalam masalah HAM. Pada titik ini kartun tersebut bukan sekadar sindiran, tapi sebuah gugatan. ”Dari awal sampai kini, kartun-kartun saya yang dimuat di media selalu inisiatif pribadi, bukan pesanan rapat redaksi atau apa,” ucap Libra.

Dalam pamerannya di Galeri Mata Waktu, Libra juga menampilkan kartun berwarna di sebuah kanvas besar. Merasakan kartun hitam-putih di kertas dengan kartun di kanvas memang agak berbeda. Mungkin bisa saja sekali pada waktu khusus dipamerkan kartun-kartun kanvas ini. Di pameran ini terasa langka melihat Libra menggambar langsung kartunnya untuk pengunjung. Seorang perempuan pada malam pembukaan menyodorkan goodie bag putihnya ke Libra dan srat-sret, menggunakan spidol hitam, hanya dalam dua menit, Libra menggambar gajah lucu—mengingatkan kita pada era Tomat. Pameran itu menjual kaus dan mug. Mengenakan kaus bergambar kartun politik Libra dan meneguk kopi dengan cangkir politik Libra mungkin membuat kita merasa jenaka dan kritis.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus