Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEPUK tangan panjang penonton bergemuruh. Di atas panggung, Sandhy Sondoro baru saja selesai menyanyikan Andaikan Kau Datang. Lagu gubahan Tonny Koeswoyo yang dipopulerkan suara Yon Koeswoyo pada 1971 itu terasa lebih segar. Sama sekali tak terdengar jadul. Dengan penjiwaan total, penyanyi bersuara berat itu memberikan sentuhan soul pada lagu tersebut.
Gaya soul yang kental juga terasa saat dia membawakan lagu gubahan Tonny yang lain, Why Do You Love Me. Gaya Sandhy yang asyik makin menggelitik penonton untuk ikut berdendang kala dia menyanyikan lagu Bunga di Tepi Jalan. Tiupan saksofon Dennis Junio membuat lagu berirama riang ciptaan Yon Koeswoyo itu terdengar lebih jazzy.
Kehadiran Sandhy Sondoro memberikan daya tarik tersendiri pada pergelaran A Masterpiece of Erwin Gutawa di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, Sabtu dua pekan lalu. Sesuai dengan judulnya, konser yang digagas sejak enam bulan lalu itu merupakan refleksi perjalanan Erwin Gutawa selama hampir tiga dekade berkecimpung di industri musik Tanah Air. “Konser ini bisa dibilang highlight dari apa yang pernah saya kerjakan,” kata Erwin.
Koes Plus menjadi salah satu jejak kreatif perjalanan Erwin. Pada 2004, dia menggarap lagu-lagu Koes Bersaudara dan Koes Plus dalam album Salute to Koes Plus/Bersaudara. Erwin tak ingin sekadar mengulang konser EG Salute to Koes Plus/Bersaudara yang dibuatnya pada tahun yang sama. Dengan menggandeng Sandhy Sondoro, dia melakukan reinterpretasi pada lagu-lagu band legendaris itu.
Semangat reinterpretasi itu juga tampak saat dia menghadirkan mendiang Chrisye di atas panggung lewat vokal bening Afgan dan Vidi Aldiano. Dua penyanyi muda yang tengah digandrungi anak-anak baru gede itu menyanyikan medley lagu Chrisye yang pernah berjaya pada 1970-an: Baju Pengantin, Pelangi, Serasa, Angin Malam, dan Merpati Putih. Hubungan antara Erwin dan Chrisye memang cukup dekat. Berulang kali mereka bekerja sama, termasuk dalam beberapa konser tunggal Chrisye, seperti Konser Sendiri, Badai Pasti Berlalu, dan Dekade.
Konser perjalanan karier sang komposer ini dibuka dengan penampilan duet Lea Simanjuntak dan Gabriel B. Harvianto. Di panggung yang megah, lengkap dengan suguhan audiovisual dan efek cahaya dari berbagai penjuru, kedua penyanyi ini menyanyikan tembang Menjilat Matahari karya Yockie S. Prayogo. Selanjutnya, lewat lantunan penyanyi seperti Rossa, Once, dan Iwan Fals, selama tiga jam, penonton diajak mengikuti jejak kariernya sebagai pemain musik, pencipta lagu, arranger, produser musik, music director, dan konduktor orkestra.
Erwin tak hanya memimpin orkestra. Sesekali dia bermain piano, seperti saat putrinya, Gita Gutawa, tampil menemani di atas panggung. Gita menyanyi dengan lincah sambil sesekali menggoda ayahnya yang sedang bermain piano. Dia juga mengangkat cuplikan keceriaan Kampung Gantong, Pulau Belitung, dalam drama musikal Laskar Pelangi ke atas panggung, dengan menyuguhkan kembali lagu-lagu yang menghiasi drama musikal itu.
Konser yang diproduksi Kompas Gramedia Production dan Dyandra Production itu sekaligus membuktikan kepiawaian musikalitas lelaki 48 tahun ini meramu karya dalam berbagai genre musik, yang variatif: pop, rock, jazz, dan keroncong.
Lihatlah bagaimana dia mengkombinasikan musik orkestra dengan raungan musik rock yang dibawakan kelompok musik Kotak—mengingatkan kita pada album dan konser Rockestra yang digarapnya pada 2006. Erwin juga mampu menyuguhkan sajian musik keroncong yang memikat saat mengiringi Waljinah dan Surti, penyanyi muda asal Solo, menyanyikan lagu Walang Kekek. “Sebuah kolaborasi yang luar biasa,” kata Vina Panduwinata, yang ikut menonton.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo