Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEDUK itu membrannya terbuat dari sobekan ban dalam mobil. Itulah tampilan unik sebuah kelompok perkusi dari daerah Banyumas, Jawa Tengah. Instrumennya pun sangat berbeda dengan peserta umumnya, yang mempergunakan instrumen gitar, biola, kontrabas, dan modifikasi drum portabel. Kelompok etnis Banyumasan ini mempergunakan satu oktaf angklung bambu sebagai instrumen melodis.
Itulah salah satu peserta kompetisi musik Kompak (Kompetisi Musik Paling Aksi dan Kreativ) yang diadakan di gedung Puri Agung, Depok Lama, Bogor, pada 18 hingga 20 Februari lalu. Perhelatan yang diselenggarakan PT Semen Gresik ini melibatkan musisi dalam berbagai komunitas.
Mereka datang dari berbagai kalangan, kampus, pemusik jalanan, karang taruna, sampai kelompok marawis, yang kita ketahui mempergunakan beberapa buah rebana dan perkusi hajir, semacam jimbe dari Timur Tengah. Kompetisi ini merupakan pelaksanaan yang ketiga di provinsi-provinsi di Pulau Jawa ini.
Sebelumnya pada 2009 di Jawa Timur telah terlaksana di sebelas kota. Pada 2010 di Jawa Tengah dan Yogyakarta telah dilaksanakan di enam kota. Panitia pelaksana mempersyaratkan setiap peserta menyajikan musik ciptaan mereka sendiri atau membawakan karya komponis lain dengan rearrangement. Yang mengejutkan di antara kelompok itu ada yang telah melakukan lompatan kreatif sebagaimana layaknya musik serius. Mereka sangat berani menyajikan musik dengan pulsa 5, 7, atau hitungan-hitungan ganjil.
Komposisi yang penuh dengan teknik kontrapunk, membenturkan melodi dengan melodi, birama dengan birama, buÂnyi dengan bunyi. Melakukan penyilangÂan gramatika musikal melalui instrumen musik pop akustik dengan karakter melodi yang sarat dengan muatan etnis.
Tak kalah mencengangkan adalah munculnya kesadaran atas performing. Aksi panggung mereka ada yang serius, mendayu-dayu, kocak, teatrikal. Terus terang, hal ini bisa jadi menimbulkan rasa iri bagi musisi kontemporer-serius yang telah kehilangan forum eksperimentasinya.
Tatkala para peserta memasuki fase selanjutnya, yaitu menuju babak empat besar, di samping menyajikan karya pilihan, peserta wajib menyajikan sebuah lagu yang diambil dari jingle Semen Gresik ciptaan Purwa Caraka. Di sini kemudian muncul berbagai tantangan dan persoalan. Ternyata tidak mudah membuat aransemen ulang jingle tersebut.
Bagi kelompok yang mempergunakan dominasi instrumen melodis seperti gitar dan biola, masih ada ruang kosong untuk berkiprah nakal pada bagian intro atau interlude dari jingle tersebut. Atau, mereka bisa memermak lagu tersebut menjadi irama reggae, cool jazz, keroncong. Tapi, untuk kelompok pemusik seperti perkusi Banyumasan, marawis, dan juga kelompok yang mengusung instrumen gambang keromong, jingle ini menjadi batu sandung yang membuat musiknya menyajikan repetisi atau pengulangan semu.
Di Indonesia musisi jalanan atau yang sering disebut pengamen itu sehari-harinya menyanyi untuk mengisi perut. Mereka bukan seperti trubador di luar negeri, yang umumnya musisi atau para mahasiswa yang ingin menguji mental dan kemampuan virtuositas mereka di depan publik. Kompetisi Kompak ini dalam bulan-bulan yang akan datang segera hadir di kota-kota seperti Cirebon, Bandung, dan Serang, dengan harapan akan menemukan persoalan kreativitas musikal yang berbeda.
Lewat kompetisi kreatif semacam inilah mereka bisa mencontoh para senior mereka—pengamen yang sebelumnya menjadi juara festival—seperti RasÂtajam, D Junk, Kurma, dan Star. Atau menjadi eksis seperti kelompok Klantink, yang pernah menjadi juara di Jawa Timur kemudian menjadi jagoan dalam Indonesia Mencari Bakat di TransTV.
I Wayan Sadra, perajin bunyi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo