JAKARTA memang bukan surga. Ketika pelaut Belanda Cornelis de Houtman sampai di muara Sungai Ciliwung pada 1596, Jakarta tak lebih dari sebuah pelabuhan kecil. Kini pelabuhan lada itu telah mekar menjadi seluas 665 km persegi, dan penuh belantara bangunan-bangunan jangkung . Kota kelima terpadat di dunia ini, dihuni 7,5 juta penduduk, tentu saja bukan tempat mukim yang nyaman. Paru-paru kota pernah suatu ketika nyaris terserang "kanker". Karena pepohonan, bahkan di jalur hijau sekalipun, pernah digusur pendatang untuk sepetak tempat berteduh. Pemerintah kota nyaris seperti tak berdaya memotong "kanker" itu. Kini siapa sangka, Jakarta hijau lagi. Tapi untuk melakukan penataan kota itu tak kurang dari Rp 2,3 milyar harus dikeluarkan dari kantung pemerintah daerah setiap tahun. Dana itu untuk keperluan penghijauan serta perawatan taman dan jalur hijau. "Hampir 400 buah taman dan 12 juta meter persegi jalur hijau harus kami rawat," kata Ir. Budiman, Kepala Dinas Ruang Pertamanan DKI Jakarta. Itu masih belum terhitung taman-taman yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan real estate. Contoh terbaik usaha penghijauan yang dilakukan Pemda DKI Jakarta adalah di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Rasuna Said, Pejompongan, dan Jalan Minangkabau. Kerimbunan pohon angsana di sepanjang jalan itu telah menimbulkan suasana nyaman bagi warga kota ketika melintasi lorong hijau tersebut. Dan itu berarti kehijauan telah berfungsi sebagai unsur keindahan dan paru-paru kota. Usaha penghijauan ini sebenarnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah semata, tapi juga warganya. Bahkan Peraturan Daerah 1973 telah menetapkan bahwa pohon pelindung juga harus ditanam oleh masyarakat. Kalau di tanah sempit di pinggir parit atau pada setumpak lahan di sekitar gedung-gedung jangkung ada yang tetap memelihara tanaman, sawi, kacang-kacangan, dan bawang, itu bukan semata untuk membuat lingkungan menjadi hijau. Tapi juga untuk membuat dapur mereka tetap berasap. Karena tanaman itu juga sumber penghasilan bagi yang menanam. Tiga puluh tahun lalu seniman Rendra pernah menulis surat ~kepada temannya. Dia mengatakan, tidak ingin tinggal di Jakarta, tapi tetap di Yogya, di antara embusan angin, gemercik air, dan daun-daun yang hijau. Kini Rendra sudah pindah ke Jakarta. Mungkin dia sudah menemukan pepohonan yang rimbun dan kehijauan di antara hiruk-pikuk kota besar. Burhan Piliang &~ Linda Jalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini