Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ia hanya memandang & menungguku

Pengarang: ramadhan kh jakarta: sinar harapan, 1981 resensi oleh: toeti kakiailatu. (bk).

4 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUANTAR KE GERBANG Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno. Ramadhan K.H. 466 halaman, Sinar Harapan, 1981. MENULIS buku roman dengan tokoh sentral Bung Karno, bisa mengasyikkan. Almarhum adalah tokoh dengan kehidupan yang begitu berwarna, yang tidak bisa begitu saja dilupakan yang pernah mengenalnya. Bahkan C.L.M. Penders (dalam bukunya The Life and Times of Sukarno) menyebutnya sebagai l'enfant terrible dari negara-negara Asia yang sedang bangkit. Dan bagi wanita, pribadi Sukarno memang memikat. Ia mempunyai api cinta dengan kobaran yang memabukkan. Baca saja Catatan Kecil Bersama Bung Karno oleh Fatmawati almarhumah. Dan kini Inggit Ganarsih -- perempuan yang mendampingi Sukarno muda sebelum menjadi insinyur sampai menjadi tokoh pergerakan nasional yang diakui. Lewat serangkaian wawancara dengan Ibu Inggit Ganarsih sendiri, dibantu Ratna Djuami Asmara Hadi dan Kartika Uteh Riza Yahya --kedua anak angkat Sukarno-lnggit -- Ramadhan K.H. menuangkannya dalam sebuah roman percintaan nyata. Mawar Merah Dalam kata pengantar Ramadhan mengakui, untuk beberapa hal, ia mengambil dari beberapa buku "yang malahan kadang-kadang saya angkat seutuhnya." Tapi tak jelas, mengapa Ramadhan tidak mencantumkan daftar bibliografi. Agaknya inilah kelemahan buku ini yang utama. Misalnya tentang masalah PNI, terasa diambil begitu saja dari Soekarno an Autobiography as told to Cindy Adams, atau dari Tonggak-tongak di Perjalananku Ali Sastroamidjojo, atau Sunario "Bung Hatta di mata seorang teman sebaya" dalam Bung Hatta 70. Juga tentang pidato pembelaan Bung Karno di depan pengadilan Belanda (1930), dibeberkannya dengan panjang lebar. Sebetulnya, wanita yang bernama Ganarsih sendiri adalah cerita yang mengasyikkan. Lahir di Desa Kamasan Banjaran, sebelah selatan Bandung, Ganarsih mempunyai raut muka yang rupawan. Begitu rupawannya dia, sehingga pada masa kanak-kanaknya apabila ia disuruh pergi ke pasar, banyak orang yang memberinya uang. Ketika menjadi gadis, bahkan banyak orang yang melemparkan uang lewat jendela kamarnya. Tidak jarang jumlahnya sampai seringgit. Sejak itu, orang-orang memanggilnya si Ringgit. " . . . kemudian menjadi si Inggit, sebutan yang lebih manis kedengarannya." (hal. 45). Novelis Suwarsih Djojopuspito dalam Buiten het gareel menulis kesannya tentang Inggit Ganarsih: "Bermuka lonjong, garis yang sempurna dari hidung turun ke dagu. Rambutnya yang ikal hitam nampak sedikit pada lehernya yang indah, yang membuatnya selalu tampak muda, berlawanan dengan kerut-kerut mukanya yang sesekali nampak. Dan matanya yang tajam dan indah. Dia adalah orang yang enak diajak ngobrol dan, sesungguhnya, wanita yang selalu mencoba menyenangkan orang lain, terutama suaminya. Suaranya yang jernih dengan irama bahasa Sunda yang lembut, gerakan tangannya yang begitu luwes, seakan gerakan-gerakan tari saja. Sedangkan almarhum Abu Hanifah dalam Tales of Revolution menulis: "Sesungguhnya, Inggit adalah wanita yang menarik sekali dan telah mencapai kematangan kecantikan seorang wanita dalam usia awal 30-an. Ada sekuntum mawar merah di rambutnya yang hitam kebiru-biruan itu dan dia tampak, aduhai! Amir (maksudnya Amir Sjarifuddin, pen.) kehilangan katakata dan saya begitu tertarik, tetapi dia terlalu tua untuk kami berdua . . . " Sesudah menikah dengan Kopral Nataatmadja, dan kemudian Haji Sanusi, 1923, Inggit menikah dengan Sukarno -- mahasiswa THS (sekarang ITB) yang indekos di rumah Haji Sanusi. Waktu itu, usia Sukarno 22 tahun dan Inggit sendiri 12 tahun lebih tua. Cinta telah bersemi sedikit demi sedikit antara pemuda yang mencari perlindungan kepada wanita yang bisa menjadi kekasih, ibu dan pendengar yang baik dengan wanita yang kesepian. Haji Sanusi, suami Inggit, lebih asyik main karambol di malam hari. Sukarno sendiri, sekian puluh tahun kemudian, kepada Cindy Adams berkata: "Inggit yang bermata besar dan memakai gelang ditangan itu tidak mempunyai masa lampau yang gemilang. Dia sama sekali tidak terpelajar, akan tetapi intelektualisme bagiku tidak penting dalam diri seorang perempuan. Yang kuhargai adalah kemanusiaannya. Perempuan ini sangat mencintaiku. Dia tidak memberi pendapat-pendapat. Dia hanya memandang dan menungguku, dia mendorong dan memuja." Dan Sukarno memerlukan pengabdian dan cinta yang total. Dan inilah awal percintaan itu menurut Ramadhan: "Dia menggeser tangannya, merayap perlahan-lahan dan menyentuh tanganku. Kurasakan tenaganya. Dadanya mendekat. Bibirnya mendekat. Aku ditarik dan kami berpindah tempat" (hal. 35). Begitulah. Sampai pada suatu hari, keduanya mengaku dan berkata terus terang kepada Sanusi. Saudagar yang digambarkan sebagai orang yang arif itu pun dengan ikhlas memberikan istrinya kepada Sukarno. Bahkan ia berpesan kepada Inggit, agar menjaga dan menolong Sukarno hingga mencapai cita-citanya. Kepada Sukarno ia berpesan agar tak menyakiti Inggit lahir dan bathin. Sukarno dan Inggit menikah selama 22 tahun, suatu rekor tertinggi, kalau dibandingkan dengan masa perkawinan almarhumah Fatmawati, Hartini, Ratna Sari Dewi dan yang lain-lain. Dan di tahun-tahun yang penuh dengan tantangan pemerintah kolonial Belanda tersebut, 12« tahun dilewati dalam penjara dan pembuangan. Pria yang pesolek dan senang parlente ini, kemudian beristri lagi -- lebih dari seorang. Cuma kita tidak tahu pasti, kepada yang mana almarhum Sukarno telah menunjamkan cintanya yang asli. Mungkin, Bung Karno sendiri tak tahu. Dan roman Inggit-Bung Karno tulisan Ramadhan -- pemenang penulisan novel IKAPI/UNESCO (Royan Revolusi, 1968) dan DKJ (Keluarga Permana, 1975 dan Kemelut Hidup, 1976) -- memang enak dibaca. Ia tak hanya bercerita melulu tentang kisah cinta mereka. Tapi juga tentang pergerakan nasional, yang Sukarno pun terlibat -- bahkan menjadi tokoh. Dan, ternyata Inggit memahami, bangga, dan merasa tak sia-sia berkorban demi suaminya -- harap dicatat, dalam soal dapur rumah tangga Sukarno-lnggit benar-benar hanya ditopang oleh Inggit. Berbeda dengan kisah cinta para tokoh negarawan yang lain -- The Women He Loved, tentang percintaan Duke dan Duchess dari Windsor karya Ralph S. Martin, yang tak menyinggung soal politik Inggris waktu itu, misalnya -- Ramadhan agaknya cukup paham, bagaimana harus bercerita tentang Sukarno. Politik, cinta, seni bagi Sukarno agaknya bukan hal yang terpisah. Toeti Kakiailatu/BB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus