KUANTAR KE GERBANG
Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno. Ramadhan K.H. 466
halaman, Sinar Harapan, 1981.
MENULIS buku roman dengan tokoh sentral Bung Karno, bisa
mengasyikkan. Almarhum adalah tokoh dengan kehidupan yang begitu
berwarna, yang tidak bisa begitu saja dilupakan yang pernah
mengenalnya. Bahkan C.L.M. Penders (dalam bukunya The Life and
Times of Sukarno) menyebutnya sebagai l'enfant terrible dari
negara-negara Asia yang sedang bangkit.
Dan bagi wanita, pribadi Sukarno memang memikat. Ia mempunyai
api cinta dengan kobaran yang memabukkan. Baca saja Catatan
Kecil Bersama Bung Karno oleh Fatmawati almarhumah. Dan kini
Inggit Ganarsih -- perempuan yang mendampingi Sukarno muda
sebelum menjadi insinyur sampai menjadi tokoh pergerakan
nasional yang diakui.
Lewat serangkaian wawancara dengan Ibu Inggit Ganarsih sendiri,
dibantu Ratna Djuami Asmara Hadi dan Kartika Uteh Riza Yahya
--kedua anak angkat Sukarno-lnggit -- Ramadhan K.H.
menuangkannya dalam sebuah roman percintaan nyata.
Mawar Merah
Dalam kata pengantar Ramadhan mengakui, untuk beberapa hal, ia
mengambil dari beberapa buku "yang malahan kadang-kadang saya
angkat seutuhnya." Tapi tak jelas, mengapa Ramadhan tidak
mencantumkan daftar bibliografi. Agaknya inilah kelemahan buku
ini yang utama.
Misalnya tentang masalah PNI, terasa diambil begitu saja dari
Soekarno an Autobiography as told to Cindy Adams, atau dari
Tonggak-tongak di Perjalananku Ali Sastroamidjojo, atau Sunario
"Bung Hatta di mata seorang teman sebaya" dalam Bung Hatta 70.
Juga tentang pidato pembelaan Bung Karno di depan pengadilan
Belanda (1930), dibeberkannya dengan panjang lebar.
Sebetulnya, wanita yang bernama Ganarsih sendiri adalah cerita
yang mengasyikkan. Lahir di Desa Kamasan Banjaran, sebelah
selatan Bandung, Ganarsih mempunyai raut muka yang rupawan.
Begitu rupawannya dia, sehingga pada masa kanak-kanaknya apabila
ia disuruh pergi ke pasar, banyak orang yang memberinya uang.
Ketika menjadi gadis, bahkan banyak orang yang melemparkan uang
lewat jendela kamarnya. Tidak jarang jumlahnya sampai seringgit.
Sejak itu, orang-orang memanggilnya si Ringgit. " . . . kemudian
menjadi si Inggit, sebutan yang lebih manis kedengarannya."
(hal. 45).
Novelis Suwarsih Djojopuspito dalam Buiten het gareel menulis
kesannya tentang Inggit Ganarsih: "Bermuka lonjong, garis yang
sempurna dari hidung turun ke dagu. Rambutnya yang ikal hitam
nampak sedikit pada lehernya yang indah, yang membuatnya selalu
tampak muda, berlawanan dengan kerut-kerut mukanya yang sesekali
nampak. Dan matanya yang tajam dan indah. Dia adalah orang yang
enak diajak ngobrol dan, sesungguhnya, wanita yang selalu
mencoba menyenangkan orang lain, terutama suaminya. Suaranya
yang jernih dengan irama bahasa Sunda yang lembut, gerakan
tangannya yang begitu luwes, seakan gerakan-gerakan tari saja.
Sedangkan almarhum Abu Hanifah dalam Tales of Revolution
menulis: "Sesungguhnya, Inggit adalah wanita yang menarik sekali
dan telah mencapai kematangan kecantikan seorang wanita dalam
usia awal 30-an. Ada sekuntum mawar merah di rambutnya yang
hitam kebiru-biruan itu dan dia tampak, aduhai! Amir (maksudnya
Amir Sjarifuddin, pen.) kehilangan katakata dan saya begitu
tertarik, tetapi dia terlalu tua untuk kami berdua . . . "
Sesudah menikah dengan Kopral Nataatmadja, dan kemudian Haji
Sanusi, 1923, Inggit menikah dengan Sukarno -- mahasiswa THS
(sekarang ITB) yang indekos di rumah Haji Sanusi. Waktu itu,
usia Sukarno 22 tahun dan Inggit sendiri 12 tahun lebih tua.
Cinta telah bersemi sedikit demi sedikit antara pemuda yang
mencari perlindungan kepada wanita yang bisa menjadi kekasih,
ibu dan pendengar yang baik dengan wanita yang kesepian. Haji
Sanusi, suami Inggit, lebih asyik main karambol di malam hari.
Sukarno sendiri, sekian puluh tahun kemudian, kepada Cindy Adams
berkata: "Inggit yang bermata besar dan memakai gelang
ditangan itu tidak mempunyai masa lampau yang gemilang. Dia
sama sekali tidak terpelajar, akan tetapi intelektualisme bagiku
tidak penting dalam diri seorang perempuan. Yang kuhargai adalah
kemanusiaannya. Perempuan ini sangat mencintaiku. Dia tidak
memberi pendapat-pendapat. Dia hanya memandang dan menungguku,
dia mendorong dan memuja." Dan Sukarno memerlukan pengabdian dan
cinta yang total.
Dan inilah awal percintaan itu menurut Ramadhan: "Dia menggeser
tangannya, merayap perlahan-lahan dan menyentuh tanganku.
Kurasakan tenaganya. Dadanya mendekat. Bibirnya mendekat. Aku
ditarik dan kami berpindah tempat" (hal. 35). Begitulah.
Sampai pada suatu hari, keduanya mengaku dan berkata terus
terang kepada Sanusi. Saudagar yang digambarkan sebagai orang
yang arif itu pun dengan ikhlas memberikan istrinya kepada
Sukarno. Bahkan ia berpesan kepada Inggit, agar menjaga dan
menolong Sukarno hingga mencapai cita-citanya. Kepada Sukarno ia
berpesan agar tak menyakiti Inggit lahir dan bathin.
Sukarno dan Inggit menikah selama 22 tahun, suatu rekor
tertinggi, kalau dibandingkan dengan masa perkawinan almarhumah
Fatmawati, Hartini, Ratna Sari Dewi dan yang lain-lain. Dan di
tahun-tahun yang penuh dengan tantangan pemerintah kolonial
Belanda tersebut, 12« tahun dilewati dalam penjara dan
pembuangan.
Pria yang pesolek dan senang parlente ini, kemudian beristri
lagi -- lebih dari seorang. Cuma kita tidak tahu pasti, kepada
yang mana almarhum Sukarno telah menunjamkan cintanya yang asli.
Mungkin, Bung Karno sendiri tak tahu.
Dan roman Inggit-Bung Karno tulisan Ramadhan -- pemenang
penulisan novel IKAPI/UNESCO (Royan Revolusi, 1968) dan DKJ
(Keluarga Permana, 1975 dan Kemelut Hidup, 1976) -- memang enak
dibaca. Ia tak hanya bercerita melulu tentang kisah cinta
mereka. Tapi juga tentang pergerakan nasional, yang Sukarno pun
terlibat -- bahkan menjadi tokoh. Dan, ternyata Inggit memahami,
bangga, dan merasa tak sia-sia berkorban demi suaminya -- harap
dicatat, dalam soal dapur rumah tangga Sukarno-lnggit
benar-benar hanya ditopang oleh Inggit.
Berbeda dengan kisah cinta para tokoh negarawan yang lain --
The Women He Loved, tentang percintaan Duke dan Duchess dari
Windsor karya Ralph S. Martin, yang tak menyinggung soal politik
Inggris waktu itu, misalnya -- Ramadhan agaknya cukup paham,
bagaimana harus bercerita tentang Sukarno. Politik, cinta, seni
bagi Sukarno agaknya bukan hal yang terpisah.
Toeti Kakiailatu/BB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini