DARI sebuah kelokan jalan, dari arah Cipayung - Bogor, Rindu
Alam nampak nun di kejauhan, nangkring di atas sebuah
perbukitan. Seperti sebuah kastil kuno. Sambil menyantap
hidangan, orang dapat menikmati lembah dan bukit-bukit kecil
yang terhampar di bawah.
Beberapa kendaraan, seperti mainan kanak-kanak, beiringan di
jalan aspal berkelak-kelok bagaikan ular membelah lembah
menghijau di kawasan Puncak. Pada ketinggian 1.200 meter dari
permukaan laut, kadang-kadang ada juga kabut menyelimuti dataran
lembah. Di Rindu Alam muncul terang-benderang di tengah alam
yang gelap-gulita.
Restoran itu sangat laris. Hari-hari biasa, terutama antara
pukul 12-14, hampir dua pertiga dari 160 kursi terisi. Sekitar
30 mobil memenuhi halaman parkir yang tidak luas. "Di hari
Minggu dan hari-hari besar banyak tamu tidak kebagian tempat.
Dan tidak sedikit mobil yang terpaksa parkir di pinggir jalan,"
kata seorang pelayan.
Bisa dimaklum kalau Menteri PU Poernomosidi menyebut ada
bangunan yang "menimbulkan kemacetan lalulintas" di Puncak.
Terutama bila ada mobil keluar-masuk halaman parkir, tidak
seperti umumnya bungalow atau hotel-hotel di Puncak, halaman
parkir Rindu Alam memang terlalu mepet dengan jalan.
Karena itu kepada TEMPO akhir pekan lalu Poernomosidi menegaskan
"tempat itu harus dikembalikan keadaannya seperti dulu, sebagai
tempat untuk umum." Beberapa bangunan di Puncak memang akan
ditertibkan. Dalam rapat di Departemen PU, pertengahan bulan
lalu, dibahas perkembangan bangunan di sepanjang jalan Cipayung
Puncak-Cipanas yang dianggap sudah sangat pesat. Bahkan
cenderung sulit dikendalikan lagi. Menurut Menteri Poernomosidi,
ada bangunan yang "sangat merusak lingkungan, mengurangi
keindahan, menimbulkan kemacetan lalulintas dan mengancam
kelestarian alam."
Yang ditunjuk rupanya Restauran Rindu Alam -- 30 km dari Bogor.
Serta Laboratorium Farmasi Eisei, sebuah perusahaan kerjasama
antara pihak swasta dan Jepang, yang terletak sekitar 1 km dari
restauran tersebut.
Sebelum Rindu Alam berdiri, pertengahan Juli 1980, di tempat itu
sudah ada bangunan lama yang tidak terpelihara dan kotor. Dan di
sanalah, setiap orang dengan bebas dan gratis menikmati
pemandangan alam. Di sana pula penduduk mencari nafkah dengan
menual sate, jagung rebus dan topi dari bulu kelinci.
Yang nampaknya merepotkan ialah tuduhan bahwa Rindu Alam tidak
mendapat izin dari pusat. Tapi menurut pemiliknya, Ibrahim
Adjie, pensiunan perwira tinggi, bekas Pangdam Siliwangi dan
Dubes di Inggris serta Swiss, tidak ada persoalan dengan Rindu
Alam. Ia sudah minta izin PU Ja-Bar. Instansi itu kemudian
menyerahkan Hak Guna Pakai tanah kepadanya. Sedang izin prinsip
pembangunannya diperoleh dari Pemda Kabupaten Bogor.
Yang jadi soal tinggal Coffee House -- bangunan kecil sekitar
200 meter dari Rindu Alam. Menurut penilaian seorang staf
Menteri Negara PPLH, bangunan tersebut melanggar peraturan tidak
sesuai dengan garis sempadan jalan. Karena itu harus dipotong.
Sampai sekarang Coffee House itu belum dibuka.
Ibrahim Adjie, berdasarkan teguran, September 1980 sudah menulis
surat kepada Menteri Emil Salim. Ia mengakui bangunan tambahan
Coffee House itu melanggar peraturan. "Saya secara resmi sudah
mengakui salah dan saya mohon maaf. Dan saya akan mengubahnya,"
katanya kepada koran Bandung, Pikiran Rakyat.
Dalam surat tersebut Ibrahim Adjie juga mengajukan usul agar
persoalan bangunan utama Rindu Alam hendaknya dipisahkan dari
bangunan tambahan. Dan kalaupun harus merombak atau mengubah
Coffee House, ia minta waktu sekitar 5 tahun lagi -- setelah
modal yang ditanam kembali.
Pengelolaan Rindu Alam selama ini ditangani Haji D.S. Mangkuto,
pemilik Restauran Roda. Ibrahim Adjie kadang-kadang muncul juga
di Rindu Alam. Ia lebih sering mengurus beberapa perusahaannya
yang lain di Bandung (industri kecil), Batam (pembangunan jalan)
dan Jambi (perkayuan). Dalam usia 58 tahun, rambut dan kumisnya
sudah memutih.
Pihak Pemda Ja-Bar dan Kabupaten Bogor jadi agak rikuh
menghadapi persoalan ini. "Soalnya pemilik Rindu Alam itu kan
tokoh Jawa Barat. Sekarang ini masih banyak penduduk desa yang
memasang gambar Pak Ibrahim Adjie," ucap seorang pejabat teras
Kabupaten Bogor. "Kalau dianggap menimbulkan kemacetan
lalulintas, kan jalannya dapat diperlebar," tambahnya.
Dalam hal Laboratorium Farmasi Eisei pun, Pemda Ja-Bar jadi
terjepit. Sebab, ketika dibangun pada 1971 dulu, laboratorium
tersebut kabarnya mendapat rekomendasi beberapa menteri. Tapi
bagi Eisei tidak menjadi soal benar. Sebab tahun depan
laboratorium ini sudah akan pindah ke Cibinong.
Menempati areal 6 hektar tanah perkebunan milik PT Ciliwung
(sebuah perusahaan perkebunan teh di Puncak), bangunan
laboratorium tersebut hanya luasnya kurang dari setengah hektar.
Letak pagar dan pintu masuk ke laboratorium, yang berada di
bagian tengah, tidak mengganggu lalulintas.
Dalam Proses
Menurut Gubernur Aang Kunaefi, soal penertiban bangunan-bangunan
di Puncak, terutama Rindu Alam dan Laboratorium Eisei, masih
dalam proses. Ia berjanji: "Pokoknya jangan sampai kedua
pengusaha itu dirugikan. Sebab mereka sudah mengeluarkan biaya
cukup besar."
Tapi pemerintah pusat tetap bersiteguh: bongkar. "Itu sudah
dipastikan. Mereka boleh usul, asal jangan mengusulkan minta
dipertahankan," kata Menteri Poernomosidi, pekan lalu kepada
Widi Yarmanto dari TEMPO. Mengenai perizinan yang dikeluarkan
oleh daerah, Menteri menegaskan, "perizinan itu wewenang pusat"
-- sebagaimana diatur PP No.13/1963. Peraturan Presiden ini
menugaskan Menteri PU mengatur dan mengawasi kawasan Puncak.
Kepala Dinas PU Ja-Bar, Ir. Machmuddin Machdurah, mengakui pihak
PU Ja-Bar memberikan izin bangunan bagi Rindu Alam. Begitu pula
bangunan-bangunan lain di sepanjang jalan Puncak Cianjur. Selama
ini prosedur perizinan diajukan ke daerah, dengan tembusan
pusat. "Tapi karena belum ada pola pembangunan terpadu,
keadaannya jadi semrawut," katanya.
Menteri Poernomosidi sudah bertekad "membersihkan kembali
kawasan Puncak seperti dulu" -- pada ketika PP No.13/1963 itu
terbit. Karena itu ia mintaù Dirjen Cipta Karya, Radinal Muchtar,
membentuk tim untuk menangani masalah tersebut. Tim antara lain
bertugas mengumpulkan peraturan yang berkenaan dengan
pembangunan di kawasan Puncak dan bangunan mana saja yang
terkena peraturan tersebut.
Hasilnya ditunggu akhir bulan Juni ini. Segera setelah itu akan
disusun rencana induk berikut rencana pembangunan terperinci.
Juga pedoman pelaksanaannya. Nampaknya akan banyak bangunan yang
bakal digusur. Sebab, seperti kata Pjs. Ka. Humas Departemen PU
Suroyo, ada peraturan yang menyebutkan: bangunan hanya boleh
berdiri 200 meter dari jalan besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini