Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Rindu Alam: Bongkar

Restoran rindu alam, milik bekas pangdam siliwangi ibrahim adjie di daerah puncak, harus di bongkar atas intruksi menteri pu poernomosidi, karena mengganggu lingkungan. (dh)

4 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI sebuah kelokan jalan, dari arah Cipayung - Bogor, Rindu Alam nampak nun di kejauhan, nangkring di atas sebuah perbukitan. Seperti sebuah kastil kuno. Sambil menyantap hidangan, orang dapat menikmati lembah dan bukit-bukit kecil yang terhampar di bawah. Beberapa kendaraan, seperti mainan kanak-kanak, beiringan di jalan aspal berkelak-kelok bagaikan ular membelah lembah menghijau di kawasan Puncak. Pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut, kadang-kadang ada juga kabut menyelimuti dataran lembah. Di Rindu Alam muncul terang-benderang di tengah alam yang gelap-gulita. Restoran itu sangat laris. Hari-hari biasa, terutama antara pukul 12-14, hampir dua pertiga dari 160 kursi terisi. Sekitar 30 mobil memenuhi halaman parkir yang tidak luas. "Di hari Minggu dan hari-hari besar banyak tamu tidak kebagian tempat. Dan tidak sedikit mobil yang terpaksa parkir di pinggir jalan," kata seorang pelayan. Bisa dimaklum kalau Menteri PU Poernomosidi menyebut ada bangunan yang "menimbulkan kemacetan lalulintas" di Puncak. Terutama bila ada mobil keluar-masuk halaman parkir, tidak seperti umumnya bungalow atau hotel-hotel di Puncak, halaman parkir Rindu Alam memang terlalu mepet dengan jalan. Karena itu kepada TEMPO akhir pekan lalu Poernomosidi menegaskan "tempat itu harus dikembalikan keadaannya seperti dulu, sebagai tempat untuk umum." Beberapa bangunan di Puncak memang akan ditertibkan. Dalam rapat di Departemen PU, pertengahan bulan lalu, dibahas perkembangan bangunan di sepanjang jalan Cipayung Puncak-Cipanas yang dianggap sudah sangat pesat. Bahkan cenderung sulit dikendalikan lagi. Menurut Menteri Poernomosidi, ada bangunan yang "sangat merusak lingkungan, mengurangi keindahan, menimbulkan kemacetan lalulintas dan mengancam kelestarian alam." Yang ditunjuk rupanya Restauran Rindu Alam -- 30 km dari Bogor. Serta Laboratorium Farmasi Eisei, sebuah perusahaan kerjasama antara pihak swasta dan Jepang, yang terletak sekitar 1 km dari restauran tersebut. Sebelum Rindu Alam berdiri, pertengahan Juli 1980, di tempat itu sudah ada bangunan lama yang tidak terpelihara dan kotor. Dan di sanalah, setiap orang dengan bebas dan gratis menikmati pemandangan alam. Di sana pula penduduk mencari nafkah dengan menual sate, jagung rebus dan topi dari bulu kelinci. Yang nampaknya merepotkan ialah tuduhan bahwa Rindu Alam tidak mendapat izin dari pusat. Tapi menurut pemiliknya, Ibrahim Adjie, pensiunan perwira tinggi, bekas Pangdam Siliwangi dan Dubes di Inggris serta Swiss, tidak ada persoalan dengan Rindu Alam. Ia sudah minta izin PU Ja-Bar. Instansi itu kemudian menyerahkan Hak Guna Pakai tanah kepadanya. Sedang izin prinsip pembangunannya diperoleh dari Pemda Kabupaten Bogor. Yang jadi soal tinggal Coffee House -- bangunan kecil sekitar 200 meter dari Rindu Alam. Menurut penilaian seorang staf Menteri Negara PPLH, bangunan tersebut melanggar peraturan tidak sesuai dengan garis sempadan jalan. Karena itu harus dipotong. Sampai sekarang Coffee House itu belum dibuka. Ibrahim Adjie, berdasarkan teguran, September 1980 sudah menulis surat kepada Menteri Emil Salim. Ia mengakui bangunan tambahan Coffee House itu melanggar peraturan. "Saya secara resmi sudah mengakui salah dan saya mohon maaf. Dan saya akan mengubahnya," katanya kepada koran Bandung, Pikiran Rakyat. Dalam surat tersebut Ibrahim Adjie juga mengajukan usul agar persoalan bangunan utama Rindu Alam hendaknya dipisahkan dari bangunan tambahan. Dan kalaupun harus merombak atau mengubah Coffee House, ia minta waktu sekitar 5 tahun lagi -- setelah modal yang ditanam kembali. Pengelolaan Rindu Alam selama ini ditangani Haji D.S. Mangkuto, pemilik Restauran Roda. Ibrahim Adjie kadang-kadang muncul juga di Rindu Alam. Ia lebih sering mengurus beberapa perusahaannya yang lain di Bandung (industri kecil), Batam (pembangunan jalan) dan Jambi (perkayuan). Dalam usia 58 tahun, rambut dan kumisnya sudah memutih. Pihak Pemda Ja-Bar dan Kabupaten Bogor jadi agak rikuh menghadapi persoalan ini. "Soalnya pemilik Rindu Alam itu kan tokoh Jawa Barat. Sekarang ini masih banyak penduduk desa yang memasang gambar Pak Ibrahim Adjie," ucap seorang pejabat teras Kabupaten Bogor. "Kalau dianggap menimbulkan kemacetan lalulintas, kan jalannya dapat diperlebar," tambahnya. Dalam hal Laboratorium Farmasi Eisei pun, Pemda Ja-Bar jadi terjepit. Sebab, ketika dibangun pada 1971 dulu, laboratorium tersebut kabarnya mendapat rekomendasi beberapa menteri. Tapi bagi Eisei tidak menjadi soal benar. Sebab tahun depan laboratorium ini sudah akan pindah ke Cibinong. Menempati areal 6 hektar tanah perkebunan milik PT Ciliwung (sebuah perusahaan perkebunan teh di Puncak), bangunan laboratorium tersebut hanya luasnya kurang dari setengah hektar. Letak pagar dan pintu masuk ke laboratorium, yang berada di bagian tengah, tidak mengganggu lalulintas. Dalam Proses Menurut Gubernur Aang Kunaefi, soal penertiban bangunan-bangunan di Puncak, terutama Rindu Alam dan Laboratorium Eisei, masih dalam proses. Ia berjanji: "Pokoknya jangan sampai kedua pengusaha itu dirugikan. Sebab mereka sudah mengeluarkan biaya cukup besar." Tapi pemerintah pusat tetap bersiteguh: bongkar. "Itu sudah dipastikan. Mereka boleh usul, asal jangan mengusulkan minta dipertahankan," kata Menteri Poernomosidi, pekan lalu kepada Widi Yarmanto dari TEMPO. Mengenai perizinan yang dikeluarkan oleh daerah, Menteri menegaskan, "perizinan itu wewenang pusat" -- sebagaimana diatur PP No.13/1963. Peraturan Presiden ini menugaskan Menteri PU mengatur dan mengawasi kawasan Puncak. Kepala Dinas PU Ja-Bar, Ir. Machmuddin Machdurah, mengakui pihak PU Ja-Bar memberikan izin bangunan bagi Rindu Alam. Begitu pula bangunan-bangunan lain di sepanjang jalan Puncak Cianjur. Selama ini prosedur perizinan diajukan ke daerah, dengan tembusan pusat. "Tapi karena belum ada pola pembangunan terpadu, keadaannya jadi semrawut," katanya. Menteri Poernomosidi sudah bertekad "membersihkan kembali kawasan Puncak seperti dulu" -- pada ketika PP No.13/1963 itu terbit. Karena itu ia mintaù Dirjen Cipta Karya, Radinal Muchtar, membentuk tim untuk menangani masalah tersebut. Tim antara lain bertugas mengumpulkan peraturan yang berkenaan dengan pembangunan di kawasan Puncak dan bangunan mana saja yang terkena peraturan tersebut. Hasilnya ditunggu akhir bulan Juni ini. Segera setelah itu akan disusun rencana induk berikut rencana pembangunan terperinci. Juga pedoman pelaksanaannya. Nampaknya akan banyak bangunan yang bakal digusur. Sebab, seperti kata Pjs. Ka. Humas Departemen PU Suroyo, ada peraturan yang menyebutkan: bangunan hanya boleh berdiri 200 meter dari jalan besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus