Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ia manusia, betapapun ia

Sutradara: david lynch pemain: anthony hopkins, john hurt, john gielgud resensi oleh: isma sawitri. (fl)

18 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE ELEPHANT MAN Pemain: Anthony Hopkins, John Hurt, John Gielgud, Anne Bancroft Special Effect: Christopher Tucker Sutradara: David Lynch KEMENANGKAN delapan pencalonan untuk Oscar 1982, The Elephant Man boleh dibilang luar biasa semata-mata karena tema. Film ini berkisah tentang kehidupan manusia gajah, yang oleh Ratu Victoria disebut putra paling malang di negerinya. Tapi sebelum Ratu masuk dalam kehidupan John Merrick, demikian nama si malang ini, John adalah bintang sirkus kelas bawah di London--sebuah dunia yang menampilkan sekelompok manusia yang tidak lebih baik nasibnya: para cebol, kembar Siam, bahkan ada yang entah karena apa bertingkah seperti binatang. Memang, tidak ada yang lebih dahsyat dari Elephant Man. Penampilannya mengerikan, memilukan dan mengingatkan orang seketika kepada neraka. Tatkala Frederick Treves (Anthony Hopkins) melihatnya untuk pertama kali, ia tidak nampak terguncang. Ekspresi wajah dokter bedah ini tidak memantulkan teror di depannya. Hanya di layar lebar, dalam medium close-up yang statis, kedua mata si dokter bagai teraniaya. Dan perlahan jendela jiwa itu berkaca-kaca, tergenang air mata. Kelebihan sutradara justru terletak pada penggambaran bagaimana air mata itu terbit, perlahan menggenangi rongga mata, dalam keheningan yang mutlak. Kreativitas di sini terletak bukan pada pemotretan, bukan angle, tapi pada gagasan yang orisinal. Bayangkan, meski mata Treves, si dokter, bukan mata Yesus, ia sudah bicara tentang sosok malang itu. Sosok tersebut, John Merrick, toh saat itu belum dilayarkan untuk penonton. Demi efek dramatis barangkali, si manusia gajah baru ditampilkan utuh sesudah juru rawat melihatnya. Terjadi teror kecil, tapi klimaks sudah lebih dulu lewat--dalam keheningan yang indah itu, di mata Treves. Film yang seluruhnya ditata dalam warna putih dan cokelat suram itu, diawali potret wanita dengan kecantikan klasik -- tampil bergantian dengan gambar gajah yang mengamuk. Tanpa dialog, tiba-tiba nampak wanita dihempaskan belalai gajah. Disela layar kosong, adegan lalu melompat ke daerah slum, ke suatu tempat tontonan. Di situ terjadi protes penonton marah karena adanya atraksi menjijikkan. Bahwa atraksi itu tak lain dari manusia gajah, baru jelas sesudah Treves datang sendiri dan melihatnya pertama kali. Agaknya tidak mudah mengantarkan sebuah cerita nyata, apalagi karena informasinya terbatas. Orangtuanya tidak jelas, meskipun sang ibu pastilah wanita cantik yang dihempaskan gajah. Tubuh John Merrick sendiri sempat diperiksa ahli bedah Treves. Kesimpulannya rongga otak membesar sedemikian rupa, merusakkan susunan tulang muka sementara tulang belakang agak melengkung. Sebuah deformasi fisik yang amat parah, dan wujudnya memang mengingatkan pada gajah. Syahdan, sesudah pemeriksaan, Merrick dikirimkan kembali ke pemiliknya, sang manajer, Bytes yang kejam dan pemabuk. Oleh Bytes ia disiksa hingga jatuh sakit. Treves berhasil memboyongnya kembali ke rumah sakit, namun kehadiran manusia gajah di sini meski di ruang isolasi sekalipun, tetap menimbulkan huru-hara. Carr Gomm (John Gielgud), kepala rumah sakit yang semula agak keberatan itu kemudian tcrsentuh nuraninya. Terutama karena manusia gajah yang diduga imbecil (tidak waras) itu secara kebetulan terbukti cerdas, normal. Merrick bisa membaca. Bahkan hafal Surat Daud ke-23 dalam Bibel, yang kata-katanya menurut dia indah sekali. Malah sejak itu John bukan saja mau bicara, tapi juga punya gairah berkomunikasi. Bentuk rongga mulutnya memang tidak karuan, dan suara yang keluar dari sana juga amat menyayat. Tapi seluruh penampilannya yang sopan tapi memelas itu menimbulkan simpati. Sesudah artis terkemuka Kendal (Anne Bancroft) khusus mengunjunginya di rumah sakit, banyak orang dari kalangan atas -- yang oleh juru rawat kepala dicerca dengan sebutan orang-orang snob -- berbuat serupa. Wanita tua yang sebenarnya baik hati itu malah menuding Treves karena membiarkan manusia gajah jadi tontonan, persis seperti di sirkus dulu. Mendengar tuduhan ini, sang ahli bedah terguncang. Benarkah? Istrinya sendiri mengingatkan, di rumah sakit Merrick tak lebih berbahagia. Bukankah dia telah dengan baik membaca kutipan drama Shakespeare, dan membuat disain arsitektur gereja meski hanya dengan kertas lipat? Merrick tidak hanya waras, tapi juga berbakat. Sampai tiba malam naas itu. Penjaga rumah sakit membawa serombongan orang pelacur, penzinah dan pemabuk ke kamar Merrick. Juga sytes. Terjadilah adegan Sodom dan Gomorah dalam versinya yang paling liar. Kepada Merrick disodorkan cermin, minuman keras dan tubuh pelacur. Tatkala melihat wajahnya sendiri, ia mengerang. Penderitaan itu sungguh tak tertanggungkan. Toh masih ada Bytes yang kemudian memboyongnya ke luar rumah sakit, melarikannya ke Eropa, menyiksanya, menyuruhnya main sirkus, memasukkannya dalam kurungan bersama monyet-monyet ganas. TAPI sesuai dengan kisah nyata, film berakhir dengan sebuah happy end. Merrick kembali ke rumah sakit, hidup tenang di sana atas tanggungan Kerajaan, sesuai dengan titah Ratu Victoria. Kehadirannya di teater agaknya merupakan kemenangan tersendiri diperlihatkan bagaimana elite Inggris yang paling top berdiri menghormati Merrick, manusia gajah yang dulunya hina dina. Misi film agaknya terletak di situ-pada penggambaran martabat manusia, dan usaha meletakkannya di atas semua embel-embel duniawi kelas keturunan, IQ uang, kecantikan . . . Dan misi itu melalui realisme yang subtil olahan sutradara terhidang dengan bagusnya. Dua adegan, sepasang mata Treves serta Sodom dan Gomorah memberi dukungan kuat--meski beberapa pintasan kosong hitam tak pelak mengingatkan kita pada eksperimen Francis Coppola dalam Apocalypse Now. Special effect yang dikerjakan Christopher Tucker untuk John Hurt, pemeran manusia gajah, memang tidak sehidup dan sealami pada Artoo Detto dalam Star Wars. Toh cukup imaginatif. Dan meski film ini meletihkan jiwa dan mengingatkan kita pada Tuhan dan neraka, tidak sekali pun ia memberi wejangan tentang moral dan semacamnya. Sang sutradara hanya ingin mengingatkan kita. Dan ia telah mengingatkan kita dengan sikap yang jauh dari menggurui. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus