PIRAMIDA KURBAN MANUSIA
Oleh: Peter L. Berger kata pengantar Johannes Muller
Terjemah: A. Rahman Tolleng
Penerbit: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi
dan Sosial, Jakara, 1982, 240 hlm. (+ indeks)
BUKU Peter Berger, Piramida Kurban Manusia, adalah buku yang
sukar dibaca. Bukan karena isinya yang abstrak. Atau karena
Berger tidak mau mengambil posisi yang jelas. Atau karena
terjemahannya yang bertele-tele (Rahman Tolleng telah berhasil
mengindonesiakan buku ini dalam bahasa yang lancar). Tapi karena
Berger menolak memberikan resep mujarab, yang dapat dipakai
untuk menyelesaikan persoalan masyarakat nyata kapan saja dan di
mana saja. Seluruh buku ini bahkan menyerang secara dahsyat
resep-resep yang ada, yang ditawarkan sebagai obat penyembuh
ampuh.
Ada dua resep besar yang sekarang menguasai umat manusia
kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme, yang oleh serger
disebut mitos pertumbuhan, menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang
cepat dan tinggi, yang meski mulanya menciptakan kesenjangan
antara kaum kaya dan miskin pada akhirnya nanti kaum miskin akan
diangkat ke luar dari lumpur penderitaan. Dengan mengambil
Brazil sebagai kasus, serger menunjukkan bahwa janji mengangkat
kaum miskin ini tidak terpenuhi. Apa yang disebut mukjizat
ekonomi Brazil hanyalah mukjizat bagi golongan menengah ke atas,
yang jumlahnya sangat kecil.
Akibatnya ekonomi Brazil bagai terpecah menjadi dua kawasan
yang seakan tidak saling berhubungan, bak Negara Swedia
ditempelkan ke Negara Indonesia, kata Berger. Yang Swedia
(ekonomi kelas menengah ke atas) berkembang cepat dan menjadi
kaya. Yang Indonesia (ekonomi kelas bawah, mayoritas penduduk)
tetap miskin dan tidak bisa berkembang. Sehingga tidak kurang
dari seorang presiden Brazil sendiri, Emilio Medici, yang sempat
meninjau kehidupan desa-desa, yang berkata: "Ekonomi berjalan
sangat baik, rakyat tidak."
Sosialisme, atau mitos tentang revolusi, menjanjikan pemerataan
kehidupan ekonomi. Dengan mengambil Cina sebagai kasus, Berger
mengakui pemerataan memang terjadi, teupi biaya manusia yang
dikurbankan untuk itu sangat besar. Tahun 1950-1952, ketika
diadakan kampanye gerakan land reform, diperkirakan dua juta
orang menjalani hukuman mati. Sesudah itu, meski keadaan memang
lebih santai, teror politik masih terus berjalan sampai
sekarang. Janji pembebasan besar demi perikemanusiaan (dalam
kata-kata Marx "loncatan dalam kebebasan"), tidak terpenuhi.
Kedua sistem ini, dalam kenyataan, berhenti pada janji --
sementara para pengikut berkelahi mempertaruhkan nyawa
masing-masing. Tumpukan mayat inilah yang merupakan 'piramida
kurban manusia' -- untuk sebuah masa depan yang samar-samar.
Berger lalu menasihati kita untuk tidak terjebak dan menjadi
fanatik terhadap ideologi, sehingga kehilangan kepekaan terhadap
kemungkinan-kemungkinan baru yang diberikan realitas. "Pandangan
doktriner yang mengatakan bahwa hanya kekerasan revolusi dapat
membawa hasil seperti yang dikehendaki, sama menyesatkannya
dengan doktrin sebaliknya yang mengatakar. bahwa revolusi tidak
pernah merupakan kondisi yang perlu bagi pembangunan" (hlm.
219).
Apakah ini berarti kita harus tidak memihak? Pertanyaan ini
terutama penting bagi ilmuwan, yang sering mengambil posisi
netral dalam menghadapi masalah sosial. Berer secara jelas
menolak posisi ilmuwan yang tidak memihak."Anura bebas nilai
dalam pekerjaan ilmiah, dan tidak mempunyai komitmen nilai,
terdapat perbedaan yang sangat besar," katanya (hlm. 228).
Bagaimanapun ilmuwan adalah manusia, dan sebagai manusia dia
harus punya komitmen nilai. Tugasnya sebagai ilmuwan hanya
semacam jabatan, yang tidak bisa menghapuskannya dari
eksistensinya sebagai manusia. Kalau ada seorang ilmuwan mau
mengingkari tanggung jawabnya sebagai manusia, lelucon yang
dikutip Berger kiranya mengena: "Kalau saya dalam dinas, saya
seekor babi. Saya selalu dalam dinas" (hlm. 228).
Dengan demikian, terhadap segala macam resep penyelesaian,
Berger mengambil posisi yangtidak jelas (dalam arti positif).
Karena dia melihat, pada setiap resep yang ditawarkan, kekuatan
dan kelehan yang mendasar. Berger memang tidak memberikan resep
baru, tapi komitmen nilainya jelas. Melalui buku ini ia
terusmenerus bicara untuk membangkitkan kewaspadaan kita supaya
jangan sampai mengurbankan manusia-manusia kongkrit untuk
ide-ide yang abstrak. Bagi Berger, cuma prinsip inilah yang
universal --yang "merupakan ukuran penilaian yang berlaku dalam
setiap kebudayaan, dan karena itu tidak terikat akan salah satu
kebudayaan tertentu," demikian disimpulkan Johannes Muller yang
memberi pengantar yang bagus. (hlm. 22)
Kalau kita mengikuti semangat buku ini, yang mengajak kita untuk
menjadi kritis, maka prinsip yang cenderung mengelakkan
terjadinya kurban manusia (prinsip-prinsip biaya manusiawi)
perlu juga mendapat kritik yang tajam. Prinsip ini punya
kecenderungan kuat untuk rnempertahankan keadaan yang sudah ada
(status-quo), dan karena itu menguntungkan sistem yang sudah
ada. Padahal kadang-kadang diperlukan perubahan sosial yang
mendasar, perubahan struktural di mana kurban manusia yang
banyak tidak bisa dihindarkan.
Di Inggris, misalnya, perubahan sistem feodal ke kapitalis
menjelang dan ketika Revolusi Industri telah meminta kurban
dalam jumlah yang besar melalui peperangan bertahun dan
eksploitasi manusia yang kejam. Begitu juga di Rusia dan Cina
ketika sistem sosialisme mau ditegakkan. Di Chili pada 1973,
usaha mengembalikan negeri ini ke jalan kapitalisme telah
mengurbankan satu persen penduduknya. Dalam kerangka ini,
perbandingan kurban manusia yang diajukan Berger pada kasus
Brazil dan Cina terasa timpang Cina harus melakukan perubahan
mendasar sistem kemasyarakatannya, Brazil tidak.
Tapi, meski seluruh buku ini memberi kesan kuat bahwa Berger
berusaha meletakkan biaya-biaya manusia ini pada prioritas
paling tinggi, dia cukup pandai untuk tidak memutlakkan susunan
prioritas. Pada akhir bukunya, dia masih sempat mengatakan:
"Saya mengambil pendirian moral bahwa cara seperti itu
(perubahan melalui kekerasan AB) seharusnya selalu dijadikan
upaya terakhir dan bukan upaya pertama" (hlm. 219).
Dengan demikian, juga terhadap prinsip biaya-biaya manusiawi,
Berger "gagal" memberikannya sebagai prinsip universal. Tapi
"kegagalan" ini menjadi juga keberhasilan Berger dia berhasil
meloloskan diri dari jaring-jaring kaum liberal yang fanatik,
yang berbicara tentang prinsip-prinsip biaya manusiawi secara
mutlak, tanpa peduli sebenarnya dia sedang mempertahankan sebuah
sistem yang tidak manusiawi.
Di mana letak manfaat buku ini? Buku ini jelas tidak berguna
bagi orang yang mau mencari resep ampuh untuk sebuah perjuangan
yang menggebu-gebu. Buku ini bukan saja tidak memberikan resep
semacam itu, tapi bisa membuat pembacanya bingung. Buku ini bisa
menjadi sangat berguna bagi orang yang sudah memiliki keyakinan
tertentu, tapi selalu melihat keterbatasan yang ada bagi
keyakinannya.
Buku ini perlu untuk membuat kita berpikir dua kali, untuk
menumbuhkan semacam kesangsian kreatif dalam diri. Seperti
dikatakan Berger sendiri "Adalah perlu menumbuhkan seni
menyangsikan yang tidak gaduh. Adalah perlu mengambil tindakan
tanpa gaduh dan dengan kesangsian, yang keluar dari rasa cinta
kasih, yang merupakan satu-satunya motif yang dapat dipercaya
bagi tindakan apa pun untuk mengubah dunia" (hlm. 233).
Buku ini perlu dibaca orang yang mau berpikir.
Arief Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini