KORANNYA berbentuk tabloid. Dengan logo huruf putih di atas
dasar merah, berbentul segi empat, We Forum terbit delapan
halaman tiga kali seminggu. Dengan oplah 20.000, berkala
berbahasa Inggris yang terbit sejak 1976 ini terutama laris di
jalan-jalan Manila, ibukota Filipina.
Tapi sejumlah tentara menyerbu kantor koran itu dan menghentikan
penerbitannya pekan lalu. Penerbit dan Pemimpin Redaksinya Jose
Burgos Jr. bersama sejumlah staf, kolomnis dan kontributornya
ditahan atas perintah langsung Presiden Marcos. Kantornya
digembok dan percetakannya ditutup atas perintah militer. Inilah
tindakan pertama Presiden Marcos terhadap pers sejak
Undang-Undang Darurat (martial law) dicabut Januari tahun lalu.
"Tak ada hubungannya dengan kebebasan pers dalam kasus penahanan
itu," kata Menpen Gregorio Cendana. "Kebanyakan yang ditahan itu
bahkan bukan karena kewartawanan mereka," ujarnya lagi. Lantas
karena apa? "Mereka dikenal sebagai oknum antipemerintah yang
menggunakan pers."
We Forum memang satu-satunya surat kabar di Manila yang
menyuarakan Slkap oposisi. Ia sering menampilkan cerita dan
kolom yang mengkritik pemerintahan Marcos. Ia menyalurkan
uneguneg para penulis dan wartawan yang korannya diberangus
Marcos (September 1972) atas dasar UU Darurat.
"Tapi We Forum sendiri sebenarnya dicurigai kaum oposisi. Mereka
menganggap koran itu sebagai Marcos' gimmick (tipu muslihat
Marcos)," kata Indera Nababan dari Biro Informasi DGI (Dewan
Gereja di Indonesia). Pernah mengikuti studi komunikasi selama
sepuluh bulan di Manila (1980), dia melihat gelagat We Forum
bermain sandiwara membawakan suara oposisi untuk menjerat para
oposan. Memang mereka terjerat. Sehubungan dengan penutupan We
Forum, a.l. Joaquin "Chino" Roces ditahan.
Roces, 69 tahun, adalah pemilik Manila Times, surat kabar
terbesar di Filipina tatkala Presiden Marcos menutupnya bersama
seiumlah koran lain. Ia kemudian dipenjarakan selama 3 bulan.
Roces belum melanjutkan penerbitannya ketika martial law itu
dicabut dan sejumlah media cetak boleh beredar lagi,
tapi dalam keadaan jinak. "One-man rule masih hadir di negeri
ini," teriak Salvador Laurel, bekas senator dan tokoh Unido
(United Nationalist Democratic Organisation), satu grup
pendukung oposisi, mengomentari kasus We Forum itu.
Di Filipina terdapat sedikitnya 15 harian dan 175 mingguan atau
berkala sebelum Presiden Marcos memberangus semua itu (juga
stasiun radio) Septemher 1972. Menyusul tindakan itu, sejumlah
reorter, redaktur dan penerbit, ditahan. Sebagian kemudian
diperbolehkan beredar lagi setelah Dewan Media Massa Negara
(Government's Mass Media Council) menyeleksi para redaktur.
Dewan itu yang berganti nama (Mei 1973) sebagai Dewan Penasihat
Media (Media Advisory Council) kemudian menyusul ragam media
cetak yang representatif, menurut selera dan kepentingan
pemerintah, tentu.
Tahun 1974, kontrol lebih dikendurkan dengan bubarnya Media
Advisory Council. Kemudian lahir Dewan Filipina untuk Media
Cetak (Philippine Council for Print Media) yang beranggotakan
seluruhnya orang sipil. Dan dewan itu pun akhirnya bubar Januari
1981, sehubungan dengan pencabutan martial law. Tapi media cetak
yang masih terbit dihimbau agar hanya menulis apa yang Presiden
Marcos gambarkan sebagai berita "bernilai nasional positif" dan
menghindari pemberitaan bersifat sensasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini