Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAUH sebelum menjadi mbeling, Remy Sylado (1945-2022) telah membereskan urusannya dengan kemapanan, yang toh ditulisnya dengan kembeling-mbelingan juga. Betapapun kutipan berikut membuktikan penguasaannya atas realisme dalam susastra, sebagai prasyarat bagi pemberontakannya, bahwa ia memberontak bukan karena tak mampu menuliskan yang klasik:
Matahari hampir tenggelam ketika Wai Ranoyapo digiring ke segenap desa Liliku. Kedua belah tangannya diikat ke belakang dengan tali ijuk sangat kerasnya hingga menyebabkan seluruh jari dan telapak tangannya membiru darah mati. Dan bersamaan dengan itu juga keringat keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Ia berjalan dengan tenang sambil menundukkan kepala, seperti tak terjadi apa-apa atas dirinya. Tapi di balik ketenangan wajah yang redup itu tersembunyi suatu kemarahan dalam hati yang berontak amat garangnya.
Seorang perempuan berpakaian merah yang sedang berjalan di sisi lurah, telah membuat hati Wai menjadi kecut. Perempuan itulah yang menyebabkan ia digiring ke segenap lorong dan kemudian akan menerima hukuman cambuknya di tengah lapangan (Sylado 1966, 10).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah pembukaan Inani Keke (1966), kemungkinan besar roman pertama di Indonesia setelah kemerdekaan, yang bermain pada abad ke-16 di Minahasa, Sulawesi Utara, saat Spanyol mulai membangun koloni di sana, dan meski waktunya singkat, meninggalkan sekadar jejak kebudayaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ditulis dalam bahasa Indonesia, dengan selingan bahasa Tontemboan dan Spanyol di sana-sini, roman ini memperlihatkan bagaimana pertemuan Spanyol-Minahasa yang bermuatan eksploitasi kolonialisme Eropa itu, selain menghasilkan konflik, diwarnai hubungan cinta.
Baik itu bersifat spiritual, yang membuat penduduk lokal memeluk agama Katholik Romawi, maupun romantik, sehingga Wai Ranoyapo dari Uwuran mengawini Isabella Pigafetta pada penutup roman dengan nama baru Salvador Castillo Panda di kapel Benteng Amurang yang hari ini menjadi tujuan wisata di Amurang.
Lokal di sini berarti wilayah sekitar Teluk Minahasa, yang memberi peluang penggambaran laut dari pantai ataupun perahu dan gunung-gemunung tempat adanya permukiman berdasar puak, yang membawa segenap peragaan kepercayaan setempat ke dalam roman.
Remy Sylado, yang kelak dengan nama asalnya, Yapi Tambayong, juga membuat buku Dasar-dasar Dramaturgi (1981) dan Akting Susah-susah Gampang, Gampang-gampang Susah (2011). Dia rupanya menerapkan dramaturgi ataupun seni peran dalam penulisan roman. Akan menarik jika roman Inani Keke, yang meskipun bukan naskah drama, apalagi pementasan teater, ditimbang dengan pemahaman dari kedua buku itu pula.
***
Dilengkapi foto-drama, dalam 16 bab, dari Bab Satu Inani Keke menampung riwayat pemuda kampung Liliku, Wai Ranoyapo, yang dihukum cambuk dan diusir, karena fitnah seorang perempuan yang gagal menghendakinya, tapi cukup berkuasa. Ibu Wai diperlihatkan begitu menderita.
Di Bab Dua, Wai ditemukan ketika merayap penuh luka oleh dara Seisitu dan keluarganya, yang kemudian merawat Wai.
Terdapat catatan tentang orang-orang Spanyol, yang dibebaskan dari tahanan Portugis di Tidore pada Februari 1522, oleh suku nelayan Babontehu dari pulau-pulau kecil di Minahasa. Namun balas budi seorang Manuel Rosas adalah membunuh Niyari setelah gagal memperkosanya di Bab Tiga.
Wai berjanji menikahi Seisitu di Bab Empat setelah kembali lima tahun lagi, karena dengan umurnya yang 22 tahun, ia belum bebas dari ramalan almarhum ayahnya: akan celaka jika menikah sebelum usia 27 tahun.
Wai tak bisa menikahi Seisitu berkat suatu ramalan.
Wai yang disayangi keluarga Macapogar, karena anak lelaki mereka meninggal, diantar ke bandar Totok, kota pelabuhan kecil yang menghadap Selat Maluku dan Teluk Tomini pada Bab Lima. Di atas perahu layar tanpa tujuan, barulah Wai menemukan tujuannya, mencari Manuel Rosas yang telah membunuh putri pemilik perahu layar tersebut.
Lima tahun kemudian, roman masuk Bab Enam, yang memperlihatkan friksi antara upacara Katholik dan kepercayaan lokal. Pada bab ini muncul Isabella Pigafetta, 19 tahun, asli Spanyol asuhan padri Jose Zapata. Ibunya meninggal dalam tahanan Portugis di Tidore. Ayahnya terbunuh sebagai anak buah Magelhaes yang bentrok dengan penduduk lokal Cebu di Filipina.
Zapata menyampaikan kepada bapak-anak Paparro dan Nisayo, nelayan yang perahunya ditumpangi Wai, bahwa ia melihat Manuel Rosas di Uwuran. Di sini, Wai melihat Roreya, yang mengingatkannya kepada Seisitu. Wai mengalahkan Roreya dalam lomba menyanyi, membawakan lagu “Inani Keke”.
Kembali ke bandar Totok pada Bab Tujuh, Wai meninggalkan perahu langsung menuju perbukitan Gunung Simbalang hanya untuk menerima kabar kematian Seisitu karena terbunuh oleh seorang Tasikela (Tasikaila–dari Castilia/orang Spanyol)—dan namanya adalah Manuel Rosas. Jadi sudah dua urusan pembunuhan, orang Spanyol yang sama membunuh penduduk lokal.
Di Benteng Amurang yang berbentuk bulan sabit, Wai berhasil membunuh Manuel Rosas pada Bab Delapan, lantas melanjutkan langkah ke Liliku, kampungnya yang kini ia sebut Maliku. Kali ini untuk menjumpai ibunya pada Bab Sembilan, tempat seorang ibu lain mengatakan sudah waktunya bagi Wai untuk menikah, tapi perbincangan tentang mas kawin membuat Wai teringat emas perak lain.
…… sebuah peti yang berisi emas dan perak yang pada suatu hari, ia peroleh setelah mempertaruhkan nyawanya dengan empat orang Portugis di dekat Pulau Talisay di Minahasa Utara. Peti itu sekarang berada di tangan seorang Spanyol bernama Juan Carlos yang tinggal tak berapa jauh dengan rumah Paparro di Pulau Manandao. Wai harus mengambil kembali peti kecil itu, sebab ia berhak sebagai pemiliknya (ibid., 70).
Kutipan tentang peti ini vital bagi kelanjutan riwayat Wai, terutama karena ia sudah tidak muncul lagi dalam sekuel Inani Keke, yakni Trabal Batalla (1968), tapi dalam ketidakmunculannya justru menjadi faktor penggerak alur (plot) sekuel itu. Pada Bab Sepuluh, ibu Wai meninggal, hanya tujuh hari setelah Wai tinggal bersamanya, tempat permakaman secara adat ditampilkan:
Beberapa saat sebelum mayat dikebumikan, seorang agak tua yang memimpin upacara, membanting sebuah periuk-tanah sampai pecah berkeping-keping. Bersamaan dengan itu juga ia mengucapkan sebuah kalimat mantera berbunyi: “Sa en kure anio metaled pe, wo chamo rona pe rumuru a se toyaan,” yang artinya “Kalau periuk ini bisa utuh lagi, barulah kamu bisa datang kembali kepada anakmu.” (ibid., h. 72).
Bab Sebelas adalah kilas balik perkara peti, bahwa sebetulnya peti yang menjadi hak Wai itu dititipkan kepada Juan Carlos setelah nyawanya ia selamatkan dari buruan Portugis. Namun dirampas Jesus Garcia, yang menyimpannya di sebuah gua. Wai berhasil merebut kembali, mengunci Jesus Garcia, dan membagikan perhiasan dalam peti kepada Juan Carlos, Paparro, dan Nisayo.
Dalam Bab Dua Belas, Juan Carlos kembali ke gua dan pintu rahasianya terbuka. Jesus Garcia ada di sana dengan mata buas, memaksa Juan Carlos mengantarnya ke Uwuran mencari Wai. Bahkan bersumpah dengan tulisan di dinding: PANDA = MUERTOS! (Mati!).
Bab Tiga Belas, keduanya pun bentrok di Benteng Amurang, dan Wai mengalahkan meski tak membunuhnya. Di Pantai Uwuran, diseling perbincangan tentang gereja dan adat, Wai dan Isabella saling menyatakan cinta pada Bab Empat Belas.
Besa me, besa me mucho (Cium saya, cium saya banyak-banyak). Adegan setelah pernikahan.
Wai bertemu dengan Dotu Soputan, seorang tua, dalam Bab Lima Belas. Berbincang tentang cinta murninya kepada Seisitu, gadis Bobantehu; atau Isabella Pigafetta, gadis Spanyol. Perkara cinta diperluas menjadi masalah kebudayaan, antara yang lokal Minahasa dan asing Spanyol. Setelah mengingatkan ancaman bahaya orang Spanyol, dengan mendeham dua kali, Dotu Soputan menghilang secara gaib.
Bab Enam Belas mengakhiri roman Inani Keke dengan kerincian upacara pernikahan Wai-Isabella di kapel dalam benteng, yang selain sakral, terasa indah dan teatrikal. Walaupun di antara hadirin terdapat Jesus Garcia yang berdiri kaku.
Perlu diperhatikan betapa Wai Ranoyapo yang diberi nama Salvador Castillo Panda oleh padri Jose Zapata masih hidup dalam penutup Inani Keke:
Kedua ayah ibu itu gembira atas kelahiran Pepito Ranoyapo Panda. Setiap kali bayi itu menangis, Isabella berkata kepada Wai:
“Arrular, el cantar de los cantares, Inani Keke,” yang artinya adalah: “Nyanyikanlah lagu dari semua lagu itu, Inani Keke.” (ibid., 111).
Adalah Pepito yang akan menjadi protagonis dalam sekuel roman ini, Trabar Batalla, dengan Jesus Garcia tetap sebagai antagonisnya.
***
Kronologi bab ini memperlihatkan penataan alur menggunakan dikotomi lokal-asing yang dalam masing-masingnya membawa unsur kepercayaan-agama, kebudayaan-peradaban, ketertindasan-penindasan (walau terbatas pada kekerasan, termasuk kekerasan seksual), dan heroisme-adventurisme yang dalam pemaduannya membuat roman Inani Keke ini berciri mestizo alias budaya campuran.
Dengan budaya campuran, artinya penulisan dalam bahasa Indonesia yang mengatasi kontestasi berproses secara hibrida bukan sekadar memadu-setarakan bahasa Spanyol dan bahasa Totemboan misalnya, melainkan bahasa Indonesianya sendiri menyerap bahasa-bahasa lain dengan santainya.
Kata-kata dari bahasa Jawa, seperti plegak-pleguk (bicara tidak jelas karena tepergok), plintat-plintut (bicara tak tegas karena ada yang disembunyikan), menggeremat (mungkin kreasi sendiri dari nggremet=merayap, tapi dikembangkan jadi mencengkeram), dan memberot (maksudnya menarik baju, entah dari bahasa mana) hadir begitu saja tanpa merusak keutuhannya.
Dapat dikatakan terdapat tiga lapis bahasa dalam Inani Keke: (1) bahasa narasi (Indonesia) yang menampung (2) bahasa tamu (Spanyol dan Totemboan) serta (3) bahasa serapan, baik dari tahap masih baru—sehingga terdengar asing—maupun sudah menyatu, meski bisa saja dianggap agak aneh bila kata anumu, yang asalnya pun "liar", terucap oleh perempuan Babontehu sebagai padan abad ke-16.
Betapapun, alur yang mendayagunakan perbendaharaan sejarah Spanyol-Minahasa silih berganti ini, berhasil hadir dinamis dalam sebuah tema ajek: dendam—yang baru muncul sebagai tugas non-pribadi dari Bab Lima, menjadi pribadi pada Bab Tujuh, dan terlaksana pada bab itu juga. Kausalitas ringkas ini tidak pernah menjadi alur-utama; dalam kenyataannya Inani Keke seperti sejumlah alur-bawahan berkait kelindan.
Namun jika peran utama menjadi patokan, alur-utamanya tentu bagaimana Wai Ranoyapo yang terkutuk dan terusir secara adat di awal roman, berakhir bahagia dalam pernikahan Katholik Roma sebagai Salvador Castillo Panda, dalam proses budaya beradegan laga, romansa anak muda, stereotip adventurisme harta karun, ataupun eksotisme kepercayaan kuna Minahasa serta adab Spanyol abad ke-16.
***
Mengikuti konsep alur Tambayong, ia menyebutkan bahwa dalam alur literer (untuk prosa, bukan drama), insiden menyangkut karakter dalam tiga jalinan, yakni sirkuler (dari A sampai A), linear (dari A sampai Z), dan episodik (jalinannya terpisah) (Tambayong 1981, 34); sehingga untuk Inani Keke dapatlah diperiksa bagaimana alurnya tersusun dari kombinasi jalinan linear dan episodik—memang bersambung, tapi setiap bab lebih sering menjadi episode yang utuh, termasuk kilas balik terpisah sebelum tersambung ke masa kini.
Sehubungan dengan alur, pada pengertian karakter dimaksudkan perubahan-perubahan dalam suasana drama yang erat hubungannya dengan alur, bahkan yang mengubah alur itu sendiri. Ini tentu dapat dihubungkan dengan konsep, bahwa alur drama (untuk panggung, bukan prosa) bersifat pelaksanaan aktor di atas panggung (ibid., 34).
Roman ini dalam alurnya menampakkan kerincian seni peran dalam berbagai segi sesuai dengan bidang keahlian penggubahnya. Dengan seni peran dimaksudkan segenap ungkapan gerak-gerik ketubuhan, sebagai bagian dari cara menyampaikan pesan.
Dapat diperhatikan adegan berikut:
“Jesus ? ? ?” katanya sambil mengangkat palang yang menutup bilik itu.
Jesus Garcia terengah-engah memandang Carlos. Matanya sayu. Mulutnya komat-kamit, seperti hendak mengucapkan sesuatu. Akhirnya mulut itu terbuka juga. Ia mengeluarkan suara yang sangat garangnya; “Bunuh dia! Bunuh Panda!”
Juan Carlos yang menyaksikan itu menjadi cemas dan gusar. Tiba-tiba rasa ibanya hilang berganti takut. Ia takut memandang wajah Jesus Garcia saat itu. Wajah itu seperti kemasukan setan.
Sementara napas Jesus Garcia terengah-engah dan hampir tak sanggup lagi ia menegakkan kakinya, tiba-tiba ia melihat benda yang berada di tangan Carlos.
“Emas itu berada lagi pada kau? Kau ??? Kau ???” Jesus Garcia semakin berang. Ia mendekati Carlos dengan tertunduk-tunduk seperti seekor harimau yang siap hendak menerjang dan menerkam. Kemudian dengan kasar ia menangkap tangan Carlos lalu merampas perhiasan emas itu dari tangannya (Sylado, op.cit., 87).
………………………………………………………………………………………….
Ketika ia menyadari hal itu, berkobarlah hatinya dalam dendam. Ia menggigit-gigit bibirnya sambil membelalakkan matanya lebar-lebar memandangi langit-langit lorong terowong itu. Ia berbuat demikian dengan sesekali mengamat-amati Carlos.
“Ya. Carlos, bajingan Panda itu sudah menghina saya, dan lebih dari itu, dia sudah menyakiti tubuh saya. Tidak ada pilihan lain lagi buat saya kecuali membunuh dia dengan jalan apapun ……… ! Membunuh ! ! !” teriak Jesus Garcia lalu berlari-lari kebingungan mencari sesuatu di bagian bilik lainnya dalam tempat tinggalnya itu.
Kemudian dari sebuah bilik yang terletak di sebelah kiri terowong itu, ia keluar membawa sebuah kwas dan cat lalu mencoret di atas dinding lorong sambil membelalak memandangi Carlos.
“Lihat, Carlos. Baca sumpah saya. Dia harus mati, dan saya yang melakukannya!”
Jesus Garcia menulis di atas dinding itu dengan disaksikan oleh Carlos yang memandangnya dengan gusar. Tulisan itu adalah sebuah brachylogia yang berbunyi: PANDA = MUERTOS! (Mati!) (ibid., 89-90).
Dalam pembelajaran seni peran Tambayong (2011) ada yang disebut WIT (wajar-indah-tepat) sebagai cara latihan seni peragaan untuk mencapai seni peran dalam kemampuan tingkat peragaan TRJ (tubuh-roh-jiwa). Bab tentang hakikat seni peran, menjelaskan tiga perkara, yakni (1) Telaten, (2) Laras, dan (3) Utuh. Di antara yang tiga ini, sub-bab Laras mengandung enam anasir seni peran, seperti laras verbal, laras fisikal, laras emosional, laras analitikal, laras rasional, dan laras natural.
Berikut serba sedikit dari Bab Laras yang relevan dengan penerapan anasir-anasir seni peran bagi roman ini:
Laras verbal sulit diperiksa karena cakapan atau dialog dalam prosa tak menampilkan suara, meski itu bisa dialihwahanakan dalam ketepatan ejaan ataupun pengkalimatan, yang boleh agak ajaib ketika pengujarnya orang Spanyol: “Emas itu berada lagi pada kau? Kau ??? Kau ???”.
Laras fisikal menjadi anasir paling kentara untuk diterapkan. Katanya: hadirnya peran di atas panggung adalah munculnya sosok fisik pemeran di daerah pemeranan. Dari mulai ia masuk, berjalan, dan barangkali duduk, merupakan peristiwa fisikal—dan sebagai peristiwa fisikal, ia memiliki kontinuitas gerak inci demi inci dari berjalan sampai duduk / Bagaimana aktor bersikap melalui presentasi fisiknya, dan kemudian fisiknya itu menanggap sosok lain di area pemeranan, haruslah memberi mutu fisikal yang punya makna, berdaya saran, dan dipahami penonton atas penghayatan dan proses jiwa yang dilakukannya (Tambayong 2011, 54).
Menerapkannya sebagai peranti pemeriksaan cara penulisan, kentara belaka bagaimana gerak-gerik segenap peran dalam prosa, telah diarah-tuliskan seolah-olah pemain drama.
Adapun anasir selanjutnya, laras emosional, konsepnya antara lain seperti berikut: apabila dialog yang diucapkan itu hanya sebatas itu saja, yaitu tanpa melaras emosi, ia masih belum berhasil memberi makna atas suratan verbal itu, agar dialog, yang merupakan dasar drama, menjadi jelas (ibid., 55). Jelas terbaca bahwa bagian fisik seperti mata, bibir, dan mulut peran Juan Carlos serta Jesus Garcia dalam adegan itu tertulis sebagaimana penerapan konsep laras emosional.
Anasir berikutnya, laras analitikal, menyebutkan: kemungkinan-kemungkinan gerakan fisikal lain dengan emosi yang berkembang, harus dianalisis kontinuitasnya / kalau emosi yang diperagakan adalah rasa benci, lantas bagaimana tanggapan fisikal yang mewakili rasa benci dari gerakan pertama sampai gerakan (ibid., 55). Penerapan konsep ini pun jelas terbaca, seperti ketika diperlihatkan, bagaimana Jesus Garcia yang sudah lemas kembali bertenaga melihat perhiasan emas di tangan Juan Carlos.
Dalam adegan percontohan tersebut, ataupun adegan-adegan lain sepanjang roman Inani Keke, juga dapat diperiksa bekerjanya anasir laras rasional: untuk memberikan hasil peragaan akting yang masuk akal, mestilah aktor dapat dengan baik menggunakan akalnya, rasionya, melaras hal-hal yang berkaitan dengan rasa dan pikiran, agar peragaan fisikal disertai pelaksanaan verbal atas drama, terwujud sempurna dalam aktingnya (ibid., 56). Ini membuat perilaku Jesus Garcia yang ekstrem, dengan sumpah tertulis di dinding lorong terowong dapat diterima secara wajar.
Dari konsep yang terakhir, anasir laras natural, terdapat wacana seperti berikut: pengertian natural dalam akting berarti memanfaatkan citra alami itu dengan distorsi tertentu, sehingga gambaran aksinya menjadi eksklusif (ibid., 57). Pada laras rasional sebelumnya, telah diperbincangkan pula perihal pertimbangan dan keputusan rasional sebagai kerja permainan kreatif (ibid., 56), sehingga dapat dipahami kerja realisme dalam roman ini, bahwa distorsi realitas dalam seni peran dapat ditarik sampai ke ambang batas penulisan prosa ("Wajah itu seperti kemasukan setan"), tapi bisa pula sesekali melampauinya ("Dotu Soputan mendehem dua kali di hadapan Wai lalu gaib").
Tambayong menyebutkan, dalam dunia seni rupa distorsi melahirkan karikatur; khususnya untuk komedi-komedi, gerakan karikatural dibutuhkan untuk menyegarkan drama (ibid., 57). Roman Inani Keke tak dapat dikatakan bergenre komedi, tapi pendekatannya yang populer tidak mengabaikan sama sekali efek-efek lucu. Betapapun humor bukanlah satu-satunya faktor yang membuat roman ini secara bertanggung jawab dapat disebut menyegarkan.
Adalah retorika dramatiknya, yang konsisten mengikuti dramaturgi (prosa ataupun panggung) dan langkah-langkah enam anasir seni peran dalam realisme penulisan roman, apakah itu retorika teatral, retorika sakral, ataupun retorika romantik menjadi faktor kesegaran itu.
***
Keberadaan foto-drama dalam Inani Keke tidak dapat diingkari sebagai obsesi realisme, seperti terbukti dari peneraan cakapan berikut nomor halaman, yang berfungsi memastikan terhidupkannya adegan.
Namun berdasarkan foto-dramanya sendiri, realisme macam apa yang menjadi obsesi pastilah merupakan pertanyaan atas terdapatnya gejala bahwa keberpadanannya cukup terabaikan.
Keberpadanan tampak berlangsung hanya pada laras fisikal. Untuk satu peran, karakter Jesus Garcia yang diperagakan Wahab Abdi, terkesan berjarak, meski dalam kenyataan sehari-hari wajah yang terkesan lembut bisa juga kejam. Busana perempuan dan laras fisikal dapatlah terandaikan berpadan, walau tak dapat saya bandingkan dengan suatu fakta Minahasa abad ke-16. Namun gaya rambut serta busana laki-laki jelas menjauhkannya.
Masalahnya, pertimbangan realisme ini pun barangkali naif, jika Inani Keke sebagai produk buku saku (pocket book) lebih teracu kepada budaya populer semasa, yang dengan orientasi komersialnya lebih mementingkan pemeran daripada peran yang dimainkan: bahwa di dalam buku saku ini terdapat foto-foto para bintang film—yang kepada mereka terdapat ucapan terima kasih dalam pengantarnya.
Disebut "ilustrasi adegan cerita", tidak terlalu aneh jika foto-drama ini terpasang dalam rangka film: digubah dengan pembayangan film sebagai gambar bergerak, bukan fotografi—seperti still photo pada etalase bioskop djadoel. Meski, jika sasarannya seperti itu, kekurangan besarnya telah diungkap tadi. Dengan istilah "ilustrasi adegan cerita", sebetulnya foto-drama ini berpeluang untuk berdiri sendiri, meski tetap berstatus ilustrasi yang seolah-olah hanya berdiri di pinggiran naratif tertulis.
Patut diingat, pada 1960-an foto-drama menjadi tren dalam majalah hiburan, baik sekadar ilustrasi adegan-adegan dalam suatu cerita maupun yang bercerita melalui foto-foto itu sendiri—ya, suatu foto-drama. Tentunya Inani Keke, tiada lebih dan tiada kurang, menjadi bagian tren tersebut.
***
Remy Sylado lengket namanya dengan gerakan Puisi Mbeling di majalah musik Aktuil sejak 1971. Gerakan yang bukan sekadar hiruk-pikuk, tapi dengan kembelingan-argumentatif, sedikit-banyak membuka jendela lain susastra, ketika istilah pasca-modernisme masih jauh dari disebut-sebut.
Pada 1966, di usia 21 tahun, ia belum dikenal, tapi menunjukkan semangat pembaruan melalui roman Inani Keke yang merengkuh dua kutub kebudayaan: adat kuna Minahasa dan agama Katholik Roma yang dibawa kolonis Spanyol pertama kali pada abad ke-16.
Dalam tegangan kedua kutub itu alur mengalir melalui kausalitas dendam, petualangan, dan hubungan romantik, dengan karakterisasi para peran bak bermain di panggung teater.
Ditambah foto-drama tempat para bintang film semasa memainkan adegan, realisme Inani Keke menjadi jejak awal budaya urban yang mengajukan kepedulian sejarah.
Suatu adonan yang menjadikan roman ini sebagai konstruksi budaya mestizo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo