Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Batik, yang sudah dikerjakan sejak 600 tahun silam, berasal dari kata mbatik, yang artinya membuat titik-titik. Kata titik-titik berkonotasi sesuatu yang rumit, kecil, detail, dan serba halus. Adapun segala sesuatu yang serba halus atau rinci selalu dipersepsikan sebagai milik Sang Empunya Dunia. Itu sebabnya para pembatik klasik-tradisional selalu beranggapan bahwa apabila ia berhasil membuat batik yang sangat rinci, dirinya akan memperoleh kemuliaan dari Yang Maha Kuasa. Maka penciptaan batik bagi sebagian pembuatnya merupakan upacara ritual.
Ratusan motif batik tradisional telah diciptakan. Namun motif itu sesungguhnya berangkat dari sejumlah motif dasar, yang di dalamnya menyimpan makna filosofis. Seperti motif parang, motif banji, motif sulur-suluran, motif satwa dan alam, dengan submotif yang bukan main banyaknya. Motif-motif yang merupakan stilisasi (pengubahan bentuk) simbol itu terserak di setiap batik yang tumbuh di banyak kota, dari Yogyakarta, Solo, Pekalongan, Cirebon, Garut, Lasem, Sidoarjo, hingga Madura. Sementara itu, hampir semua motif itu mengandung doa. Motif sido mukti misalnya, menyimpan harapan agar yang memakai selalu hidup berkecukupan. Motif parang bermakna doa agar pemakainya selalu mendapat keselamatan.
Batik terus berkembang, sehingga lantas ada batik Belanda, batik Cina, batik Jepang, dan lain-lain. Bahkan, kemudian muncul batik Betawi yang meminimalisasi simbol dan bahkan menomorlimakan filosofi.
Apakah batik nonsimbol dan nonfilosofi seperti batik Betawi patut disimpan? Hartono Sumarsono, juragan batik Kencana Ungu, tegas menjawab, "Tak ada secarik pun yang bisa dibuang dari jagat batik. Karena, bagaimanapun kualitasnya, itu akan lahir sebagai mazhab." Ia lalu mengingatkan kaidah ushuliyyah yang berbunyi: Maa laa yudraku kulluh, laa yudraku julluh (Apa yang tidak bisa diharapkan semua, janganlah ditinggal sama sekali). Artinya, yang lahir dari dunia batik, seaneh apa pun modelnya, akan hadir sebagai tanda-tanda.
Batik Betawi, atau batik yang diproduksi oleh perusahaan pembatikan di Jakarta, lantas dijunjung sebagai tanda berharga oleh Hartono. Penghargaan itu ia wujudkan dengan upayanya mengusung ratusan batik koleksinya dalam buku Batik Betawi. Buku batiknya yang keempat ini ia luncurkan pada April 2017, di tengah acara pameran wastra Nusantara di Jakarta Hilton Convention Center. Adapun buku lainnya adalah Batik Pesisir (Juni 2011), Benang Raja-Menyimpul Keelokan Batik Pesisir (Juli 2013), dan Batik Garutan (Maret 2016). Buku-buku tersebut disusun bersama pengamat mumpuni, Helen Ishwara, L.R.Supriyapto Yahya, dan Xenia Moeis.
Hartono mengatakan, dalam konstelasi seni batik Nusantara, batik Betawi nyaris tidak diperhitungkan. Ia menengarai, pengabaian itu terjadi karena batik Betawi belum melahirkan kekhasan motif. "Namun di balik ketiadaan motif yang khas, batik Betawi justru menghadiahkan tema-tema menarik, yang kadang mengagetkan. Dan inilah ciri khasnya," ujar dia.
Untuk itu, ketika Jakarta menyambut Tan Joe Hok sebagai pahlawan Thomas Cup, muncul batik bergambar piala Thomas. Ketika di Jakarta berdiri toko Sarinah, lahir batik Sarinah. Muncul juga batik yang menggambarkan kembang kol, yang berangkat dari nikmatnya capcai. Bahkan, ada batik bergambar penarik becak, lantaran bos sekaligus desainernya sering mendapat inspirasi kala berkeliling naik becak.
Batik Betawi juga tidak ingin mengusung nilai ritual, bagai yang dikandung sebagian mazhab batik dari Jawa. Pasalnya, Jakarta adalah kota niaga. Batik dibuat untuk diperdagangkan. Motif batik dibuat berdasarkan permintaan pasar atau bahkan pesanan. Yang sedang laku dibuat secepatnya, yang kurang laku segera ditinggalkan. Dan lantaran batik digarap sebagai barang dagangan, yang diproduksi adalah batik cap, bukan batik tulis.
Lalu segala motif yang laku di daerah, segera digubah ala Betawi. Motif merak ngibing yang eksotik di Garut diadaptasi dan disebut batik fajar menyingsing. Batik motif gurdo (garuda) dari Banyumas jadi motif tapak kebo. Ini lantaran dalam abstraksi visual orang Betawi, stilisasi sayap garuda selintas mirip tapak kerbau. Sementara diketahui, para pekerjanya adalah perajin batik yang didatangkan dari berbagai sudut Jawa.
Buku ini dengan baik memaparkan sejarah munculnya batik Betawi, di antaranya lewat Lie Tiang Tjeng, yang pada 1906 mulai bekerja di pembatikan kerabatnya di kawasan Karet. Dari sini diketahui bahwa pembatikan di Jakarta, yang dipelopori oleh orang-orang Tionghoa, memilih kawasan Karet sebagai pusat industri. Seperti Karet Tengsin, Karet Pedurenan, dan Karet Kuningan.
Tempat ini dipilih lantaran tak jauh dari Kali Krukut, yang dijadikan tempat pembuangan limbah. Namun karena limbahnya mencemari lingkungan, industri batik Betawi dipindah ke Cibitung, Karawang Timur, Balaraja. Tokoh pembatikan lain yang dicatat dalam buku adalah Lie Tjay Seng, Tee Boen Ke, dan The Tjoen Tjoe. Sementara itu, toko-toko batik yang terkenal dikelola oleh orang Arab dan Tionghoa.
Selain menghadirkan sejarah dan gaya batik, buku penuh warna ini mengungkap cerita unik dan mitos sudut-sudut kota Jakarta yang pernah dijejaki industri batik. Lengkap dengan foto-fotonya. Menarik!
Hartono tentulah berbahagia bisa mempersembahkan batik koleksinya dalam bentuk buku. Walaupun penerbitan itu ternyata menghadirkan risiko budaya. Dia sedih dan kecewa ketika melihat batik koleksinya dijiplak begitu saja dari buku, dengan hasil yang buruk. Hartono lalu merasa tertantang untuk menghasilkan reproduksi yang lebih baik, yang tidak merusak citra batik lawas, untuk memenuhi keinginan pencinta batik tulis. Ia menyebut upaya itu sebagai pelestarian, dan merupakan tugas berat yang ia ciptakan sendiri.
Dari situ Hartono lalu mencipta reproduksi aneka adikarya batik tulis tua, dengan merekrut para pembatik andal dari berbagai daerah. Produksi batik tulis itu ia namai Batik Citra Lawas, yang disingkat BCL. Ia memang berusaha agar produk BCL semolek Bunga Citra Lestari.
Agus Dermawan T.
Penulis Buku Budaya dan Seni.
Batik Betawi
Penyusun/penulis:
Pengarang :
Hartono Sumarsono, Helen Ishwara,
L.R. Supriyapto Yahya, Xenia Moeis
Penerbit :Kepustakaan Populer Gramedia, April 2017
Tebal: 254 halaman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo