Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jaga keluargamu dari api neraka

Sanggar salahudin yogyakarta tampil di go skate surabaya dengan pagelaran keluarga sakinah. penampilannya menarik, penuh dialog nakal. penulis nas- kah, emha ainun nadjib mengkritik umat islam.

4 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH pot dan rumput yang daunnya berkibaran ditiup angin disorotkan secara siluet dengan lampu warna merah muda. Setelah lampu padam, layar dari sepuluh kain putih selebar setengah meter yang dipasang vertikal itu menampilkan siluet sebuah keluarga muslim yang sedang tadarus. Simbol taman surgawi dan keluarga bahagia yang ditampilkan secara memikat ini mengawali pergelaran Keluarga Sakinah yang dimainkan Sanggar Salahudin Yogyakarta di gedung Go Skate Surabaya pekan lalu. Seperti lazimnya karya Emha Ainun Najib, naskah ini melontarkan dialog-dialog cerdas dan nakal, sarat kritik sosial. Misalnya tentang pendidikan lingkungan yang polusif, tentang pemerkosaan seksual maupun sosial. Tak lupa: kritik mengenai keadaan intern umat Islam, juga tentang keluarga sakinah (bahagia). Di tangan sutradara Fajar Suharno W., pergelaran ini bisa dibilang enak ditonton. Ceritanya mengenai sebuah keluarga modern yang gagal membangun kehidupan yang harmonis. Akibatnya, Dody, sang anak yang merasa menjadi "yatim piatu" -- justru karena kedua orangtuanya "sangat hidup" -- melampiskan kegelisahannya dengan memperkosa Wineng, saudara misannya sendiri yang miskin. Maka keluarga Wineng pun berniat menyeret Dody ke meja hijau. Namun, ayah Wineng yang lugu menolak penyelesaian secara hukum. Selain karena alasan keluarga, juga karena dia menyangsikan kemampuan hukum itu sendiri. "Jangan berani-berani berurusan dengan pengadilan. Nanti prosesnya repot, menghabiskan waktu, biayanya banyak. Lagi pula bagaimana kalau hakimnya disogok?" kata ayah Wineng. Ketika didesak keluarga Wineng, ayah Dody akhirnya mengakui kesalahannya. "Aku akan menuntut diriku sendiri ke meja hijau. Sebab kesalahan anakku hanya buah dari kesalahanku sebagai orangtua," kata ayah Dody. Meski begitu, keluarga Wineng tetap akan menyeret Dody ke meja hijau. Di tengah konflik itu, Wineng membuat keputusan yang kontroversial. Dia memaafkan keluarga Dody hingga rencana ke pengadilan urung. "Pengadilan hanya salah satu cara untuk menghukum, tapi hukuman yang paling berat ialah hati nuraninya sendiri dan hukuman Tuhan," ujar Wineng. Namun Emha, penulisnya, tak membiarkan struktur cerita yang dramatik ini menjadi melankolis dan mendayu-dayu. Sejak awal naskah ini dibungkus dengan pingpong dialog antar tokoh-tokoh di luar struktur utama itu. Misalnya narator yang dimainkan secara bagus oleh Bagus Jati Haryono dan Arif Wibisono. Di lain pihak, pemeran keluarga Dody dan Wineng mampu mengubah peran menjadi "pemain" yang menggugat peran mereka. "Saudara narator, saya tidak setuju pada lakon drama ini. Saya tidak kerasan menjadi papi yang anaknya memperkosa. Ini apa-apan?," gugat pemeran ayah Dody. Pemain lainnya juga bisa berperan sebagai "pemain" yang menggugat peran mereka. "Kita maunya keluarga sakinah, bukan keluarga pemerkosa," gugat para pemain. Lewat dialog antara narator dan pemain inilah persepsi Emha mengenai keluarga disodorkan. "Pertanyaan tentang keluarga sakinah seharusnya ditujukan kepada penonton. Tanya, apakah mereka sudah menerapkan ayat Quran, Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, di setiap segi kehidupan," kata narator. "Bagaimana mungkin keluarga sakinah akan terbentuk, kalau bapakibu mereka terlibat dalam sistem dan keputusan pembangunan yang membiarkan korupsi, kemunafikan, dan feodalisme merajalela," gugat yang lain. Pementasan yang berdurasi lebih dari dua jam ini secara umum menarik. Meski begitu, Fajar Suharno melihat kelemahannya. Antara lain terbatasnya waktu latihan yang hanya satu bulan dan kemampuan para pemain yang kebanyakan pas-pasan. Tapi tampaknya sutradara cenderung menggarap pementasan ini sewajar-wajarnya. Kewajaran itu, misalnya, tampak pada kostum pemain yang berjumlah 51 orang. Pemeran pemuda mengenakan pakaian sehari-hari, ada yang berkaus dan bercelana jins, ada yang mengenakan jaket. Pemain wanita, tanpa kecuali, semuanya berjilbab. Hanya narator yang berpenampilan lain. Keduanya dengan kostum konduktor musik: yang satu berwarna hitam, yang lain berwarna merah. Dengan wajah yang dirias secara futuristik, mereka tampil secara karikatural. Musik yang ditata oleh Mamik Slamet, dibantu Narto Piul, mampu mengimbangi visualisasi sutradara. Untuk keperluan itu, mereka mengusung seperangkat instrumen pentatonis dan diatonis, antara lain kendang, gong kecil, bonang, drum, jidor, gitar, flute, biola, kempul, soran, mandolin, gambus, organ, dan bas elektrik. Tapi pada pergelaran hari pertama sempat kedodoran. Di samping karena peralatan tata suaranya ngadat dan peralihan adegan demi adegan yang terasa lambat, sejumlah pemain kelihatan kagok. Untungnya, pementasan yang diprakarsai oleh Panitia Bersama OSIS SMA 1, 2, 3, 5, 9 Surabaya dan menelan biaya Rp 30 juta ini bisa diselamatkan pada hari kedua. Yang menarik dari pagelaran ini ialah bahwa Keluarga Sakinah yang sangat bernada Islami itu tidak dipentaskan oleh, misalnya, sebuah lembaga dakwah melainkan oleh anak-anak sekolah. Barangkali para pelajar mulai cenderung tertarik pada nilai-nilai agama. Naskah Keluarga Sakinah ini semula ditulis tahun 1990, pernah dimainkan oleh Teater Jiwa dengan sutradara Agung Waskito di Yogyakarta. Ketika itu penontonnya meledak. Maklum, untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah. Untuk pementasan di Surabaya, naskah tersebut direvisi oleh Emha, disesuaikan dengan kondisi aktual di Surabaya. Tentu dengan kritik-kritik yang khas Surabaya pula. Kelik M. Nugroho (Surabaya).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus