SEBUAH pergelaran foto hadir di Hotel Hilton Jakarta (21-23 Maret lalu) atas prakarsa Jakarta Media Communication (JMC). Dengan tema Foto Jurnalisme Internasional Dewasa Ini, dipamerkan 210 foto dan 8.000 slide karya agen foto Gamma dan Sipa, keduanya berpusat di Paris. Juga 110 foto karya fotografer dari 28 media Ibu Kota. Foto yang dipamerkan dikemas dalam ukuran 40 X 50 cm dan berseri. Dalam foto seri Perang Teluk, misalnya, ada wajah seorang tentara Amerika mencangking potret Saddam Hussein. Karya fotografer Gamma itu tak sekadar mengabadikan ekspresi kemenangan Amerika lewat tertawa lebar sang pahlawan, tetapi juga dari potret kehancuran kota sebagai latar belakang. Juga ada seorang warga Kuwait yang memeluk anaknya seraya memandang kepulan asap hitam di ladang minyak yang terbakar. Meski ini foto pose, foto itu dapat berbicara tentang peristiwa di sana. Dan untuk memotret obyek itu, sang pemotret, Laurence van der Stock, harus merelakan sebelah tangannya diamputasi karena terkena pecahan bom. Foto-foto perang ini dirangkai foto anakanak korban perang dan bencana alam di Irak, Bangladesh, Turki, Dhaka, dan Mongolia. Betul-betul serial wajah pilu dan mengenaskan. Tentu saja tidak semuanya pilu, ada juga yang religius, misalnya bocah kecil Thara Tenzin pada upacara di sebuah kuil Budha di India. Ini juga karya fotografer Gamma. "Bahasa foto adalah bahasa universal. Ia bisa dibaca di mana saja, walau dengan persepsi berbeda," kata Direktur Gamma, Floris de Bonneville, dalam seminar yang diadakan untuk itu. Jadi, katanya lagi, foto yang baik mestinya bisa berbicara banyak. Masalahnya sekarang, Gamma menghadapi kendala yang semakin canggih. Bahaya itu mengintip bukan hanya dari sasaran peluru nyasar di medan perang, tetapi karena ada persoalan bahwa jepretan tanpa izin bisa berakhir dengan gebukan bodyguard sang obyek foto, atau tuntutan pengadilan. Hal inilah, kata Boneville kepada TEMPO, yang dulu kerap diabaikan. "Maka, kini kami harus lebih hati-hati," katanya. Selain itu, Gamma, yang sudah 25 tahun berdiri dan mempunyai jaringan kuat pendistribusian foto-foto eksklusifnya ke seluruh dunia, juga menghadapi persaingan waktu. Artinya, jika terlambat mencetak atau terlambat mengirim, media tak mau membelinya. Alhasil, kehebatan angle saja tak cukup dalam foto jurnalistik. Aktualitas juga penting. Terlambat sedikit, ia menjadi basi. Namun, ada hal yang lebih penting lagi. Sebuah potret seharusnya tidak cuma berakhir sebagai suvenir atau ilustrasi, "Sebab foto juga menyimpan pesan. Ada misi moral di dalamnya," kata Yudhi Soerjoatmodjo, pembahas dalam seminar ini. Maksudnya, pemotret mestinya tak sekadar jepret dan puas jika karyanya dimuat. Ia juga mesti memikirkan dampak publikasinya. "Pemuatan potret kompleks pelacuran untuk sebuah artikel tentang AIDS, misalnya, seolah menuding bahwa pelacur itulah penyebab penyebaran AIDS. Apa itu betul?" kata Yudhi. Berbicara tentang foto akhirnya memang mengikutkan berbagai aspek. Hal menarik yang juga disinggung dalam seminar yang dihadiri sekitar 50 fotografer itu adalah soal hak cipta. Siapa pemegang hak cipta sebuah karya foto? Karni Ilyas, pembahas lain, mengatakan bahwa lazimnya hak cipta tentu dipegang pemotret. Masalah baru timbul jika pemotret adalah karyawan sebuah penerbitan, yang penentuan angle fotonya sering merupakan hasil rumusan ide rapat redaksi. Artinya, karya foto itu tak murni berasal dari sang pemotret. Jadi, jika kelak pemotret tak bekerja di penerbitan tersebut tetapi fotonya masih dimuat dengan kreditasi penerbitan yang bersangkutan, dan bukan nama si pemotret, tentu ia harus bisa menerima. Lain halnya jika potret itu hasil karya pribadinya. Noorca M. Massardi, Direktur JMC -- yang menjadi agen foto Gamma, Sipa, dan Stills sejak 1989 -- mengakui sulit menjalankan bisnis foto. Apalagi foto jurnalistik yang mempunyai nilai news. Sebabnya jelas, harga foto memang mahal, US$ 40 per lembar buat kalangan media dan US$ 200 buat umum. Atau untuk berlangganan Gamma, misalnya, harganya US$ 5.000 untuk 2.000 foto dengan pembayaran tiga bulan di muka. Pameran yang diadakan JMC di Jakarta ini diboyong juga ke Bali, mengambil tempat di Hotel Nusa Indah, kawasan Nusa Dua, 28-30 Maret. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini