Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jempol dari bandung

Beberapa tokoh musik rock (yuke sumeru, donny suhendra, samuel dodo, okye samjun) beralih ke jazz, dengan rien djamain & dewi ellyana mereka membuat rekaman kaset pertama d'marszyo & rien.(ms)

31 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI hendak membuktikan bahwa musik jazz bisa juga diciptakan --tidak cuma dimainkan--oleh musisi pribumi, lima anak muda Bandung unjuk gigi. Memang. Kaset pertama mereka, d'Marszyo & Rien Djamain (nama itu dicetak dengan tinta emas di atas sampul hijau) menunjukkan semangat itu. Mereka benar kreatif. Meski sampulnya tidak menarik, kaset produksi 'Hidayat'--perusahaan rekaman di Bandung yang banyak menerbitkan jazz dan nyaris bubar itu--layak dipuji. Khususnya ketujuh nomor instrumentalnya. Sebab, ke-5 nomor lainnya, yang dimasuki vokal baik oleh Rien Djamain maupun Dewi Ellyana, terasa benar terlalu didorong kepentingan pasar. Sehingga keasyikan dan kebebasan penciptaan harus berhenti pada patokan nonmusik. Di luar itu, Yuke Sumeru dan Donny Suhendra -- keduanya bekas pentolan grup rock G'Brill --terbukti bisa menciptakan jazz yang sedap. Black Ship dan Question (Yuke) dan Wando Samba (Donny) boleh dibilang yang terbaik dalam kaset ini. Meski Samuel (pada Sajiraga) dan Dodo (pada Gadis) juga menunjukkan kemampuan kompositoris yang cukup kaya--masing-masing urun 4 dan 3 lagu. Hanya Okye Samjun, penabuh drum, yang belum unjukkan ciptaannya. Kemampuan memainkan instrumen pada kelima pemuda berusia 23-30 tahun itu masing-masing berimbang, sebenarnya. Hanya saja, denan teknik rekaman 4 trek -- karena keterbatasan studio (padahal kini banyak yang sudah 24 trek)--tak semuanya sempat menggigit. Yang lebih mencuat akhirnya hanya betotan bas Yuke yang lincah, padat dan mengempos dinamika pada seluruh lagu--di samping petikan gitar Donny. Memang piano (Samuel) misalnya, betapa pun fungsinya dalam lagu, "hanya" terdengar sebagai sisipan. Dalam pada itu gemerincingnya perkusi (Dodo) malah terlalu bising. Bahkan tak cocok untuk banyak bagian. Ini barangkali lebih merupakan persoalan komposisi --dan bukan pada upaya mengembangkan improvisasi. Contoh keseimbangan yang baik sebenarnya ada, yakni pada Illusion Walt (Samuel). Toh itu tak harus membalikkan arah jempol yang memang patut diacungkan ke atas buat mereka. Juga buat produsernya yang berani--meski baru setengah. Sebab akhirnya, kedua penyanyi cewek yang digaetnya itu--terlepas dari kualitas suara mereka--jadi tampak salah tempat. Musik sebagai yang telah ditunjukkan d'Marszyo itu lebih tepat untuk tak dirusuhi segala vokal. Apalagi karena di sini memang langka penyanyi jazz. Katakanlah, tak ada cewek macam Flora Purim -- yang di benuanya sana mampu menerjemahkan dan memperkaya musik antara lain Chick Corea. Itu biang jazz mutakhir (fusion) yang juga jadi salah satu kiblat anak-anak Bandung tadi. Hal lain yang agak mengganggu adalah judul-judul lagu yang memakai bahasa Inggris--meski pada akhirnya, segala judul memang tak penting benar. Yudhistira ANM Massardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus