Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jeritan para senior

Sejumlah pentolan musik rock bersatu di gedung gelora bandung, ada benny s. jelly tobing arthur kaunang dan deddy stanzah.(ms)

1 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETENGAH jam sebelum pukul 20, sekitar 3.000 penonton sudah tumpat di Gedung Gelora Bandung yang lebih mirip sebuah gudang itu. Di luar, ratusan pemuda yang tak kebagian atau ogah membeli karcis seharga Rp 600, mengancam akan mendobrak pintu yang dijaga belasan polisi dan CPM. Pertunjukan akhirnya terlambat. Para penonton menggebrakkan kaki, berteriak-teriak, melemparkan kertas-kertas dan puntung. Terkesan malam itu akan terjadi huru-hara. Ternyata tidak. Dan panggung yang ditutup terpal, nampak kumal, tanpa rias dan jauh dari citarasa artistik. Peralatan yang teronggok di sana pun ketika dimainkan 3 grup musik rock yang baru muncul hanya memancarkan sepi di tengah kehingaran tanpa semangat. Juga tanpa keplok yang berarti. Benny Soebardja, 30 tahun, pemimpin grup Giant Step, Jelly Tobing, 30 tahun, eks Superkid (kini bergabung dengan Benny), Arthur Kaunang, 28 tahun, dari kelompok SAS (eks AKA), Deddy Stanzah eks Superkid, dan Soleh Sugiarto dengan Freedomnya, adalah nama-nama yang beberapa tahun lalu dipuja. Malam itu, 16 Februari mereka muncul, beramai-ramai dalam suatu Rock Session '80. Tapi tiba-tiba saja mereka tampak tua. Benny, yang tahun lalu menikah dan menjadi insinyur pertanian, Jelly yang beranak 3 dan Arthur dengan 2 orang anak, kelihatan merasa perlu berteriak agar musik rock bangkit kembali -- dengan alasan Arthur "Supaya generasi muda tidak tidur. Tidak loyo. Sebab musik rock memiliki dinamika yang kuat." Sesudah berpidato, ditingkah gebrakan yang lain-lain, Arthur melompat-lompat, menjerit, mencabik-cabik basnya, memukul, menendang, jumpalitan dan kemudian -- di akhir acara -- membakar gitar merk Fender seharga Rp 300 ribu dengan obor yang dipegang Jelly dan Soleh. Lalu mereka lari ke luar gedung sambil berulang-ulang berteriak: "Hidup musik rock! Hidup musik rock!" Dan Arthur pun pingsan. Ratusan remaja, yang 5 atau 10 tahun lalu belum sempat ambil bagian, ikut mengharu-biru. Sementara ribuan yang lain hanya diam. Seperti asing dan tak merasa tersintuh. Seseorang nyeletuk: " Ini mah gila." Sambil menghitung bahwa periode musik rock berumur 5 atau 10 tahun, di penginapannya Arthur memastikan tahun ini merupakan giliran mereka lagi -- setelah rock mengalami masa jaya tahun '70-an. Tetapi Benny misalnya, sesudah sekitar 10 tahun berkubang di situ, mengaku "Saya tak mungkin bisa seperti dulu lagi." Ia sudah menjadi manajer perusahaannya sendiri yang bergerak di bidang survei untuk tanah pemukiman transmigran di luar Jawa. Lagi pula ia hanya menyebut kegiatannya dalam musik hanya "hobi". Sedang Jelly, yang sejak rock yang dimainkannya tak mendapat pasaran sibuk membantu rekaman para musisi pop, menyebut masuknya ke dalam Giant Step hanya karena merasa "bertanggungjawab atas kelangsungan hidup musik rock di negeri ini." Sebagai senior ia agaknya ingin memberi contoh suatu dedikasi. Arthur sendiri, meski selama ini bersama SAS-nya masih sering manggung di Ja-Tim, sudah merasa lebih afdol menjadi pengasuh sebuah grup baru -- suatu hal yang juga dilakukan Benny. Elvi Sukaesih Tapi selain mereka, di kubangan rock masih ada Achmad Albar dengan Godblessnya -- yang sudah lebih dulu mengucapkan tekad -- bahkan sekarang memasuki rekaman. Bersamaan dengan itu Albar masih sibuk dalam film dangdut bersama Elvi Sukaesih, dan itulah sebabnya ia tak hadir di Bandung. Sementara itu, sebagai kebalikannya, Rhoma Irama tetap memberi porsi besar bagi rock dalam dangdutnya -- dan mendapat tempat yang luas. Sehingga jeritan "rock harus bangkit kembali" jadi terdengar aneh. Bukankah Arthur sendiri mengakui kelenturan musik rock yang bisa masuk ke mana saja: pop, jazz, klasik, country, dangdut? Bukankah rock sebenarnya tak tercabut sama sekali, kalau tak boleh dikatakan berkembang? Tetapi kaset Arthur dan kawan-kawannya memang sulit dipasarkan -- sementara para penggemar rock merasa lebih puas membeli Gino Vanelli, Genesis, Pink Floyd, atau apalah grup luar yang memang lebih bagus. Di samping itu memang sedikit orang yang mau mengundang atau mensponsori konser mereka -- kecuali seperti Cobra Optical yang rajin, termasuk untuk yang di Jalan Saparua barusan. Apa sebenarnya yang diteriakkan? Kecuali bisa menyuguhkan prestasi yang bagus sekali, yang "murni" saja belum tentu menarik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus