Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“SYARAT menjadi seorang profesor itu relatif mudah. Yang sulit adalah bertindak dan berperilaku sebagai seorang profesor.” Pernyataan Profesor Sigit Riyanto itu terngiang kembali di telinga saya sesaat setelah mendengar berpulangnya Pak Dhe—sapaan saya kepada Sigit—pada Rabu, 21 Agustus 2024. Saya rasa ia tak bermaksud pamer sebagai profesor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kala itu ada seorang pejabat tinggi yang melobi Pak Dhe sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, untuk mendapatkan gelar profesor kehormatan dari fakultasnya. Ia menyebut pernyataannya itu sebagai bentuk penolakan, bahwa seorang profesor seharusnya bertindak selayaknya ilmuwan. Menurut Julien Benda, ilmuwan atau kaum intelektual tak boleh menjadi pengkhianat. Bagi Pak Dhe, si pelobi adalah bagian dari pengkhianat yang sebaiknya tak perlu diprofesorkan. Sang pejabat rupanya tidak menyerah dan akhirnya mendapatkan gelar kehormatan itu dari institusi lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya tak punya pengetahuan yang jelas mengapa akademisi kelahiran Sukoharjo, 15 Februari 1964 itu punya tendensi sekuat itu untuk menegakkan kehormatan akademik dan integritas keilmuan. Saya kira sangat bisa baginya sedikit mengendur karena petinggi itu bukan orang sembarangan. Tentu saja ada “imbalan” besar bagi Pak Dhe jika ia mau berkompromi dan memberikan gelar itu kepada sang pejabat. Tapi ia memilih tidak dan tetap bersetia kepada kesucian intelektual yang berstandar tinggi pada ilmu dan kebenaran.
Saya bertemu dengan Pak Dhe pertama kali sekitar 1997-1998. Dia dosen muda yang berwawasan meskipun terlihat irit bicara. Kala itu dia dosen hukum internasional dan saya mahasiswa di Fakultas Hukum UGM. Jiwa mahasiswa baru biasanya mudah melihat sosok-sosok panutan yang penuh dedikasi. Tentu saja ia salah satu yang menonjol. Tapi mungkin karena dia relatif muda dan agak pendiam itulah mahasiswa lebih banyak berpaling kepada dosen muda lain yang punya peminatan ilmu lebih dekat dengan kami, seperti Fajrul Falaakh dan Denny Indrayana. Bisa jadi juga karena ia memiliki kesibukan yang tidak sederhana sebagai delegasi regional Komite Internasional Palang Merah hingga 2000. Tapi ia sudah menjadi bagian yang tetap dalam cara pandang mahasiswa mengenai hukum. Apalagi tulisan-tulisannya bia dibaca di berbagai media massa.
Saya mulai intens berinteraksi dengannya pada 2002, tatkala menjadi peneliti tetap di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Pusat studi ini memiliki banyak aktivis-akademikus yang sangat berpengaruh dalam hukum dan hak asasi hingga saat ini. Sebut saja (almarhum) Artidjo Alkostar, juga M. Busyro Muqoddas, Suparman Marzuki, dan Eko Prasetyo. Nama-nama itu memiliki rekam jejak yang mumpuni dalam aktivisme hukum. Pak Dhe sering dipakai sebagai narasumber yang boleh dikatakan tetap di sana. Dalam kesempatan awal-awal itulah saya melihat ia punya dua prasyarat penting sebagai ilmuwan: ilmu yang cukup sekaligus pemihakan yang besar. Ilmu dan pemihakan adalah tandem wajib bagi keilmuan. Analisisnya khas analisis ilmuwan dan aktivis yang menempatkan analisis kritis pada porsi yang tepat dan pas.
Saya makin sering bertemu dengannya sejak menjadi dosen di Fakultas Hukum (FH) UGM pada Januari 2005. Meskipun berbeda bagian dan bidang keilmuan, kami kian kerap berinteraksi setelah saya bersama beberapa kawan ikut membantu pendirian International Undergraduate Program FH UGM, sementara dia menjabat Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kerja Sama Fakultas Hukum UGM selama 2008-2012. Puncak intensitas pertemuan kami tentu saja ketika dia menjabat Dekan FH UGM selama 2016-2021.
Pak Dhe adalah orang yang tak sungkan berbagi cerita dan berdiskusi tentang banyak hal, dari kondisi pemerintahan nasional hingga langkah-langkah yang ia ambil sebagai pemimpin tertinggi di fakultas itu. Di sinilah jiwanya yang sesungguhnya bisa terlihat dan teruji. Ia orang yang tanpa ragu langsung mengiyakan setiap tawaran ikut berperan dalam agenda masyarakat sipil, khususnya penegakan hukum dan antikorupsi. Ia ikut bersama mahasiswa dalam setiap pernyataan sikap ataupun aksi turun ke jalan. Tak terhitung banyaknya ia ikut serta dalam upaya mendorong agenda perubahan yang ditawarkan civitas academica UGM.
Meskipun pada tahun-tahun itu UGM bisa jadi tengah memiliki agenda yang berbeda dalam menyikapi pemerintahan Presiden Joko Widodo, Pak Dhe saya saksikan menjadi orang yang berani berdiri tegar di antara kebisingan pendukung pemerintahan Jokowi yang berada di UGM. Saya menjadi saksi langsung bagaimana Pak Dhe tetap menjadi pengkritik di tengah banyaknya warga kampus yang memandang sinis upayanya.
Salah satu sikapnya yang paling kuat adalah dalam hal antikorupsi. Selain terjun langsung dalam berbagai upaya penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi, dialah yang memulai upaya menertibkan gejala ilmuwan FH UGM menjadi saksi ahli dalam perkara korupsi. Saksi ahli bagi dia adalah kebanggaan almamaternya. Itu sebabnya dia merasa ilmuwan kampus seharusnya menegakkan kebanggaan itu, bukan malah menjadi saksi ahli bagi koruptor.
Pak Dhe menunjukkan sikap kepemimpinan dengan, antara lain, pemihakan penuh dalam kasus ancaman terhadap mahasiswa FH UGM yang hendak menggelar diskusi mengenai pemakzulan presiden. Seketika mahasiswa-mahasiswa itu dikutuk menjadi pesakitan oleh begitu banyak pihak, termasuk civitas academica UGM sendiri. Bahkan mereka diteror dan diancam dengan pembunuhan. Bayangkan betapa protektifnya sejumlah orang UGM terhadap Presiden Jokowi.
Kami bersama beberapa teman kemudian mengadvokasi para mahasiswa itu hingga menyediakan rumah aman sementara bagi mereka. Pak Dhe punya pendirian bahwa keselamatan mahasiswa ini jauh lebih penting dibanding proses-proses administrasi. Seingat saya, majalah Tempo dan Koran Tempo menurunkan laporan panjang mengenai kasus ini. Kasus ini pun bergulir di kepolisian dan bahkan saya menjadi saksi dalam pemeriksaan polisi, sebelum semuanya lalu lenyap entah berujung ke mana. Pak Dhe pernah berkata bahwa mahasiswa ini adalah anak-anak kita yang dititipkan di UGM sehingga nyawa mereka sangat penting dilindungi.
Pak Dhe punya pendirian yang tak kecil dalam pengembangan dosen dengan jiwa aktivisme yang memadai. Tak terhitung banyaknya dosen yang punya tradisi aktivisme kuat yang ia “dekati” dan “bantu” ke Fakultas Hukum UGM. Sebut saja Herlambang P. Wiratraman, Rikardo Simarmata, Sri Wiyanti Eddyono, Yance Arizona, dan nama-nama lain yang saat ini menjadi ilmuwan cum aktivis di FH UGM yang banyak memberikan warna bagi penegakan hukum di Indonesia. Bagi saya, ia seakan-akan ingin meletakkan dasar bahwa pengembangan ilmu hukum juga sesungguhnya adalah adanya regenerasi dan kapasitas dosen yang mumpuni yang bisa membawa mahasiswa ke dua arah, yakni ilmu yang memadai dan pemihakan yang kuat. Mungkin itulah salah satu warisannya yang paling menarik di antara sekian banyak kiprah yang ia torehkan sebelum mengembuskan napas terakhirnya.
Saya kembali bertafakur di hadapan tulisan lama yang dibagikan beberapa kawan di sebuah grup percakapan sesaat setelah kematiannya. Judulnya “Negara dan Peran Akademisi”, artikel di Kompas pada 3 Januari 2024. Ia menulis tentang bagaimana idealisme yang tergerus itu punya korelasi dengan pembusukan institusi pendidikan dan kewajiban merawat sikap kritis. “Jika tak mampu menjaga dan mempertahankan kewarasan nalar, kejernihan berpikir dan nurani, negara ini akan terus terjebak pada perilaku hipokrisi (kemunafikan), regresi demokrasi, pembenaran koruptif, kerusakan tata kelola, dan pembusukan rule of law,” tulisnya.
Saya kira ia benar dan kondisi itulah yang kita alami saat ini. Sayangnya, ia tak bisa menjadi saksi apakah kita akan terus tenggelam dalam prediksinya itu atau ada arus balik untuk melawannya. Ia sudah berjalan dulu memenuhi panggilan Tuhan di saat jiwa-jiwa perlawanan tengah bangkit beberapa hari belakangan. Saya menjadi saksi bahwa ia melangkah gagah dengan seluruh kiprah integritasnya yang tak tertawar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berpulangnya Sang Penjaga Integritas"