Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Foto-foto Terbaik di World Press Photo 2024

Pameran fotografi para jurnalis foto pemenang kompetisi World Press Photo 2024 tengah dipamerkan. Foto terbaik datang dari Gaza.

1 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Karya para pemenang kompetisi World Press Photo 2024 tengah dipamerkan di Erasmus Huis. Tak kurang dari 32 foto pemenang terseleksi dari 61 ribu karya.

  • Lebih dari 3.800 jurnalis foto dari 130 negara bersaing dalam kompetisi prestisius ini. Salah satunya fotografer Indonesia, Arie Basuki.

  • Empat foto tahun ini dan 28 foto pemenang menyuarakan dampak perang, isu lingkungan, hak hidup, dan kepentingan publik..

KERUDUNGNYA berwarna kuning. Balutan bajunya biru. Tangan kanannya mendekap jasad seorang bocah kecil yang terbungkus kain kafan, sementara tangan kirinya ia letakkan di kepala sang bocah. Wajah perempuan itu tenggelam dalam lekukan tangan yang memegang kepala bocah kecil itu. Di belakang perempuan itu, pantulan sinar matahari di tembok tak mampu memberikan cahaya atas rasa kehilangan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan itu, Inas Abu Maamar, 36 tahun, tengah mendekap jasad Saly, 5 tahun. Keponakan Inas itu tewas bersama ibu dan saudaranya ketika misil Israel membombardir rumah mereka di Khan Younis, Gaza, Palestina. Jenazah Saly memperpanjang daftar korban dari Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa per Maret 2024 yang meliputi 30 ribu orang tewas dan lebih dari 70 ribu lainnya luka-luka dalam genosida pendudukan wilayah Palestina oleh Israel. Foto ini mendapat penghargaan sebagai Photo of the Year 2024 dari World Press Photo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mohammed Salem, sang fotografer yang berbasis di Jalur Gaza, memotret Inas pada 17 Oktober 2023, beberapa hari sesudah istrinya melahirkan. Dia menemukan Inas tengah berjongkok, memeluk jenazah keponakannya di kamar mayat Rumah Sakit Nasser, tempat para penduduk setempat mencari kerabat yang hilang. Inas bergegas berlari ke kamar mayat rumah sakit itu begitu mendengar serangan menghunjam rumah saudaranya. “Momen yang kuat dan menyedihkan tentang apa yang terjadi di Jalur Gaza,” ujar Salem dalam keterangannya. Betapa ia diliputi kegembiraan atas kelahiran buah hatinya, tapi tak lama kemudian menyaksikan bocah lain menjadi mayat karena serangan Israel itu.

Pengunjung mengamati karya Mohammed Salem yang berjudul 'A Palestinian Woman Embraces the Body of Her Niece' dalam pameran foto pemenang World Press Photo 2024 di Erasmus Huis, Jakarta, 24 Agustus 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Para juri rupanya sangat tersentuh oleh foto yang membangkitkan refleksi emosional setiap pemirsanya itu. Disusun dengan hati-hati dan penuh rasa hormat, foto ini menampilkan sekilas rasa kehilangan yang tak terbatas secara metaforis dan harfiah. Foto ini menggema secara global, mendesak orang-orang menghadapi ketidakpedulian terhadap konsekuensi konflik manusia. Foto ini pun, menurut juri, mempunyai banyak lapis penggambaran: hilangnya anak, perjuangan rakyat Palestina, dan puluhan ribu kematian. “Sebagai simbol dampak konflik, gambar ini membuat pernyataan tentang kesia-siaan semua perang,” demikian pernyataan juri, mengakui rasa kemanusiaan dalam jepretan Salem.

Panitia kontes menerima lebih dari 61 ribu karya sekitar 3.800 fotografer dari 130 negara. Juri independen menilai dan memutuskan 24 pemenang, 6 peraih penghargaan kehormatan, serta 2 peraih penghargaan pilihan juri. Karya Arie Basuki, jurnalis foto Indonesia, mendapat penghargaan kehormatan.

Pemenang global World Press Photo of the Year kategori Cerita Foto adalah Lee-Ann Olwage dari Afrika Selatan yang memotret kisah sebuah keluarga dengan orang tua demensia di Madagaskar. Adapun kategori Proyek Jangka Panjang dimenangi Alejandro Cegarra asal Venezuela yang bekerja untuk The New York Times/Bloomberg. Ia mendokumentasikan para imigran dan pencari suaka di Amerika Selatan berdasarkan pengalamannya sendiri sebagai imigran. Akan halnya dalam kategori foto Format Terbuka, karya jurnalis asal Ukraina, Julia Kochetova, terpilih sebagai pemenang. Ia mendokumentasikan perang yang masih berkecamuk di negaranya.

Pengunjung mengamati karya Lee Ann Olwage yang berjudul 'Valim Babena' dalam pameran foto pemenang World Press Photo 2024 di Erasmus Huis, Jakarta, 27 Agustus 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Foto Lee-Ann Olwage tentang keluarga di Madagaskar memperlihatkan seorang laki-laki sepuh bernama Dada Paul tengah berdandan bersama cucunya untuk pergi ke gereja. Mereka hidup bersama Fara, ibu sang bocah. Dada Paul adalah kakek 91 tahun yang mengalami demensia selama 11 tahun dan tak ada seorang pun yang mengetahuinya. Kesepuluh anaknya menganggapnya gila. Mereka tak paham apa itu demensia atau Alzheimer. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat tak kurang dari 55 juta orang menderita demensia dan mereka hidup di negara-negara miskin.

Adapun Julia Kochetova menghadirkan foto-foto yang dirangkai bertema perang. Dia menggabungkan dokumentasi dan kolase teknologi di dalamnya.

'War Is Personal' karya Julia Kochetova, yang menggabungkan visual berupa foto dan teks, serta audio. Worldpressphoto.org

Keempat foto tersebut bersama 28 foto lain para pemenang kompetisi World Press Photo yang sangat menggugah tengah dipamerkan di Erasmus Huis, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, pada 25 Agustus-22 September 2024. Pameran juga akan digelar di Pendhapa Art Space, Yogyakarta, pada 25 Oktober-23 November 2024. Para juri mengakui konflik dan perang merupakan tema yang berulang dalam kontes foto ini. Tapi tiap juri mempunyai pendekatan yang berbeda. Para juri kontes tahun ini meminta juri dari dua perhelatan sebelumnya berbagi pengalaman tentang cara mereka memilih kisah tentang perang dan konflik.

Sejumlah pengunjung mengamati karya di pameran foto pemenang World Press Photo 2024 di Erasmus Huis, Jakarta, 24 Agustus 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Direktur Eksekutif World Press Photo Joumana El Zein Khoury menulis tentang tantangan media dan kontes fotografi dokumenter serta pameran di dunia tatkala pemirsa melihat dengan perspektif yang berjauhan. Dia merasa masa-masa seperti ini menyakitkan karena dihadapkan pada betapa sulit, penuh kekerasan, dan terkadang mengerikannya dunia. Tak terkecuali pada 2023. Bagi dia, tak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa kita hidup di masa yang sangat berbahaya. Bukan hanya penderitaan akibat perang regional yang mengancam bakal meningkat atau konflik mendalam yang tampaknya tidak dapat diatasi. “Atau bahkan perubahan iklim yang makin parah dan merusak,” ucapnya.

•••

FOTO-FOTO lain mampu menggugah emosi para pemirsa, termasuk pengunjung pameran. Lihatlah foto tiga bocah yang matanya terbelalak melihat apel. Sungguh menohok. Dalam foto karya Ebrahim Noroozi berjudul “Afghanistan on the Edge” itu, tampak mata mereka bulat terkagum-kagum ketika melihat sebutir apel merah di tangan ibunya hasil mengemis di kamp pengungsi internal di Bagrami, pinggiran Kabul, Afganistan. Konon, mereka baru mengetahui buah ini. Foto ini satu dari delapan foto jepretan Noroozi selama beberapa bulan pemotretan. Setelah Taliban berkuasa, Afganistan makin bangkrut. Dampaknya terasa pada kehidupan rakyat negeri itu, terutama anak-anak dan perempuan.

'Afghanistan on the Edge' karya Ebrahim Noroozi. Worldpressphoto.org

Veejay Villafranca, ketua juri Asia Tenggara dan Oseania, mengungkapkan pendapatnya tentang foto-foto pemenang. “Kisah-kisah yang akhirnya kami pilih meliputi aspek-aspek kehidupan yang mungkin tidak berkesempatan menjangkau khalayak global.”

Tengoklah karya Eddie Jim yang mengangkat tema tentang dampak krisis perubahan iklim. Tampak Lotomau Fiafia, 72 tahun, tetua adat, bersama cucunya, John, berdiri di sebuah tempat di Teluk Salia, Pulau Kioa, Fiji. Mereka berada di garis pantai yang diingat Fiafia saat masih kecil. Pulau tempat mereka tinggal nyaris tenggelam karena kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim yang makin nyata. Kini air laut sudah mencapai dada si kakek.

Ada pula foto tentang revolusi di Myanmar yang belum padam, juga potret mengenai adu klaim atau perebutan wilayah di Laut Cina Selatan oleh berbagai negara yang ditangkap lensa kamera fotografer Filipina. Dari Afrika, ada kisah para penyintas konflik di Etiopia serta perjalanan mereka yang tersesat di Samudra Atlantik dan orang-orang dari Tunisia yang mencari kebebasan.

Suasana pameran foto pemenang World Press Photo 2024 di Erasmus Huis, Jakarta, 24 Agustus 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Dari Amerika Selatan, foto-foto karya Pablo Ernesto Piovano terpilih dalam kategori Proyek Jangka Panjang. Mengambil judul “The Return of the Ancient Voices” atau kembalinya suara para leluhur, ia mengabadikan perjuangan komunitas suku Mapuche di selatan Argentina dan Cile. Suku yang bertahan sejak abad ke-16 ketika dijajah Spanyol itu kini menghadapi tantangan baru: eksploitasi tanah leluhur untuk pertambangan, pembangunan pembangkit listrik tenaga air, dan kekerasan yang menimbulkan korban jiwa. Hal itu mengingatkan yang terjadi pada masyarakat adat di Papua, Kalimantan, Maluku, dan Jawa akhir-akhir ini.

Salah satu juri untuk wilayah Asia Tenggara Oseania, Ng Swan Ti, mengatakan tema perang dan konflik memang masih menjadi pilihan juri. Hal ini tak lepas dari situasi dunia yang masih dilanda perang dan konflik serta gonjang-ganjing politik. Para juri dengan pendekatan masing-masing melihat dari segi teknik dan estetika foto, juga tema yang dihadirkan. Di Asia Tenggara dan Oseania, tema tentang revolusi di Myanmar dan perebutan wilayah di Laut Cina Selatan masih menjadi pilihan. Juri tergerak mengamati isu ini.

Pengunjung mengamati karya Zied Ben Romdhane yang berjudul 'The Escape' dalam pameran foto pemenang World Press Photo 2024 di Erasmus Huis, Jakarta, 24 Agustus 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Kendati demikian, Swan Ti menambahkan, para juri juga melihat banyaknya karya fotografer yang mengangkat masalah sehari-hari. Banyak fotografer mengambil gambar dengan kisah personal yang lebih subtil tapi berkaitan dengan, antara lain, hak hidup, masalah publik, dan stigmatisasi. “Seperti masalah stigma soal demensia itu, kelompok LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer), orang dengan HIV/AIDS, dampak dan perjuangan orang dengan kanker, dampak perubahan iklim yang makin merusak,” tuturnya.

Swan Ti juga mengatakan saat ini kemajuan teknologi dengan kecerdasan buatan (AI) menjadi tantangan yang dihadapi di dunia foto dan jurnalis foto. Kategori format terbuka menjadi ajang untuk menampung ide-ide tersebut. Ia mencontohkan karya terpilih dari Australia, berjudul “A Lost Place”, tentang kebakaran hutan dan evakuasi penduduk berkali-kali. Sang fotografer menorehkan tinta berwarna oranye merah tembaga dan mereproduksinya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Yang Mengharukan dan Menggugah: Foto-foto Jurnalis Terbaik Tahun Ini"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus