HARRY Roesli menggebrak lagi. Pertunjukan yang digelar tiga malam pekan lalu di Bandung itu bisa disebut sebagai pernyataan bahwa pemusik garda depan ini telah "berubah" dari gaya penampilan musiknya yang selama ini menggebrak. Dari judul pergelaran itu sendiri, Off the Record II, orang sudah bisa menebak apa yang hendak disuguhkan, yang tak jauh dari kritik-mengkritik. Ia memang berusaha memoles kembali karya multimedia sebelumnya, dengan judul sama, yang dipentaskan tiga tahun silam di Jakarta. Apa yang berubah? Setidaknya ia tidak lagi menggelora tapi lebih lembut, tidak lagi mengungkapkan ekspresi dengan menampilkan yang serba verbal tapi cukup dengan perlambang. Ia memoles, memperindah, kembali memperhatikan harmoni. Tapi tidak berarti ia meninggalkan ciri khasnya: menghidupkan musik dengan membetotnya dari partitur dan mengaduknya dengan seni rupa, teater, tari, puisi, folklor. Dengan begitu, sebetulnya ia lebih tampak sebagai orang teater -- yang mengeksploitasi musik sebagai unsur utama dalam berekspresi. Atau sebagai dalang yang juga melemparkan kritik sosial lewat goro-goro punakawan, mengemas seni pertunjukannya dengan berbagai unsur teater, puisi, musik, seni rupa. Bedanya, dalang wayang tradisional bisa mengantongi jutaan honor, sedangkan Harry Roesli kesulitan sponsor. Setingnya memang selalu mengesankan pementasan teater modern. Pada pementasan di Bandung itu, ada pesawat telepon -- sebagai gambaran "budaya telepon" untuk memperingatkan media massa mengenai berita yang off the record -- keyboard, dan layar monitor komputer. Ada pula beberapa benda dekorasi lain seperti tiga lengan warna biru dan sebuah layang-layang warna putih, juga ada kerangka manusia. Ada dua patung besar dengan topeng-topeng warna-warni. Pertunjukan ini dibuka dengan pembacaan puisi. Baris-barisnya menjelaskan apa maunya pementasan Harry. Dengarlah, misalnya, kesenian perlu otoritas dan kebebasan keadilah adalah bunyi siulan yang panjang nilai-nilai kemanusiaan selalu tercampakkan diinjak-injak orang-orang bersepatu hitam manusia-manusia sudah dalam proses pembebekan diternakkan di lembaga-lembaga kehormatan. Sang deklamator lantas merobek puisinya dan mencampakkannya ke arah sang patung. Mungkin tanda kekesalan. Mana musiknya? Harry bersama tiga pemain lain berpakaian serba hitam duduk di belakang keyboard. Mereka menyuguhkan musik yang dimainkan dengan teknik komputer yang disebut "triger suara". Dengan memencet tombol-tombol, keluarlah bunyi -bunyian aneh yang membangunkan bulu kuduk, yang mengesankan seolah penonton berada di sebuah lorong yang dalam, gelap, berliku. Teror suara ini dilengkapi permainan efek bayang-bayang siluet di layar. Lalu tampak bayangan seorang wanita menari. Lalu muncul seekor naga. Mulutnya menganga, mencari mangsa. Penari itu dicaplok bulat-bulat, begitu pula manusia lain dan barang-barang: kompor, pohon, rumah, pabrik. Mungkin Harry ingin menyindir konglomerat atau praktek monopoli. Adegan ini ditimpali dengan brang-breng-brong murik rock. Pada adegan berikutnya, Harry duduk, di sampingnya sekaleng kerupuk. Ia ngobrol dengan penonton. Tiba-tiba saja seorang lelaki naik sepeda melintas di depan penonton. Kemudian terjadilah dialog yang akhirnya menyindir Undang-Undang Lalu Lintas, yang belakangan ini banyak dibicarakan orang. Ketika penonton tertawa mendengar dialog itu ("semuanya bangkrut karena perusahaan dipegang satu orang"), Harry marah. Katanya, "Saya yang ditangkap, kalian yang senang. Yang saya maksud kan perusahaan kerupuk milik bapak saya". Jadi, mana musik lembut itu? Mungkin seperti yang ia tawarkan dalam kaset Cas-Cis-Cus, Sekuntum Kembang yang beredar dua bulan lalu. Kabarnya, kaset ini dilarang disiarkan di TVRI karena liriknya, yang disusun bersama dramawan Putu Wijaya, dianggap porno. Misalnya, Tua-tua keladi, makin tua makin dicari. Daun muda daun ketimun, makin muda makin ranum. Harry menyangkal lirik itu porno. "Yang porno itu kan kalau bisa merangsang birahi," katanya. Namun, dalam pertunjukan di Bandung itu, ia memang menyuguhkan "musik lembut" -- dengan menggoyang-goyangkan daun pintu hingga suaranya berdenyit-denyit. Inilah yang ia sebut "musik lembut, musik sunyi" -- dan tetap disertai protes, antara lain mengkritik Garuda yang tidak beres dalam pengangkutan jemaah haji. Usai berlembut-lembutan, kembali ia menggebrak dengan musik keras, yang benar-benar ia juluki "musik protes". Setelah itu, tampil beberapa penyanyi membawakan tiga lagu yang liriknya mengandung kritik, seperti semakin banyak manusia perusak budaya. Tiba-tiba telepon berdering, Harry dilarang berkesenian. Terjadi tawar -menawar, dan sang seniman akhirnya hanya diizinkan mengetes mikrofon saja. Tapi, dasar bandel, sembari mengetes mikrofon, muncul lagi protes. Bahkan kemudian para penyanyi membungkam mulutnya sendiri. Lalu muncul tiga orang tentara berpakaian putih. Mulut Harry diplester, ditodong. Lalu, "dor", seniman kita roboh, lantas diangkut keluar panggung, siap dikubur. Ini mah teater, Kang. BSH, Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini