Dari Casius Clay ke Muhamamd Ali MUHAMMAD Ali: "Ibuku seorang Baptis, dan ketika saya besar, ia mengajari segala yang ia ketahui tentang Tuhan. Setiap Minggu, ia mendandani saya, dan membawa saya dan abang saya ke gereja. Ia mengajari kami hal-hal yang dianggapnya benar. Ia mengajari kami supaya mencintai sesama dan memperlakukan siapa pun dengan baik. Ia mengajari kami bahwa berprasangka dan membenci itu salah. Ketika saya beralih agama, Tuhan ibuku tetap Tuhan saya hanya menyebutnya dengan nama yang lain. Dan pandangan tentang ibu saya tetap seperti yang saya katakan jauh sebelumnya. Dia baik, gemuk, perempuan menawan yang suka memasak, makan, menjahit, dan senang berada bersama keluarga. Ia tidak minum, merokok, dan mencampuri urusan orang, atau menggangu siapa pun. Tak seorang pun lebih baik kepadaku sepanjang hidupku, kecuali dia." *** Sejak awal kariernya, Cassius Clay, yang kemudian mengubah namanya menjadi Muhammad Ali itu, dianggap oleh banyak orang sebagai "pemuda kulit berwarna yang baik". Dan bila kemudian ia dikenal sebagai si "mulut besar", Clay mempunyai alasannya sendiri. "Di mana saya akan berada minggu depan," katanya suatu ketika pada wartawan, "jika saya tidak tahu bagaimana caranya berteriak dan membuat publik menaruh perhatian pada saya? Saya mungkin masih miskin, dan terpuruk di rumah, mengelap jendela atau tangga berjalan dan sebentar-sebentar berkata, yes suh, no suh -- yes sir, no sir. Tapi kini saya menjadi salah satu atlet dengan bayaran tertinggi di dunia. Pikirkan itu. Pemuda kulit berwarna dari Selatan menghasilkan satu juta dolar." Cassius Clay adalah seorang kulit berwarna yang membuat kulit putih Amerika merasa nyaman. Sindikat yang mendukung petinju ini semua kulit putih. Kemudian, untuk pertama kalinya, di markas Clay seorang kulit hitam "jenis lain" muncul ke permukaan. Tanda-tanda munculnya "persoalan" pertama kali terjadi pada September 1963. Yaitu ketika harian Philadelphia melaporkan bahwa Clay menghadiri rapat akbar yang diselenggarakan oleh Black Muslims di Philadelphia: "Clay tampak di tengah kerumunan sekitar lima ribu orang yang tengah mendengarkan Elijah Muhammad, pemimpin Nation of Islam, yang selama tiga jam memaki-maki ras putih dan memopulerkan pemimpin-pemimpin Negro. Clay, yang datang ke situ dari Louisville, Kentucky, ada di antara mereka yang mendukung Elijah Muhammad sebagai pemimpin muslim kulit hitam di negeri itu dan di seluruh dunia yang berniat membentuk barisan tangguh untuk menentang kulit putih. Meskipun Clay waktu itu mengaku bukan seorang muslim, ia mengatakan Muhammad seorang yang hebat." Laporan Philadelphia meluas tanpa begitu menarik perhatian. Ketika itu Clay belum menandatangani kontrak untuk bertarung dengan Sonny Liston, dan Nation of Islam, nama asli Black Muslims, masih belum terkenal. Kemudian, pada 21 Januari 1964, Clay meninggalkan kamp latihan dan pergi dari Pantai Miami ke New York. Waktu itulah kontrak merebut kejuaraan ditandatangani. Pertarungan sudah dekat, dan Clay kini bukan sekadar menghadiri rapat-rapat kelompok muslim itu, tapi juga berpidato. Malcolm X mendampinginya. Sampai-sampai surat kabar New York Herald Tribune menulis: "Petinju muda urakan yang merayakan ulang tahun ke-22-nya pekan lalu barangkali bukan pembawa kartu anggota masyarakat muslim. Namun, tak disangsikan, ia bersimpati pada tujuan masyarakat muslim, dan dengan kehadirannya di pertemuan itu ia memberikan gengsi pada kelompok itu. Dialah kulit hitam yang terkenal secara nasional pertama yang mengambil bagian aktif dalam gerakan Islam. Namun, ia belum mengumumkan secara resmi dukungannya pada kelompok Islam. Ia mungkin tidak akan membicarakan topik itu secara terbuka. Ia berbicara tentang pukulan-pukulannya, kecepatannya, penampilannya yang baik, tapi ia bungkam tentang gerakan itu." Cerita itu menghangat. Dua pekan kemudian, berkala Louisville Courier-Journal melansir wawancara dengan Clay tentang kunjungannya ke New York. "Tentu saja saya bicara dengan kelompok Islam," katanya mengaku. "Dan saya akan kembali lagi. Saya menyukai orang-orang Islam. Saya tidak akan mati-matian memaksa diri saya masuk dalam suatu kelompok bila mereka tidak menghendaki saya. Saya menyukai hidup saya. Integrasi itu salah. Masyarakat kulit putih tidak menginginkan persatuan. Saya tidak percaya hal itu bisa dipaksakan, demikian juga orang-orang Islam. Jadi, apa yang salah dengan kelompok Islam?" Pada tanggal 7 Februari 1964, 18 hari sebelum pertarungannya dengan sang juara kelas berat Sonny Liston, artikel di Miami Herald mengutip ucapan ayah Clay, Cassius Clay Sr.: "Anak saya bergabung dengan Black Muslims." Dan inilah pengakuan Muhammad Ali sendiri: "Saya mendengar perihal tentang Elijah Muhammad pertama kali di Turnamen Golden Gloves di Chicago (1959). Kemudian, sebelum saya berangkat ke Olimpiade, saya melihat koran yang diterbitkan oleh Nation of Islam, Muhammad Speaks. Saya tidak begitu memperhatikannya, meskipun banyak hal mampir di benak saya. Ketika saya dewasa, pemuda kulit hitam bernama Emmett Till dibunuh di Mississippi karena menyuiti seorang wanita kulit putih. Emmet seumur dengan saya. Mereka menangkap para pembunuhnya, tapi tidak diapa-apakan. Kejadian seperti ini berulang terus. Dan dalam hidupku, ada tempat-tempat di mana saya tidak bisa masuk, tempat-tempat di mana saya tidak bisa makan. Saya memenangkan medali untuk Amerika Serikat di olimpiade, dan ketika saya pulang ke Louisville, toh saya tetap diperlakukan sebagai Negro. Sejumlah restoran tak mau melayani saya. Beberapa orang tetap memanggil saya boy. Kemudian di Miami (pada tahun 1961), ketika saya latihan, saya bertemu dengan pengikut Elijah Muhammad bernama Kapten Sam. Ia mengundang saya ke pertemuan, dan setelah itu hidup saya berubah. Selama tiga tahun, sampai saya bertarung melawan Sonny Liston, saya sering menyelinap ke pertemuan Nation of Islam lewat pintu belakang. Saya tak mau orang tahu bahwa saya di sana. Saya takut bila mereka tahu. Bisa-bisa saya tak diizinkan bertarung untuk merebut gelar juara. Belakangan saya belajar berani berdiri di atas keyakinan saya sendiri. Waktu itu keyakinan saya telah berubah. Saya tidak percaya pada Tuan Yakub dan pesawat ruang angkasa lagi. Nurani dan jiwa tidak berwarna. Saya tahu itu juga. Elijah Muhammad orang baik, meskipun ia bukan utusan Tuhan, kami anggap ia seorang utusan. Jika kamu lihat persoalan kelompok kami saat itu, kebanyakan dari kami tidak punya rasa percaya diri. Kami tidak punya bank dan toko. Kami tidak punya apa-apa meski telah tinggal di Amerika ratusan tahun. Elijah mencoba mengangkat kami dari got. Ia mengajari orang berpakaian yang pantas, hingga tidak kelihatan seperti pelacur atau germo. Ia mengajari cara makan yang baik, dan bagaimana menjauhi alkohol dan obat bius. Saya rasa ia salah ketika bicara tentang iblis putih, tapi sebagian yang dilakukannya membuat kami merasa nyaman sebagai kulit hitam. Jadi, saya tak menyesali yang saya yakini sekarang ini. Saya lebih bijaksana kini, tapi juga banyak orang lain." Selama tahun 1961, Kapten Sam Saxon menjadi pemain tetap di tempat latihan Fifth Street. Ia tampak mendampingi Clay dalam perjalanan ke luar kota. Kemudian, awal tahun 1962, Jeremiah Shabazz menyediakan koki muslim untuk memastikan bahwa makanan si petinju sesuai dengan aturan makan Nation of Islam. Di penghujung tahun itu, tanpa diketahui oleh pers, untuk pertama kalinya Clay pergi dari Miami ke Detroit untuk mendengarkan pidato Elijah Muhammad dalam sebuah pertemuan massa. Perjalanan itu bertambah penting karena di Detroit Clay bertemu dengan Malcolm X. *** Sebelum 25 Februari 1964, tampaknya hampir segala yang dilakukan Cassius Clay sesuai dengan konteks membangun nilai-nilai kulit putih. Ia bukan kulit putih, tapi ia "yang terbaik setelah itu". Tinggi, ganteng, jenaka, menarik: seorang pemuda baik-baik yang punya ambisi kuat dalam hidupnya untuk menjadi orang kaya dan juara tinju kelas berat dunia. Beberapa orang menduga jika Clay melihat wajahnya sendiri di kaca ia akan bergumam "I'm so pretty," seperti syair permulaan sebuah lagu yang temanya adalah "hitam itu indah". Memang, pada awal Maret 1963, majalah Ebony menyatakan bahwa "Cassius Marcellus Clay adalah sebuah ledakan kebanggaan rasial. Dia adalah kebanggaan itu sendiri yang tak pernah mengenakan topeng kulit yang diputihkan dan rambut palsu. Kebanggaan yang hangus oleh kenangan berjuta anak-anak berwarna." Namun, Ebony adalah majalah orang kulit hitam dengan pembaca terbatas, dan pendapatnya segera tenggelam dari cakrawala Amerika. Bagi orang Amerika kulit putih, Clay bagaikan mainan yang agaknya bisa diapkir segera setelah nilai hiburannya memudar. Tapi kemudian persoalan mulai menjadi rumit. Suatu pagi, setelah kemenangannya melawan Sonny Liston, juara baru itu muncul di konperensi pers di pantai Miami. Ya, ia gembira menjadi juara kelas berat. Tapi tidak, ia tidak terkejut muncul sebagai pemenang. Ia mencundangi Liston semata karena ia petinju yang lebih baik. Untuk pertama kali dalam sejarahnya sebagai petinju, suaranya melunak. "Saya akan berterus terang," katanya pada pendengarnya. "Yang harus saya lakukan adalah menjadi seorang lelaki baik yang bersih." Kemudian muncul pertanyaan ini: "Apakah Anda pemegang kartu anggota Black Muslims?" "Pemagang kartu? Apa maksudnya?" sahut Clay. "Saya percaya pada Allah dan perdamaian. Saya tidak mencoba melangkah masuk ke rumah tetangga yang kulit putih. Saya tidak ingin kawin dengan wanita kulit putih. Saya dibaptis ketika berumur 12 tahun, tapi saya tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Saya bukan Kristen lagi. Saya tahu ke mana tujuan saya, dan saya tahu kebenaran, dan saya tidak harus menjadi seperti yang kalian inginkan. Saya bebas melakukan yang saya kehendaki." Pernyataan tegas itu sempat membuat orang bungkam. Tapi tampaknya pernyataan itu masih meragukan bagi sementara orang. Maka, pagi berikutnya, di pertemuan pers kedua, Clay berpidato, berusaha menghilangkan keraguan itu: "Sebutan Black Muslims itu datang dari pers. Itu bukan nama yang sah. Nama yang betul adalah Islam. Islam artinya damai. Islam adalah agama, dan 750 juta orang pemeluknya di seluruh dunia. Saya adalah salah satu di antara mereka. Saya bukan seorang Kristen. Saya tidak bisa menjadi Kristen, jika melihat semua orang kulit berwarna yang berjuang untuk menggalang persatuan akhirnya hancur lebur. Mereka dilempari batu dan digigiti anjing. Gereja mereka diledakkan, dan pelakunya tidak pernah ditemukan. Saya ditelepon setiap hari. Mereka menginginkan saya memberi isyarat. Mereka menginginkan saya masuk ke garis depan. Mereka mengatakan supaya saya mengawini perempuan kulit putih untuk menggalang persaudaraan. Saya tak mau dihancurkan. Saya tak mau hanyut dalam selokan kotor. Saya hanya ingin bahagia menurut cara saya sendiri. Orang mencap kami sebagai kelompok yang dibenci. Mereka mengatakan kami mau mengambil alih negeri. Mereka mengatakan kami komunis. Itu tidak betul. Pengikut-pengikut Allah adalah orang terbaik di dunia. Mereka tidak membawa-bawa pisau. Mereka tidak memikul senjata. Mereka salat lima kali sehari. Wanita-wanitanya berpakaian yang menutup sampai menyapu lantai dan mereka tidak berzinah. Yang mereka inginkan hanya hidup dalam damai." *** Inilah pengakuan Muhammad Ali, bagaimana ia sampai tertarik pada Black Muslims: "Pertama kali saya merasa tersentuh batin saya, ketika saya berjalan ke masjid di Miami. Seorang pria bernama Abang John sedang bicara, dan kata-kata pertama yang saya dengar adalah: 'Mengapa kita disebut Negro? Itukah cara orang kulit mengaburkan identitas kita? Jika kamu melihat seorang Cina, kamu tahu ia datang dari Cina. Jika kamu melihat orang Kuba, ia berasal dari Kuba. Jika kamu melihat seorang Kanada, kamu tahu ia orang Kanada. Lalu, di mana ada negeri bernama Negro?' Kemudian Abang John melanjutkan, 'Kita bahkan tak punya nama sendiri. Lalu saya berkata pada diri sendiri, mengapa dia berkata begitu. Saya punya nama. Tapi saya tetap mendengarkannya, dan ia menjelaskan, 'Jika Tuan Chang muncul, kamu tahu ia orang Cina. Kalau tuan Goldberg muncul, kamu tahu ia Yahudi. Tuan O'Reilly seorang Irlandia. Bulan Perak dan Guntur Bergulung adalah orang-orang Indian. Namun, kalau seorang mengatakan ini Tuan Jones atau Tuan Washington, kamu tidak tahu siapa yang datang. Kita diberi nama oleh majikan kulit putih kita. Jika Tuan Jones punya 50 budak, semuanya disebut Negronya Tuan Jones, dan menamakan mereka dengan nama sang tuan. Lalu, kalau Tuan Washington membeli budak-budak itu, mereka menjadi Negronya Tuan Washington, dan nama mereka diganti dengan namanya. Kini saya menjadi paham . . .. Jadi, saya suka apa yang saya dengar, dan ingin belajar lebih jauh lagi. Saya mulai membaca surat kabar milik Black Muslims, Muhammad Speaks, setiap minggu, menghadiri pertemuan-pertemuannya, dan mendengarkan piringan hitam pemberian mereka yang berjudul 'Surga Orang Kulit Putih adalah Nerakanya Orang Kulit Hitam'. Saya menaruh hormat pada Martin Luther King dan pemimpin-pemimpin organisasi hak asasi lainnya, tapi saya mengambil jalan berbeda." Tak lama setelah mulai menghadiri pertemuan-pertemuan, Clay diperkenalkan dengan guru berikutnya -- seorang pria bernama Jeremiah Shabazz. Inilah penuturan Jeremiah Shabazz: "Saya lahir di Philadelphia dan dibesarkan di Gereja Kristen. Ketika umur saya 14 tahun, saya dengar ajaran Islam dari seorang tukang gunting rambut yang pernah dipenjara dengan beberapa saudara muslim di Virginia. Saya tidak pernah mendengar perihal tentang Islam sebelumnya. Yang pernah saya dengar adalah ajaran Muhammad. Ketika saya mendengar ajarannya, meskipun terasa asing, ada nada kebenaran di dalamnya. Sejak tahun 1961, saya pemimpin Nation of Muslims untuk wilayah Selatan, meliputi Georgia, Carolina Selatan, Alabama, Mississippi, Louisiana, dan Florida. Ini daerah kekuasaan saya yang diberikan oleh pemimpin kami, Yang Mulia Elijah Muhammad. Meski mempunyai markas di Atlanta, saya jarang di tempat karena terus berkeliling dari satu kota ke kota lain. Saya tidak ada di sana ketika Cassius Clay datang pertama kali ke masjid. Dan berbeda dengan yang digambarkan dalam film dan buku-buku, Malcolm X bukan guru pertamanya. Orang yang pertama kali mengajarkan Clay tentang Islam dan ajaran Elijah Muhammad adalah pemimpin kami di Miami, Ishmael Sabakhan. Tanggapan Clay sangat baik. Akhirnya mereka menelepon saya di Atlanta untuk mengatakan bahwa ada Cassius Clay di sana. Saya pergi ke Miami seminggu kemudian. Kami mengadakan pertemuan. Clay mengatakan ia menyukai yang didengarnya. Sesuatu yang baru, aneh, tapi benar. Karena itu ia mempertimbangkan secara serius untuk menjadi seorang muslim. Jadi, kami terus bicara, menyarankan agar dia datang dalam pertemuan-pertemuan kami, dan dia mau. Ia memang tidak selalu datang, tapi paling tidak muncul sekali seminggu. Dan yang kami ajarkan berbeda dengan yang dilakukan oleh Martin Luther King. Kami mempertimbangkan kenyataam sehari-hari, bukan menurut cara yang diinginkan oleh semua orang. Yang kami ajarkan padanya pertama kali adalah bahwa Tuhan adalah sosok berkulit hitam. Semua orang juga membayangkan Tuhan berwujud seperti mereka. Orang Cina punya Budha yang seperti orang Cina. Masyarakat Afrika punya Tuhan yang tampak seperti mereka. Orang-orang Eropa punya Yesus. Tapi yang dikatakan oleh orang-orang kulit putih bahwa kami mengajarkan pada dia bahwa kulit putih itu iblis, itu tidak benar. Tidak ada iblis di darat yang tampak. Setan yang kami ketahui berada di awang-awang. Untuk kami, Tuhan itu nyata, setan itu nyata, tempat surga adalah di muka bumi. Kalau kamu mati, tamatlah riwayatmu. Tempatmu di dalam tanah tidak ada neraka di dalam tanah. Neraka itu di sini, di dunia. Dan jika seseorang memperlakukan orang lain seperti orang kulit putih memperlakukan kami tanpa alasan selain karena kulit kami hitam, mereka pastilah setan. Itulah yang membuat mereka menjadi iblis. Mereka membenci kami tanpa dasar . . .. "Jadi, beginilah cara kami waktu mulai mengajari Cassius, dan dia tidak keberatan dengan pernyataan kami bahwa orang kulit putih itu setan. Kadang-kadang ia mengajukan pertanyaan seperti ini: 'Bagaimana dengan bayi? Seorang bayi kulit putih, bagaimana dia menjadi iblis?' Dan saya katakan, kalau singa melahirkan, dia tidak akan melahirkan makhluk lain selain singa juga. Tidak ada singa melahirkan domba." *** Tentang nama Cassius Clay menjadi Muhammad Ali, inilah pengakuan yang bersangkutan: "Mengubah nama adalah salah satu kejadian terpenting dalam hidup saya. Itu membebaskan dari identitas yang diberikan pada keluarga saya oleh para majikan budak. Seandainya Hitler mengubah nama orang-orang yang dibunuhnya, dan seumpama ia tak membunuh mereka tapi menjadikannya budak, setelah perang orang-orang tersebut tentu akan mengganti nama yang didapatnya ketika menjadi budak. Seperti itulah yang kulakukan. Orang mengubah nama terjadi sepanjang massa, dan tidak seorang pun keberatan. Aktor dan aktris mengubah nama. Jika saya mengubah nama saya dari Cassius Clay menjadi Smith atau Jones karena saya menginginkan sebuah nama seperti nama orang Amerika, tidak seorang pun akan menggugat. Saya mendapat kehormatan ketika Elijah Muhammad memberi saya sebuah nama yang benar-benar indah. 'Muhammad' berarti seorang yang terpuji. 'Ali', adalah nama seorang jenderal besar (menantu Nabi Muhammad dan kalifah keempat setelah nabi meninggal). Saya telah menjadi Muhammad Ali selama 26 tahun kini. Lebih lama empat tahun daripada menjadi Cassius Clay." *** NAIK HAJI "SAYA kira saya benar-benar menjadi muslim sejati sekitar 1983. Sebelumnya saya berpikir saya sudah menjadi muslim sejati, tapi ternyata tidak. Sebab, saya mencocokkan agama berdasarkan keinginan saya. Saya melakukan hal-hal yang keliru dan selalu mengejar-ngejar perempuan. Lalu, pada suatu hari, seseorang yang saya hormati bertanya kepada saya, 'Apakah Anda akan bersebadan dengan wanita di tempat ibu Anda dapat melihatnya? Tidak. Apakah Anda akan bersetubuh dengan perempuan di tempat anak-anak Anda dapat melihatnya? Tidak. Lalu mengapa Anda berzina dengan perempuan di tempat Tuhan dapat melihat, karena Tuhan melihat segalanya? Perjalanan haji pertama saya ke Mekah, tahun 1972, betul-betul tidak layak. Orang-orang mengenal saya dan saya berharap dapat menemui semua orang, dan saya tak menghargai tempat saya berada waktu itu. Saya berharap menemukan hal-hal yang ada di Barat. Tapi tak ada es krim, tak ada perempuan bergaun mini, dan tak ada yang mendengarkan nyanyian Chubby Checker. Sekarang saya lebih bijak. Saya lebih banyak belajar. Setiap saat saya pergi haji, hati saya tergetar, dan membuat saya rendah hati bila mengingat keluhuran Nabi Muhammad SAW ketika menerima wahyu dari Allah. "Semua hal yang saya lakukan sekarang saya lakukan demi Allah. Saya pernah menguasai dunia dan ternyata itu tak membuat saya bahagia. Satu-satunya kepuasan sejati datang dari memuji dan menyembah Allah. Waktu berjalan cepat. Hidup ini pendek. Saya melihat anak perempuan saya, Maryam, yang kemarin masih bayi, sekarang sudah dewasa dan akan menikah. Rambut saya penuh uban jika tak ditutup semir rambut. Tuhan tidak memperkenalkan kita untuk kembali ke masa lalu. Menjadi muda kembali. Tapi semakin tua, Anda akan semakin bijak, dan dalam sisa hidup saya sekarang saya merasa telah melakukannya dengan benar. "Setiap hari adalah hari pengadilan bagi saya. Setiap malam, ketika akan tidur, saya bertanya pada diri saya sendiri, "Jika Tuhan menghakimi apa yang saya perbuat hari ini, akankah saya masuk ke surga atau neraka?" Menjadi muslim sejati adalah hal yang paling penting bagi saya. Ini mempunyai arti yang lebih ketimbang berkulit hitam atau berkewarganegaraan Amerika. Saya tak dapat menyelamatkan orang lain, hanya Tuhan yang mampu melakukan hal itu. Tapi saya dapat menyelamatkan jiwa saya sendiri." *** MUHAMMAD ALI SEBAGAI MUSLIM DI luar, udara dingin mencekam. Daun muda baru mulai muncul di musim semi. Tak seorang pun terjaga dari tidur, kecuali si manusia paling terkenal di dunia yang sedang melakukan salat subuh. Ia sendiri saja, beberapa menit setelah fajar mulai menyingsing. Belakangan ia mengatakan, "Kebanyakan orang tidak bersembahyang sampai mereka berada dalam kesulitan. Ketika berada dalam kesulitan, mereka banyak berdoa. Tapi begitu yang diinginkan sudah didapat, sembahyang pun mulai ditinggalkan. Jika seseorang mandi lima kali sehari, tubuhnya akan menjadi bersih. Salat lima waktu menjernihkan pikiran saya." Muhammad Ali lebih banyak menghabiskan waktunya di rumahnya, di daerah pertanian di barat daya Kota Michigan. Tak lama setelah ia membeli rumah, beredar isu bahwa rumah itu bekas tempat tinggal bandit besar Al Capone. Itu membuat salah seorang kolega Ali, Bundini Brown, membuang banyak waktu menggali halaman rumah itu, mencari emas terpendam dengan sia-sia. Rumah yang ditempati Ali dibangun tahun 1920-an. Rumah besar ini terasa nyaman dengan ruang kerja, dapur, dan gudang di lantai dasar. Ruang kerja adalah ruang yang paling sering dipakai, dilengkapi sofa besar, meja kerja, serta pesawat TV 46 inci. Ruang tamu serta ruang makan terletak di lantai dua. Di lantai ini ada serambi tertutup dan dua kamar tidur kecil. Di lantai tiga terdapat empat kamar tidur. Umumnya Ali menjamu tamu di dapur, atau di ruang kerja, kecuali untuk acara yang sangat formal. Setiap hari, usai salat subuh, Ali turun ke ruang kerja. Ia membubuhkan 2.000 tanda tangan setiap minggu. Ia menganggap permintaan tanda tangan dari para penggemar sebagai peluang untuk berdakwah. Beberapa tahun belakangan ini ia telah mengeluarkan Rp 400 juta untuk membeli buku dan pamflet, yang selalu dibawanya ke mana-mana dalam sebuah tas yang besar. "Jika saya memberikan pamflet saja," katanya menjelaskan, "kebanyakan orang akan mencampakkannya begitu saja. Tapi jika saya menandatangani pamflet itu dan membubuhkan nama si penerima, mereka akan menyimpan dan membaca pamflet itu." Selama dua jam Ali membubuhkan tanda tangannya pada pamflet-pamflet dakwah. Pada setiap pamflet ia akan menulis "Untuk", lalu ruang kosong, lalu tulisan "Dari Muhammad Ali". Kemudian pamflet-pamflet itu dimasukkannya ke dalam tasnya. Jika ada penggemar yang meminta tanda tangannya, ia akan menanyakan namanya dan kemudian menuliskannya di ruang kosong pada pamflet serta membubuhkan tanggal di bawah tanda tangannya. "Saya tak bermaksud memuslimkan semua orang," katanya. "Hanya Tuhan yang dapat melakukan itu. Saya sekadar ingin membuka pikiran orang agar berpikir tentang Tuhan dan Islam." Setelah menandatangani 300 pamflet, Ali sarapan roti bakar dan cereal. Lalu ia keluar untuk berjalan-jalan. Beberapa waktu lalu Dokter Denis Cope dari UCLA Medical Center menyarankannya agar berolah raga. Berat Ali ketika itu sempat mencapai sekitar 113 kg. Tubuh yang semula begitu atletis menjadi tambun. Seorang teman berkelakar, "Waduh, Anda lebih berat daripada George Foreman." Akhirnya Ali berjalan kaki dua jam setiap hari, dan ia berhasil menyusutkan berat badannya sekitar 15 kg. Sekitar pukul 11 siang Ali kembali masuk rumah, dan memusatkan perhatiannya pada surat-surat yang masuk. Setiap minggu Ali menerima lebih dari seratus surat, dan semuanya saja ia jawab secara pribadi. Sejam ia sibuk dengan surat-surat, kemudian Ali membuka Quran. Beberapa tahun silam Ali mengaku, "Belum pernah membaca lebih dari 10 halaman buku, yakni buku-buku tentang saya. Saya bukan pembaca dan pengeja yang baik. Wah, saya berharap dapat menjadi pembaca yang lebih baik." Namun kini, karena keinginan keras untuk mempelajari Islam, ia memperbaiki kemampuan membacanya. Kini ia kerap membuka Quran dan mencatat kalimat-kalimat yang menarik minatnya di buku tulis. Ia makan siang bersama (istrinya) Lonnie, lalu salat lohor. Kemudian ia nengendarai mobilnya ke Anrewus University, sebuah sekolah Seventh-Day Adventist, tak jauh dari rumahnya. Ali menikmati bercengkerama dengan para mahasiswa, dan sebaliknya mereka menikmati kehadiran Ali. Begitu ia keluar dari mobil, para mahasiswa sekolah Advent itu segera merubungnya. Para mahasiswa, dosen, karyawan berkulit putih dan hitam, muda dan tua, mengitarinya. Kaum pria ingin menjabat tangannya, dan kaum wanita minta dipeluk. Semua orang minta tanda tangannya, dan Ali memberikannya sambil menyebarkan pamflet dakwah yang telah dibubuhi tanda tangannya pagi itu. Seseorang mengajukan sebuah majalah Sport Illustrated edisi 15 tahun silam. Di kulit muka majalah itu terpampang Ali mengenakan tuksedo dengan bunga merah di dadanya. Ia menanyakan nama si pemilik najalah dan menulis: "Untuk Robert -- hati adalah jala yang menjerat kasih bagaikan seekor ikan -- tersayang, Muhammad Ali." Sejam kemudian pamflet pun habis. Ali terus menandatangani halaman buku atau secuil kertas. Akhirnya ia pergi, dan dalam mobil ia mengaku, "Kadang kala saya berkhayal, coba saya dulu masuk universitas. Para mahasiswa itu tak sadar betapa beruntungnya mereka. Saya bisa menjadi lebih baik jika saya mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan masuk universitas." Di rumah pertaniannya Ali melakukan salat ashar, lalu masuk ke ruang kerja, dan menyalakan TV. Di layar terpampang beberapa ibu yang anaknya masuk dalam kelompok agama sesat. Ali memperhatikannya dengan seksama. Lonnie masuk, dan ia menunjuk pada segumpal permen karet yang menempel di ujung meja dekat sofa, "Muhammad, apa kamu yang menaruhnya di sana?" "Ya." "Rasanya kita pernah bicara soal ini sebelumnya." "Well, seharusnya saya buang permen karet itu di tempat sampah, tapi saya merasa belum selesai. Saya pikir saya masih akan mengunyahnya beberapa kali lagi." Di sisa petang itu para tamu mengalir masuk: tetangga, teman, turis, dan orang asing. Di ujung senja seorang guru pembimbing dari sebuah SMP datang bersama anak lelaki berusia 13 tahun. Kepada Ali diceritakannya bahwa anak itu mempunyai masalah dengan obat terlarang. Ia menyilakan mereka duduk, dan Ali memasukkan kaset ke dalam video. Sebuah film dokumenter tentang Ali muncul di layar TV. Si anak lelaki terkesima melihatnya. Ali juga ikut nonton dan menikmatinya. "Wah, saya hampir tak percaya bahwa saya mengatakan semua itu kepada Sonny Liston," katanya berkomentar. "Saya memang benar-benar tokoh, saya mengguncangkan dunia." Si anak bertanya apakah Ali membenci Sonny Liston. "Saya tak pernah membenci lawan bertinju saya. Dan bahkan saya menyenangi beberapa di antaranya -- Jimmy Ellis, Buster Mathis, Zora Folley. Membenci itu tindakan yang keliru. Sonny Liston, Joe Frazier, George Foreman -- kami semua berada di dalamnya bersama-sama. Itu masa yang indah, kami semua menikmatinya." Kemudian Ali mematikan TV dan berbicara soal obat terlarang kepada anak lelaki itu. Sebuah nasihat klasik -- keyakinan diri, rasa hormat terhadap hukum, prestasi, kesehatan, dan bahwa ada yang menyayangimu. Tapi di akhir nasihat, Ali melakukan sesuatu yang lain. Ia mengatakan, "Kamu tahu di mana saya tinggal. Setiap kali kamu merasa tak berdaya dan merasa perlu makan obat, ambil sepeda dan kayuh kemari. Bawa seorang teman jika perlu. Jika saya ada di rumah, pintu selalu terbuka. Tapi saya tak mau engkau memakai obat terlarang. Ingat, aku ada di sini jika kau membutuhkanku." Setelah si anak lelaki pergi, Ali salat magrib. Kemudian ia kembali menggarap surat hingga waktu makan malam. Lonnie terpaksa memasak air karena, "Muhammad mengosongkan air." Kemudian Lonnie meminta Ali membantu mencuci piring dan gelas. "Saya tak akan mencuci piring dam saya tak perlu melakukannya. Saya sudah makan." "Boleh saja begitu, tapi kamu akan lapar lagi besok." "Saya tak peduli. Saya bisa membuat sarapan sendiri, dan pada saat makan siang kamu sudah memaafkan saya." Ali mencuci beberapa piring lalu kembali nonton TV. "Saya suka rumah pertanian," katanya. "Ketika saya muda, gemerlap cahaya menarik saya. Saya terbiasa melihat orang tua duduk bergoyang di kursi mereka dan saya berpikir bagaimana mereka bisa duduk diam begitu lama. Sekarang saya tahu. Saya suka mendengar kicauan burung di pagi hari sambil memandang rerumputan dan pepohonan. Bertinju saya nikmati pada masa-masanya. Tapi itu hanya awal dari yang ingin saya capai dalam hidup. Di sini, di rumah pertanian ini, saya dapat beristirahat sambil menjalani misi saya -- mengasihi manusia dan menyebarkan kata Tuhan." Pukul 11 malam Ali salat isya, salat wajib kelima di hari itu. Tak lama kemudian, ia tidur. Esok, semuanya berulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini