Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Bagi pembaca majalah remaja Gadis, nama Si Jon adalah maskot.
Si Jon mudah beradaptasi dengan gaya remaja generasi baru dan berhasil ia respons persis dan luwes.
Si Jon terposisi sebagai kartunis remaja yang tiada duanya di Indonesia, sampai sekarang.
JAKARTA yang biasanya berangin dan berhujan, pada Rabu, 5 Februari 2025, terasa panas. Namun, di tengah cuaca yang panas terik, mendadak ada geledek di angkasa. Geledek itu berupa berita: Si Jon, kartunis legendaris tahun 1980-1990-an, meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada yang menyangka Si Jon (baca Si Yon) wafat karena sebelumnya ia tak pernah terberitakan sakit. Itu sebabnya, ketika di laman Facebook sekonyong-konyong muncul foto tanah makam basah berpatok kayu bertulisan “inalillahi wainnailaihi rajiun: Soeryono bin Sutadi”, banyak orang bertanya-tanya. Benarkah Soeryono di situ adalah Si Jon?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makam yang ditaburi bunga putih, kuning, dan merah itu terletak di San Diego Hills, Garden Unity Wisdom Nomor 8, Karawang, Jawa Barat. Lalu tergumamlah kata-kata: betapa sang kartunis hebat telah pergi dengan cepat. Artinya, tanpa gelagat, tanpa tanda, tanpa isyarat.
Si Jon alias Soeryono, 1952-2025. Dok. Rahandono WS
Bagi pembaca majalah remaja Gadis, nama Si Jon adalah maskot. Dalam setiap penerbitan, kartun dan ilustrasi Si Jon selalu berserakan di hampir setiap halaman. Garis-garisnya yang lincah dan terarah membentuk figur-figur yang senantiasa bergerak dinamis. Di antara figur yang menjadi subyek kartunnya, acap muncul gambaran sosok lelaki gondrong, sering bernasib sial, dengan ditemani seekor anjing kampung bercelana cancut. “Banyak yang menduga figur lelaki itu adalah saya,” katanya. Padahal, ... iya. Selepas dari majalah Gadis, ia mengartun di majalah MODE.
Sebagai kartunis majalah remaja selama puluhan tahun, Si Jon mampu beradaptasi. Munculnya ulah dan gaya remaja-remaja generasi baru berhasil ia respons dengan persis dan luwes. Padahal usia Si Jon sendiri pada akhirnya sudah melompat jauh dari kategori muda. Kemampuannya dalam beradaptasi untuk dua-setengah dekade remaja ini menjadikan Si Jon terposisi sebagai kartunis remaja yang tiada duanya di Indonesia, sampai sekarang.
Itu sebabnya, pada 1990-an, kritikus seni rupa Bambang Bujono mendorong agar Si Jon diberi penghargaan oleh lembaga setingkat Kementerian Pendidikan. “Kartun dan karikatur Si Jon selalu menuntun dan menghibur remaja, jutaan jumlahnya. Dengan ribuan gambar ia mendidik,” ujarnya. Namun, sampai wafatnya, penghargaan itu tak kunjung tiba sehingga statusnya cuma “ngarep.com” belaka.
Si Jon lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 12 Juli 1952. Ayahnya, Raden Soetadi, adalah pegawai PN Perkebunan Surakarta. Namun, di samping mengurus tembakau dan tebu, sang ayah melukis. Dari sinilah Si Jon belajar. “Dulu para amtenar sering melarang anaknya jadi seniman, tapi ayah saya tidak. Saya justru disuruh jadi tukang gambar. Ayah bilang, jangan takut melarat. Yang patut ditakuti itu cuma anjing gila!” Pada kurun waktu kemudian, Si Jon tahu bahwa “anjing gila” itu adalah koruptor, politikus gelap, dan pengusaha patgulipat.
Ketika remaja, Si Jon sudah membuat kartun dan ilustrasi untuk koran dan majalah. Bahkan ia jadi ilustrator penerbit buku stensilan ilegal. Selulus SMA, ayahnya menyarannya masuk Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. “Tapi saya takut digunduli dalam pekan orientasi mahasiswa,” katanya (Apa dan Siapa—Sejumlah Orang Indonesia, 1993-1994, Tempo-Grafiti Pers). Ia memang pemuja gondrong, bahkan sampai di ujung hayatnya.
Si Jon lantas mengadu nasib di Jakarta pada 1973. Di kota besar ini ia menjadi desainer di penerbitan dan biro reklame Top Metropolitan, tapi hanya bertahan beberapa bulan. Ia bersemangat ketika majalah Gadis merekrutnya sebagai ilustrator. “Saya diberi kebebasan. Yang penting, koridornya remaja. Apa boleh dikata, saya harus terus-menerus menjadi remaja,” tuturnya.
Kartun Si Jon tentang perampok yang kelaparan. Dok. Agus Dertmawan T
Beberapa tahun kemudian, kartun dan ilustrasi Si Jon telah menjadi maskot majalah Gadis. Maka, kala itu, tanpa gambar Si Jon, majalah Gadis dianggap cuma omon-omon. Si Jon pun jadi idola remaja. Buktinya, ketika pada suatu kali Si Jon berpameran kartun dan ilustrasi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ratusan remaja putri datang dalam sehari. Mustika, pengurus TIM, mengatakan, “Di TIM, hanya pameran Basoeki Abdullah dan Mas Si Jon yang dijubeli pengunjung.” Kesialan yang kerap menimpa tokoh kartunnya tampak berbanding terbalik dengan kenyataannya.
Di majalah Gadis, selama 11 tahun saya duduk bersebelahan dengan Si Jon. Ia tidak banyak omong. Tapi, sekali nyeletuk, lucu. Dan, sebelum orang lain merespons, ia sudah ngguyu meledak lebih dulu. Untuk kemudian sontak terdiam lagi sambil mencoretkan Rapido dengan teliti.
Di majalah Gadis, kami membuat rubrik karikatur sosial di kolom Keranjang Humor. Idenya kadang dari saya, dan ia mengembangkan dalam gambar. Pada suatu kali Si Jon menggambarkan wanita sosialita sedang memakai busana aneh-aneh, dengan disemati peniti besar yang bentuknya melengkung lunglai. Karikatur berjudul “Peniti Lemas” itu memparodikan event pemilihan busana para sosialita Indonesia yang dianggap paling gaya. Pemenangnya disemati lencana “Peniti Emas”.
Atas karikatur itu, Si Jon dan saya dipanggil oleh Pia Alisjahbana, Pemimpin Redaksi. Kami ditegur keras. “Kalian tahu enggak, penerima anugerah Peniti Emas tahun ini adalah Rose!” Kami terkejut. Rose adalah petinggi di Grup Femina, induk majalah Gadis. Dan ia adalah istri pemilik perusahaan yang memasok iklan di majalah Gadis. Rubrik itu pun dibekukan untuk beberapa edisi.
Kartun Si Jon yang mengilustrasikan dengan jenaka esai penciptaan puisi gelap. Dok. Agus Dermawan T
Namun, meski duduk bersebelahan, saya jarang bicara soal konsep kartun dan karikaturnya. Aneh, ya. Dan saya baru sempat melakukan wawancara “formal” ketika ia sedang berpameran tunggal atau bersama.
Saya bertanya, apakah kartunnya selalu muncul dari ide yang lucu? Ia menjawab kartunnya bisa berawal dari ide yang tidak lucu. “Lihat ilustrasi kartunal saya yang diberangkatkan dari artikel ilmiah atau semi-ilmiah. Tapi ada kartun saya yang bentuknya tidak lucu, tapi idenya sesungguhnya sangat lucu. Ini karena saya menganut konsep Tomi Ungerer, si kartunis porno itu,” jelasnya. Oleh Si Jon, porno dianggap lucu.
Saya bertanya, apakah benar kartunnya merupakan blasteran Solo (Jawa) dan Barat? Lihat tokohnya yang sering mengenakan belangkon, bercelana jeans, serta hidungnya mancung seperti Pak Meneer. Ia menjawab, “Ini bukan karena orang Eropa pernah menjajah kita 350 tahun, melainkan karena kitab kartun Eropa dan Amerika yang jauh menjelajah ke perpustakaan saya. Lihat Mad, Lampoon, Crazy, Cracked, Charlie Brown, atau Beat Beat Beat-nya William F. Brown. Dan soal hidung, itu bukan mancung, melainkan besar. Bukankah orang Indonesia suka membangga-banggakan diri sehingga hidungnya sering mekar?”
Saya bertanya apakah tokoh kartun perempuan berkebaya yang ugal-ugalan adalah cermin dari pemberontakannya atas tradisi Jawa yang ketinggalan zaman? Ia menjawab dirinya lahir dari kebiasaan ndoro-ndoroan, tradisi ningrat yang mempertuankan orang secara berlebihan. Ia tidak cocok dengan feodalisme itu lantaran bisa melahirkan imajinasi liar, seperti rakyat jelata seolah-olah merasa bisa jadi Raja Jawa.
Saya bertanya lagi, apakah karya kartun perlu orisinal. Ia menjawab: perlu juga. Ia lalu melontarkan kritik. “Karya Dwi Koen berada di antara Jack Davis dan Mort Dweker. Trisakeh terlalu dekat dengan Paul Peter Porges. Saya sendiri pernah terpengaruh James Thurber dan Soglow.”
Pada 2000-an, nama Si Jon mendadak raib dari kancah perkartunan. Karyanya pernah sesekali muncul di koran, tapi kemudian lenyap. Tapi saya tahu ia masih tenteram tinggal di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Pada 2007 Jakarta tenggelam, dan Kelapa Gading menjadi lautan selama tujuh hari. Saya menelepon Si Jon agar, kalau kebanjiran, mengungsi saja di rumah saya, yang kebetulan tinggi posisinya. Tapi tak berjawab. Ia menghilang. Sampai kemudian ia mengabarkan sudah pindah ke apartemen. Tapi sejauh itu karyanya tidak ada di mana-mana. Sekali-sekali sosoknya muncul dalam perhelatan yang diadakan oleh para sobatnya, mantan anggota Gelanggang Remaja Jakarta Selatan (Garajas) Bulungan. Dan namanya sesekali nongol di laman WAG dan Facebook.
Sekitar sepuluh tahun lalu ia mendadak datang ke rumah. Si Jon membawa undangan anaknya yang akan menikah. Karena lama tidak berjumpa, kami berceloteh sengit sambil terbahak sepanjang belasan menit. Ketika ia pamit, ia melihat mobilnya sudah dijungkit bagian depannya oleh mobil derek. “Bapak ikut ke kantor, untuk membayar denda,” kata petugas.
Saya membela Si Jon dan memprotes tukang derek yang terburu-buru. Tapi tukang derek kembali menukas, “Kalau tidak terima, silakan memprotes ke Gubernur Ahok!” Si Jon menyerah, saya mati kutu. Si Jon akhirnya duduk di belakang setir mobil yang diderek terjungkit itu. Dalam perjalanan penderekan, dari balik jendela mobil, ia dengan ceria melambaikan tangan. Ia mengaku, dari dalam mobil itulah ide-ide kartun remajanya selalu jalan.
Sekarang mobil kartunis yang telah menuntun dan menghibur jutaan remaja itu diderek oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Untuk didudukkan dengan nyaman di kantor-Nya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo