AKHIRNYA ketiga film produksi Pusat Produksi Film Negara (PPFN)
lolos juga. Panitia Festival Film Indonesia (FFI) 1980 --
setelah pekan lalu menerima surat Dirjen Radio, Televisi dan
Film -- segera memberi lampu hijau kepada juri untuk menilai
ketiganya sebagai film cerita.
Film Harmonikaku dan Yuyun, keduanya karya sutradara Arifin C.
Noer, dan Si Pincang (sutradara Kadirman) semula ditolak
mengikuti FFI di Semarang pekan ini. Sebab ketiganya ternyata
menggunakan izin produksi film bukan cerita (dokumenter). "Kami
harus cermat dan teliti dalam soal prosedur, dan perizinan,"
kata T.B. Maulana Husni, Sekretaris FFI. "Yang tidak menaati
aturan main tentu saja ditolak."
Hal ini hanya merupakan keteledoran administrasi, yang baru
diketahui panitia menjelang saat terakhir penilaian. Dirjen RTF
Drs. Sumadi yang mengabulkan permohonan izin produksi itu,
menurut panitia FFI, sudah menyatakan maaf atas kekhilafannya.
Juga Direktur PFN, Drs. fron Dwipayana, mengaku khilaf.
Film Cerita
Menurut Dwipayana, permohonannya semula memang dimaksud untuk
produksi film cerita, bukan film dokumenter. Tapi karena
biasanya PPFN membuat film dokumenter, baik Direktur PPFN maupun
Dirjen RTF, sampai khilaf meneliti materi permohonan tadi.
"Kesalahan administrasi ini kami akui," kata Atmoko, Sekretaris
Dirjen RTF.
Kalau tidak segera dijernihkan, FFI pekan ini pasti akan
berakhir dengan keributan. FFI 1978 di Ujungpandang pernah
hampir ricuh gara-gara aktor pemenang Citra, Kaharuddin Syah.
Ketika festival berakhir, dan ia dinyatakan sebagai aktor
terbaik, baru diketahui ia tak mengisi suaranya sendiri. Sedang
seharusnya aktor bersangkutanlah yang mengisi suaranya.
Berbeda dengan FFI 1979 di Palembang, FFI di Semarang tampak
dirundung keprihatinan. Panitia sekali ini hanya mampu
mengumpulkan dana Rp 30 juta, dibanding pembiayaan di Palembang
Rp 70 juta. Sedang tahun ini pesertanya: 41 film cerita dan 12
film dokumenter, dibanding yang di Palembang 38 film cerita dan
14 film dokumenter. "Bagaimana kelak hasil kerja kami dengan
dana tipis, silakan dinilai nanti sesudah festival berakhir,"
kata Soekarno M. Noer, Ketua FFI 1980.
Apa yang menarik kali ini? Berbeda dengan festival terdahulu,
tahun ini setiap penerima piala Citra akan menerima perangsang
Rp 7,5 juta dari Dewan Film Nasional. Pembagiannya: Rp 5.25 juta
untuk produser, dan Rp 2,25 juta untuk artis atau karyawan yang
memenangkan Citra. Film terbaik juga memperoleh perangsang Rp
7,5 juta. Dengan pembagian Rp 3,75 juta untuk produser, dan Rp
3,75 untuk karyawan dan artis pendukung film tersebut.
FFI Semarang merupakan babakan baru bagi PPFN. Selain ketiga
film cerita di atas, ia juga menyertakan sebuah film semi
dokumenter Sinila, Peristiwa Gunung Dieng (sutradara Kornain
Suhardiman). "Kami tidak berambisi untuk menang," kata
Dwipayana.
PPFN tampaknya sedang berusaha memulihkan kembali nama besar
yang pernah dimilikinya. Ketika masih bernama Perusahaan Film
Negara tahun 50-an, ia dikenal sebagai wahana yang menghasillin
film bermutu.
Dalam tahun anggaran 1980/81, dengm dana Rp 1,9 milyar, PPFN
merencanakan memproduksi sekitar 100 judul film, baik film
cerita maupun dokumenter. Itu berarti sekitar Rp 20 juta untuk
setiap judul film yang akan diproduksinya. Biasanya produksi
sebuah film dengan bintang-bintang sedang memerlukan biaya Rp 50
juta. Bandingkan, misalnya, dengan biaya Rp 375 juta yang
ditelan film Janur Kuning.
Mampukah PPFN dengan dana kecil? Terbukti Harmonikaku, film
ceritanya yang pertama, sudah memasukkan uang Rp 30 juta lebih
dalam masa edar yang relatif singkat. Film anak-anak itu antara
lain dibintangi Sofia W.D., Nani Widjaja dan W.D. Mochtar --
memang menyedot banyak penonton. Malaysia, menurut Dwipayana,
sudah memesan Harmonikaku.
PPFN juga menjagokan film Yuyun sebagai tak kalah hebat. "Secara
jujur produksi PPFN harus dianggap sebagai tantangan bagi
perfilman nasional," kata Dwipayana.
Kini PPFN sedang menyelesaikan film serial boneka untuk
anak-anak. Film itu berdasar ide cerita Kornain Suhardiman dan
dikerjakan Suryadi. Direncanakannya film serial itu mulai
September mengudara lewat TVRI. Sekalipun dianggap tidak
komersial, Dwipayana yakin anak-anak akan tertarik pada serial
baru itu.
PPFN juga masih setia memproduksi film Gelora Pembangunan yang
diedarkan ke bioskop-bioskop. Tapi entah karena apa, film yang
memamerkan otot proses pembangunan itu sudah lama tak muncul di
bioskop Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini