Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kejutan-Kejutan H.B. Jassin

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak paruh pertama tahun 1950-an, saya sudah bersurat-suratan dengan H.B. Jassin. Tepatnya ialah sejak cerita pendek saya yang berjudul Pendurhaka dimuat di majalah Kisah 1).

Setiap kali majalah itu terbit, cerita yang dimuat di halaman depan mendapat sorotan. Artinya, cerita itu dikupas serta dibahas oleh Redaksi. Saya tidak tahu apakah mendapat sorotan juga berarti mendapat nilai tambah. Bagi saya, bila karya tulis saya diterbitkan, sudah sangat menyenangkan. Dan kesenangan itu beralasan dua hal, yaitu karena saya akan menerima honorarium. Ini amat saya butuhkan sebagai anak seorang janda tanpa santunan. Hal yang kedua ialah karena akan banyak orang yang membaca karangan saya. Setidak-tidaknya tulisan itu akan lebih tersebar daripada jika hanya saya bacakan di depan kelompok kami, Kuncup Seri, di Semarang. Karena itu, ketika Pendurhaka disorot oleh H.B. Jassin, saya tidak merasa diri istimewa.

Bagaimanapun, H.B. Jassin saya anggap sebagai warga sastra dari golongan senior yang patut dihormati, seperti halnya Asrul Sani, almarhum Chairil Anwar, atau Armjn Pane. Tetapi mereka hanya saya kenal melalui karya-karyanya. Sedangkan H.B. Jassin saya kenal melalui surat-menyurat.

Oleh sebab yang terakhir itulah, pada bulan Juli tanggal 31, mengikuti perkenalan saya dengan Saudara Jassin, dengan pertolongan seorang saudara di Jakarta, saya mengirim kartu ucapan selamat ulang tahun ditemani satu karangan bunga yang dibayar oleh paman saya.

Konon pengiriman bunga tersebut digunjingkan oleh para pengarang muda di Jakarta. Perbuatan tanpa pamrih itu ditafsirkan negatif oleh orang-orang yang berwawasan sempit. Mengirim hadiah kepada teman pada ulang tahunnya atau di saat-saat penting lainnya sudah membudaya dalam keluarga kami. Karena saya tidak tahu benda atau barang apa yang kemungkinan bisa dihargai penerimanya, saya menganggap karangan bunga sebagai pemberian yang netral, bahkan bagi penerima pria sekalipun. Sebab, keluarganya, lebih-lebih istrinya, tentulah menyukai bunga.

Untunglah saya tidak pernah menggubris omongan orang. Apalagi, dari kesukarelaan paman saya yang mau membayari harga pengiriman bunga tersebut, saya mengerti bahwa dia menyetujui perbuatan saya. Kemudian tiba masa liburan setelah ujian SLTP. Saya lulus dan sudah mendaftarkan diri ke SMA Sastra di Semarang. Paman mengundang saya agar melancong ke Ibu Kota. Dia mengirimkan biaya perjalanan. Memang, saya tidak bertemu dengan saudara-saudara sepupu saya, anak-anak Paman, selama sembilan tahun, yakni sejak pecahnya perang revolusi kemerdekaan. Paman sendiri sudah berkali-kali datang ke Semarang. Di kala dia dinas ke Jawa Tengah, dia selalu berusaha singgah ke kota kami untuk menengok kakaknya yang perempuan, yaitu ibu kami. Lalu, dari Semarang, dia terbang kembali ke ibu kota RI.

Saya berangkat ke Jakarta 2). Selain sebuah koper, saya juga membawa tas besar yang melulu berisi makanan, terutama buntil 3) dan bandeng. Yang pertama adalah kesukaan paman kami, sedangkan bandeng adalah kekhasan Kota Semarang. Sejak saya masih kecil, saya lihat bahwa siapa pun yang pergi ke luar kota, ibu selalu menyuruh dia membawa pindang ikan sebagai oleh-oleh, dibagikan kepada saudara-saudara atau teman. Di masa itu belum ada bandeng duri lunak. Tetapi, pindang bandeng yang gurih selalu dijual di Pasar Johar, tersedia dari pagi-pagi buta hingga sore.

Pada kesempatan kunjungan saya yang pertama-kalinya ke Jakarta itulah, saya juga bertemu Saudara Jassin bersama keluarganya di Jalan Siwalan Nomor Tiga. Dan tentu saja saya membawa bandeng. Untuk adik-adik Hanibal dan Mastinah, saya tambahkan ganjelril, makanan sejenis bolu. Itu juga merupakan keistimewaan Kota Semarang. Rasanya juga amat gurih karena di atasnya ditaburi wijen dan gula yang digunakan adalah gula Jawa. Karena itu, kue ini berwarna cokelat.

Mulai dari pertemuan itu, Saudara Jassin dan saya menjalin rasa kekawanan yang tulus. Dan ketika saya bekerja di Bandara Kemayoran, setiap kali berkesempatan, saya mengunjungi keluarga Jassin, diantar oleh kakak saya Teguh Asmar. Atau, pada waktu-waktu lain, dengan memanfaatkan kendaraan antar-jemput Garuda yang sering melewati kawasan Tanahtinggi, saya singgah hanya tiga atau lima menit sekadar membawakan oleh-oleh buah nanas dari Palembang, atau apel merah dan pir kuning hadiah dari awak pesawat bangsa asing. Tentu ini sekadar berbagi kesenangan, karena pada masa itu, buah-buah semacam ini sangat langka di Jakarta. Kalaupun ada, hanya dijual di Glodok dengan harga yang sangat mahal.

Semakin lama mengenal Jassin, saya semakin mengerti bahwa kami berdua memiliki beberapa persamaan. Satu di antaranya ialah kami suka mencatat nyaris semua kejadian yang kami alami atau kami ketahui dari dekat. Kami juga suka menyimpan segala sesuatu yang berhubungan dengan tulisan: surat panjang, surat pendek, atau bahkan yang hanya berupa coret-coret di pinggir buku tulis pelajaran ataupun pinggiran surat kabar yang kosong. Pendek kata, semua yang kami anggap bisa bernilai "dokumentasi" selalu kami simpan.

Meskipun demikian, itu tidak berarti bahwa kami selalu mempunyai pendapat sama. Tidak jarang, dalam perbincangan antara Jassin dan saya terjadi ketidakcocokan cara memandang ataupun persepsi. Namun, kami berdua sama-sama sopan dan tidak bersitegang. Dengan suaranya yang lirih, dia mengukuhi pendiriannya. Sedangkan saya, sedari waktu kecil, memang tidak pernah suka berbantah. Saya juga tidak pernah bersusah-payah hendak membuktikan bahwa pendapat saya benar, atau bahwa apa yang saya ceritakan merupakan kejadian sesungguhnya. Saya terlalu percaya bahwa Tuhan mengetahui kebenaran saya itu. Tidak perlu saya repot-repot menghendaki orang lain mempercayai saya pula. Maka, jika Jassin dan saya sampai pada titik itu, kami berdua berusaha mengganti pokok pembicaraan.

Perkenalan saya dengan H.B. Jassin saya anggap sedemikian dekat sehingga pada suatu masa hidup saya, saya merasa perlu mengetahui pendapatnya tentang sesuatu yang sangat pribadi. Walaupun waktu itu saya tinggal sekota dengan dia, saya mengirim surat kepadanya. Saya tanyakan apa pendapatnya tentang kemungkinan saya menikah dengan seorang pria bangsa asing.

Di saat itulah saya dikejutkan oleh Jassin untuk pertama-kalinya. Surat jawabannya sangat manis dan penuh pengertian. Dia tunjukkan betapa wawasannya jauh lebih luas dari yang saya prakirakan3) mengenai perkawinan campuran, terutama mengenai keputusan-keputusan saya jika sampai saya melaksanakannya.

Menjelang tahun 1970, ada seorang saudara yang berangkat ke Jakarta. Dari Prancis, saya titipkan berbagai barang untuk dibagi-bagikan kepada sahabat dan kerabat saya di Jawa. Di antaranya adalah naskah Pada Sebuah Kapal, yang harus diberikan kepada H.B. Jassin lewat kakak saya Teguh Asmar. Pesan untuk Jassin ialah supaya dia mencarikan penerbit.

Begitu menerima naskah tersebut, terjalinlah surat-menyurat yang gencar. Pertama kali Jassin menulis kepada saya agar bagian akhir naskah tersebut diganti. Memang, saya mengerjakan naskah tersebut dengan menyediakan tiga macam bagian akhir, bahkan semula empat kemungkinan. Yang saya kirim ke Jakarta mempunyai akhir yang bersifat agak supernatural. Tokoh Sri mengalami kecelakaan dahsyat. Karena dia tertidur di dalam mobil, dia tidak tahu bahwa dirinya terlibat di dalam tabrakan yang fatal. Ketika mengira dirinya sadar, dia rasakan keringanan yang tidak tertahankan. Dia seolah-olah melayang-layang. Lalu, dia melihat ke arah bawah. Alangkah terkejut dia karena melihat tubuhnya dikerumuni banyak orang. Dia mendengar percakapan. Dari situlah dia mengetahui bahwa yang ada di bawah itu hanyalah berupa jasad tanpa nyawa. Berarti dia sudah mati.

Jassin menganggap akhir cerita itu terlalu mendadak. Dia tidak menyukainya dan menyarankan agar saya mengubahnya dengan menambah peristiwa lain. Pendapat ini merupakan kejutan kedua bagi saya yang datang dari Jassin. Saya anggap dia kurang menghayati cerita. Bukankah banyak kematian yang tiba-tiba di dunia yang fana ini? Dengan kematian tokoh Sri, saya bermaksud mengungkapkan kenyataan bahwa tidak jarang terjadi manusia yang sedang berada di puncak kebahagiaannya mendadak dipanggil oleh Tuhan Yang Mahakuasa.

Bagaimanapun, Jassin telah mengatakan pendapatnya. Kemudian, dia memberikan naskah itu kepada Ajip Rosidi karena pada masa itu Ajip baru saja menjadi Direktur Pustaka Jaya dan konon mencari naskah-naskah untuk diterbitkan. Jassin "disewa" oleh penerbit itu untuk memberikan pertimbangannya apakah suatu naskah patut diterbitkan atau tidak. Dengan sendirinya, dia juga menuliskan pendapatnya tentang Pada Sebuah Kapal.

Setelah membaca naskah itu, Ajip menyurati saya, mengatakan berbagai pikirannya. Di antaranya, dia tidak mau menerima akhir cerita seperti yang saya tulis. Komentarnya: akhir cerita itu seperti jaelangkung saja! Disusul bertubi-tubi datang surat dari Redaksi, ditandatangani oleh Aoh K. Hadimadja. Di antaranya, dia minta supaya perkataan "pada" sebagai judul Pada Sebuah Kapal diganti dengan "di". Meskipun saya tidak suka berbantah, dalam hal judul buku, saya mengukuhi pendapat saya. "Pada" bersinonim dengan "di". Dan sikap "keras kepala" saya itu saya ceritakan kepada Ramadhan K.H., yang tengah berada di Paris. Dia mendukung saya. Katanya, "Teruskan saja! Aoh itu berpandangan kuno. Tentu ia kurang mengerti apa yang Dini maksudkan mengapa memilih kata 'pada' daripada 'di'."

Akhir cerita Pada Sebuah Kapal yang akhirnya dikenal pembaca bukanlah yang bersifat supernatural. Memang, saya akhirnya mendengarkan saran Ajip Rosidi dan Jassin. Dan saya menganggap buku itu sudah selesai.

Jadi, sudah dua kali saya mendapat kejutan dari H.B. Jassin. Dan masih ada lagi kejutan yang lebih menyenangkan, yaitu ketika saya datang ke Jakarta pada 1974.

Waktu itu, suasana batin saya jauh lebih damai dan ringan, sejak dua tahun menjalani perawatan Cobalt 4). Meskipun pada mulanya rambut saya rontok, dalam keseharian, saya sudah mengubah sikap hidup serta cara melaksanakan tugas rutin saya. Saya mematuhi nasihat dokter Bailly-Salin. Satu kali sepekan, saya menyisihkan waktu untuk bersenang-senang mengikuti kepuasan hati saya sendiri. Dengan dana yang amat terbatas, saya bisa "mencuri" waktu untuk mengembara di Paris atau menonton film di gedung bioskop yang terdekat dengan perhentian bus yang datang dari Grigny, tempat tinggal kami.

Secara bergantian, Hélène, Monique, dan saya, kami tiga ibu rumah tangga, bisa menikmati hidup agak normal, berarti tidak terpenjara untuk selalu mengurusi rumah dan anak-anak saja. Di Prancis, rumah tangga yang bisa menyewa tenaga pembantu tidak banyak. Keluarga-keluarga yang berpenghasilan besar pada umumnya mampu membayar jasa femme de ménage, yaitu wanita-wanita yang datang untuk membersihkan rumah. Pada umumnya mereka dibayar secara jam-jaman. Tergantung pada daerah perumahannya, tinggi-rendahnya upah pada masa itu ialah antara 15 dan 40 franc. Itu kira-kira harga satu sampai dua ayam yang siap akan dimasak.

Hélène dan Monique menjemput anak saya yang bungsu, Padang. Anak-anak kedua teman saya itu sekelas dengan adiknya, Lintang. Setelah menjaganya empat jam, tergantung pada harinya, menjelang petang salah seorang teman saya itu mengantar Padang pulang ke Grigny. Dengan pengaturan demikian, kami masing-masing bisa lebih santai menikmati kehidupan beberapa saat tanpa memikirkan anak ataupun rumah tangga. Saya berkelana di Kota Paris atau menonton film. Bahkan, kadang-kadang, pada waktu saya mendapat kiriman atau tinggalan dolar dari seorang teman atau saudara, saya mampu duduk di sebuah rumah makan kecil tapi simpatik. Rasa kejenuhan karena terkungkung oleh tugas-tugas rumah tangga agak memudar ketika saya kemudian kembali lagi ke Grigny. Dan pada hari lain, tiba giliran saya menjaga Pascal dan Luc, anak-anak kedua teman saya itu.

Dulu, sebelum menikah, suami saya berjanji akan memberi biaya pulang kampung paling sedikit setiap dua tahun sekali. Waktu itu, paling akhir saya ke Tanah Air ialah pada 1970, ketika kami tinggal di Filipina. Saya tidak bertemu dengan Jassin sekeluarga. Dalam persinggahan, sebelum balik ke Manila, saya berusaha lagi menemui Jassin di TIM, tapi sia-sia. Sesudah itu, saya tahu dari suratnya bahwa Jassin juga datang ke tempat saya menginap. Tapi saya telanjur berangkat ke bandara.

Sudah empat tahun saya tidak menengok ibu saya dan rumah kami di Sekayu. Maka, ketika saya menyadari bahwa anak-anak telah mapan baik di sekolah maupun di lingkungan Grigny, saya berusaha mencari penerbangan murah ke Asia, sendirian.

Saya mengirim surat kepada teman-teman dan saudara di Jakarta untuk merancang dan merencanakan waktu tinggal saya yang singkat di Jakarta. Tentu saja saya juga menyurati Jassin.

Lalu, pada suatu hari di tahun 1974, saya terbang ke Kopenhagen, menunggu delapan jam untuk meneruskan naik Thai Airways ke Bangkok. Setelah ditambah beberapa jam lagi, saya tiba di Halim Perdanakusumah. Dan untuk menghilangkan kantuk, saya memerlukan lebih dari dua hari. Sementara itu, seorang saudara sepupu sudah menemui Jassin di kantornya di TIM dan menentukan kencan kami.

Menjelang tengah hari yang disepakati, saya ke Taman Ismail Marzuki. Mengikuti petunjuk saudara sepupu itu, saya lewat belakang, tempat terpancang papan nama Pusat Dokumentasi H.B. Jassin. Saya langsung naik tangga dan langsung pula disambut Jassin, yang kebetulan berada di dekat pintu.

Saya lihat Jassin segar dan gembira. Baru kali itu saya menemui dia di tengah koleksi lengkapnya. Di antara ribuan dokumen yang dia kumpulkan sejak puluhan tahun itu, Jassin bagaikan ikan di dalam air. Inilah elemen utamanya yang memberi dia semangat dan sekaligus sangat berguna bagi banyak orang. Betapa nyata Jassin bahagia berada di sana. Dia membawa saya berkeliling, menunjukkan "kekayaan" yang tak ternilai di semua rak dan ruangan.

Karena Lily menunggu kami untuk makan siang bersama keluarga, kami harus segera pergi. Saya berjalan menuruti langkah Jassin, tetapi terheran-heran karena dia tidak menuruni tangga yang telah saya lewati semula. Dia mengajak saya menyeberangi "atap" beton, lalu memasuki bagian gedung lagi di sebelah lain. Setelah melalui tangga lain juga, kami turun. Begitulah kami sampai di pintu keluar. Barulah saya lihat bahwa itu adalah bagian depan gedung, mengarah ke Jalan Cikini Raya.

Saya kira kami akan naik kendaraan umum atau kendaraan kantor yang dibawa oleh sopir. Hampir saja saya tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut ketika saya lihat Jassin mendekati sebuah mobil kecil berwarna merah. Saya sangat bodoh dalam hal mengingat atau mengenali nomor mobil. Beberapa kali saja di Jakarta atau di kota lain di Indonesia, ketika saya dipinjami mobil bersama sopir oleh teman-teman, pada saat akan naik lagi, saya salah memasuki kendaraan orang lain. Kali itu pun saya tidak mengetahui apa merek mobil Jassin. Teman saya itu kerepotan memegangi map-map yang dipelukannya, sambil tangan yang satu sibuk mencari kunci.

Karena tercengang keheranan, saya berdiri saja di arah depan kendaraan sambil memandangi Jassin. "Ayo naik! Beri saya waktu mengatur kertas-kertas ini di belakang. Nanti saya bukakan pintunya!" kata Jassin.

Saya baru sadar sepenuhnya, mendekat serta menolong memegangi beberapa map yang hampir terjatuh lepas dari gendongan teman saya itu. "Mobil ini juga setengah kantor saya," kata Jassin lagi, lalu meneruskan, "Kemana-mana selalu ada map yang saya bawa."

Saya berusaha meluweskan diri, menjawab dan menanggapi kata-katanya. Jassin menyetir sendiri! Alangkah malu saya mempunyai prakiraan buruk hingga terheran-heran melihat dia akan naik kendaraan tanpa sopir. Tentu saja Jassin bisa menyetir! Siapa pun bisa menyetir, asal belajar.

Tetap berusaha santai, saya menyambut pintu yang dibukakan Jassin dari jok di belakang setir. Walaupun demikian, saya tetap berpraduga negatif: apakah dia akan menyetir dengan baik? Bantal di bawah pantatnya diatur, kaca spion dia periksa. Gerakan-gerakan itu pas dan wajar bagi orang yang akan membawa mobilnya. Dan sambil mengerjakan semua itu, Jassin terus berbicara. Saya tetap tidak bisa seratus persen santai. Mata saya terpancang ke depan ketika Jassin mulai menjalankan kendaraan keluar halaman parkir, terus belok kiri di Cikini Raya.

Sejak bisa menyetir, saya gampang sekali cerewet bila menjadi penumpang. Lebih-lebih jika saya duduk di samping sopir! Dan hari itu, baru kali itulah saya mengetahui bahwa Jassin bisa membawa kendaraan, sekaligus saya mengalami "disopiri" oleh dia, ahli sastra senior yang oleh sebagian bangsa Indonesia diakui sebagai kritikus handal! Seharusnya saya merasa bangga karena bersama Jassin, dan dia yang menjadi sopir saya!

Tetapi, justru saya tidak bisa menikmati kebanggaan itu karena saya tetap tegang. Jalan yang kami lalui begitu padat, apalagi setelah memasuki daerah Senen, Tanahtinggi. Sejak dulu, mulai tahun 1957, saya mengenal jalan-jalan itu ketika naik kendaraan antar-jemput Garuda. Tidak pernah saya menemukannya sepi, kecuali ketika kami dinas dini hari atau larut malam.

Ternyata Jassin sudah biasa menghindari berbagai jenis roda dua di jalan-jalan sempit Senen dan Tanahtinggi. Saya sebut nama Allah sambil bersyukur ketika saya disuruh turun di depan rumah Jassin di Jalan Arimbi, sementara dia akan memarkir kendaraannya. Saya selamat. Saya juga gembira karena tak satu kali pun Jassin berbuat kesalahan selama membawa mobilnya.

Itulah salah satu kejutan yang menyenangkan dari Jassin. Setelah itu, ada kejutan-kejutan lain. Tetapi, itu bisa diceritakan pada kesempatan lain pula.

(Diambil dari Catatan Cerita Kenangan, Grigny_Paris, 1970_1980)

Catatan Kaki:

  1. Kisah adalah majalah sastra pada tahun 1950-an.
  2. Baca seri karangan buku Kuncup Berseri.
  3. Surat H.B. Jassin tertanggal 31 Agustus 1957.
  4. Perawatan kauterisasi/pembakaran pada tumor di leher rahim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum