Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Warisan yang Terbengkalai

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hanya papan nama yang nyaris pupus tulisannya itu yang menandakan bahwa gedung itu masih "bernyawa": Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Dengan rumput yang tumbuh tak teratur di halaman, bangunan berlantai dua itu lebih mirip sebuah gudang tua. Padahal, di dalam gedung itu tersimpan ribuan dokumentasi yang menjadi saksi kehidupan sastra negeri ini. Namun, sejak didirikan 24 tahun silam, kondisi pusat dokumentasi sastra satu-satunya di Indonesia itu agak mengkhawatirkan. Mari kita tengok di bagian dalam perpustakaan ini. Pertama, salah satu kesukaan Jassin adalah mengoleksi karya-karya, surat-surat, dan berbagai berita para penulis berdasarkan file nama penulis. Sebagian besar koleksi itu kondisinya sudah memburuk. Kertas-kertasnya terlihat menguning, kumal, dan berdebu. Bahkan beberapa buku terlihat telanjang tanpa sampul. Di pojok lain, kumpulan surat kabar empat tahun yang belum digunting untuk kliping dibiarkan menumpuk. Sedangkan katalog yang disimpan dalam puluhan laci kondisinya juga tak lebih baik. Katalog yang diketik secara manual di kertas karton itu mulai berubah warna, bahkan sebagian di antaranya sudah lecek dan terkelupas. Sejak lembaga ini didirikan pada 1977, katalog itu tidak pernah diganti. Sungguh disayangkan bila pusat dokumentasi ini ini tak terawat setelah kepergian pendirinya. Padahal, dokumen-dokumen yang tersimpan di sana tergolong penting dan berjasa bagi dunia sastra. Salah satunya, misalnya, adalah manuskrip novel Pramoedya Ananta Toer yang masih dalam bentuk tulisan tangan yang dibuat saat Pram berada di Pulau Buru. Kekhawatiran yang beralasan tampaknya. Tapi, apa hendak dikata bila dana yang tersedia amat terbatas. Jangankan untuk membangun sebuah pusat dokumentasi yang lengkap, untuk merawatnya agar lembaga ini tetap bertahan saja sudah bikin kepala pengelolanya pusing tujuh keliling. "Dalam kondisi seperti ini, memang berat," kata Endo Senggono, Ketua Pelaksana Harian Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Sementara itu, uang yang masuk cuma berasal dari jasa fotokopi dokumen dari pengunjung, yang jumlahnya tak seberapa. Ini bisa dimaklumi. Dana yang tersedia hanya berasal dari kucuran subsidi Pemerintah Daerah DKI Jakarta, yang tiap tahunnya jumlahnya cuma sekitar Rp 65 juta, plus bantuan dari beberapa donatur. Sebelum krisis ekonomi menghantam, Pemda mengucurkan dana Rp 125 juta. Nah, dana sebanyak itu harus dibagi-bagi untuk biaya operasional sehari-hari: dari biaya listrik, telepon, perawatan, sampai gaji untuk 18 orang staf. Jumlah ini jelas sangat jauh dari cukup. Sebab, selain untuk memenuhi kebutuhan pokok itu, para pengelolanya harus pintar-pintar memutar uang untuk kebutuhan lain, yakni perawatan buku-buku dan pembelian buku baru. Untuk merawat dokumentasi itu saja diperlukan pendingin ruangan bersuhu khusus yang beroperasi selama 24 jam. Namun, karena dana sungguh seret, pendingin ruangan di sana hanya berfungsi selama lima jam, yakni dari pukul 9 pagi hingga pukul 2 siang tiap harinya. Malah, pada 1997, pendingin ruangan itu rusak total dan baru bisa digunakan kembali setahun kemudian. Akibatnya, ruangan itu menjadi pengap dan panas sehingga keadaan itu turut mempengaruhi kondisi buku-buku dan naskah. Perawatan lainnya yang seharusnya dilakukan adalah fumigasi, yaitu penyemprotan dengan bahan kimia untuk mencegah buku-buku dan naskah dimakan rayap atau serangga lainnya, yang mestinya dilakukan empat kali dalam setahun. "Tapi kami baru melakukannya sekali dalam setahun," kata Endo. Proses antihama itu memang butuh banyak biaya. Untuk sekali penyemprotan, dibutuhkan dana sekitar Rp 5 juta. Keadaan ini tentu jauh berbeda dengan apa yang diimpikan H.B. Jassin dengan lembaga yang didirikannya itu. Jassin menginginkan pusat dokumentasi ini menjadi sebuah pusat dokumentasi sastra dunia yang lengkap, dari sastra Asia, Afrika, Eropa, Amerika, sampai Amerika Latin. "Memasuki gedung itu, kita seperti memasuki dunianya sastra dunia," kata Jassin suatu ketika. Embrio dokumentasi H.B. Jassin ini dimulai karena kecintaannya pada sastra. Ia mengumpulkan segala sesuatu yang berkaitan dengan sastra, sejak 1933. Lambat-laun, koleksi naskah-naskahnya mulai menggunung dan mendatangkan masalah karena Jassin membutuhkan dana untuk merawat koleksinya. Rumahnya di kawasan Tanahtinggi, Jakarta Pusat, tak mampu lagi menampung dokumen penting yang jumlahnya makin lengkap itu. Berita itu akhirnya sampai ke kuping Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta. Ali meminta Jassin menyumbangkan dokumentasi miliknya kepada Pemerintah DKI Jakarta dengan Jassin sebagai pengelola tetapnya. Pada 28 Juni 1976, berdirilah Yayasan Dokumentasi H.B. Jassin. Selanjutnya, status yayasan ini berada di bawah Dinas Kebudayaan Pemda DKI, sedangkan kebijakan pengelolaan sepenuhnya berada di tangan yayasan. Kegigihannya dalam menyelenggarakan pusat dokumentasi ini mendapat penghargaan Ramon Magsaysay pada 1987. "Saya ingin Pusat Dokumentasi Sastra nantinya memiliki komputer, sehingga orang yang akan mencari data tentang pengarang tinggal memencet tombol," kata Jassin dalam acara ulang tahunnya yang ke-70, tiga belas tahun silam. Sebuah kondisi yang masih teramat jauh api dari panggang. Adakah pihak swasta yang sudi menyelamatkan impian Jassin ini? Irfan Budiman, Andari Karina Anom , Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus