Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tanda Kehidupan Bernama Jassin

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Oleh: Putu Wijaya

DIMAKAMKAN di Taman Makam Pahlawan Kalibata bukanlah akhir dari segala perjuangan H.B. Jassin. Kritikus sastra Indonesia itu memang telah melakukan langkah besar yang belum tertandingi oleh kritikus mana pun di Indonesia, tapi kini lompatan itu seperti terancam akan berhenti. Kepergiannya seperti sebuah peringatan.

Jasanya terhadap sastra Indonesia yang sudah diapresiasi oleh pemerintah belum temanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Bahkan, warisannya ada kemungkinan terancam musnah karena pemeliharaannya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bukan hanya biaya rutin berwujud uang, tapi terutama perhatian, yang langsung terkait dengan posisi sastra dalam kehidupan bernegara kita.

Adalah tidak adil dan melecehkan jika melihat peninggalan Jassin hanya koleksi raksasa dokumentasi sastra Indonesia yang kini tersimpan dalam Perpustakaan H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki (TIM). Gedung yang lebih mirip "mausoleum" sastra Indonesia itu tak ada artinya dibandingkan dengan kegagahan yang sudah dipikul Jassin sepanjang hidupnya. Ia bukan hanya mencintai sastra secara fanatik, tapi juga percaya sastra Indonesia sebagai aset.

Sebagai kritikus, Jassin sudah meninggalkan sejarah yang monumental buat kesusastraan Indonesia. Dia sudah berhasil mereformasi peta sastra dalam pendidikan. Ia memberikan bukti bahwa sastra Indonesia memang pantas dipelajari. Jassin sudah membuat sastra Indonesia pada posisi sastra yang terhormat di Tanah Air dan membawa sastra Indonesia ke forum sastra dunia. Ia sendiri, sebagai akibat, menjadi besar, dengan nada ejekan—ada yang menyebutnya "Paus Sastra Indonesia".

Dengan membuktikan bisa menjadi besar karena sastra, Jassin sudah mengatrol sastra pada rating yang menyebabkan sastra punya gigi sebagai pilihan hidup. Pada setiap bayangan tentang masa depan di benak anak Indonesia, sastra kini muncul sebagai satu pilihan karena Jassin berhasil meyakinkan bahwa sastra bukan hanya sajak, cerpen, novel, jurnal, dan sebagainya; bukan klangenan—meminjam istilah Rendra—yang meniduri dirinya sendiri. Sastra juga adalah lorong-lorong, kanal-kanal, pisau bedah yang terserak menembus ke semua sektor kehidupan. Sesuatu yang memang bukan baru pertama kalinya diniatkan, tapi baru Jassinlah yang membuahkannya,

Memang Jassin tak sepenuhnya berhasil memuaskan harapan semua orang. Bahkan, bukan tidak ada yang benci dan merasa perlu menunjukkan "dosa-dosanya" sebagai kritikus. Dunia pun belum benar-benar terusik oleh kehadiran Indonesia lewat mulut pena Jassin. Maklum, raksasa-raksasa bertebaran dalam sastra dunia. Namun, setidak-tidaknya Jassin sudah berhasil membuat dokumentasi sastra Indonesia sebagai awal tradisi membicarakan sastra sebagai kegiatan intelektual.

Jassin memberikan harga diri, sesuatu yang bukan tidak mungkin akan dilakukan oleh kritikus lain seandainya dia tidak melakukannya. Tapi, karena Jassin sudah melakukannya lebih dulu, tindakannya menjadi bersejarah dan penting.

Pada pertengahan 1980-an, ketika Jassin tidak lagi seproduktif dan setajam masa mudanya, ia menciptakan berita kecil yang memberikan inspirasi. Ia menghadiri sebuah seminar yang membicarakan masalah minyak. Para peserta seminar tersebut terkejut dan mengingatkan Jassin bahwa itu tidak ada hubungannya dengan sastra. Jassin disangka keliru kamar. Jawaban Jassin waktu itu sangat menarik.

"Saya sengaja datang untuk mengetahui lebih bidang yang juga dibicarakan oleh sastra tapi belum saya kuasai. Bagaimana saya bisa menilai karya sastra yang membicarakan masalah yang sama sekali tidak saya ketahui?" begitu kira-kira jawabannya.

Dalam kasus Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin, misalnya, Jassin menunjukkan bahwa di balik karya sastra ada tanggung jawab. Terlepas dari materinya, kasus itu sendiri dengan H.B. Jassin yang tak ragu-ragu maju sebagai penanggung jawabnya adalah semacam upaya dari Jassin yang menunjukkan bahwa sastra bukan hanya sekadar "karangan" atau "unek-unek", tapi ada yang harus dipertanggungjawabkan.

Demikianlah Jassin, seperti seorang diplomat yang menjadi juru bicara sastra, memberikan apreasiasi kepada para teknokrat, politisi, dan birokrat, bahkan kepada para sastrawan sendiri, bahwa sastra itu terkait dengan segala aspek kehidupan. Dan suara Jassin terdengar. Inilah yang sulit dilakukan oleh kritikus lain, kendati secara kualitas barangkali ada yang lebih baik dari Jassin, khususnya dalam menyiasati gejala sastra mutakhir—sesudah Angkatan '45.

Sastra dalam bersaing dengan sektor kehidupan lain memerlukan kemasan. Tidak untuk menang, tapi untuk mempertahankan hidup saja perlu persaingan. Jassin adalah paket dan kosmetik itu. Kepergian Jassin bukan hanya kepergian seorang "penjaga malam" buat sastra Indonesia, tapi kehilangan sebuah kemasan.

Selama masih ada Jassin, seakan sastra Indonesia tetap punya seorang "pelayan" di rumahnya. Ketiadaannya sekarang menyebabkan kita ingat bahwa, betapapun sepelenya "pelayan", keberadaannya begitu berarti. Ia seperti kucing atau burung atau radio yang, kendati tidak didengar oleh siapa pun, memberikan tanda adanya kehidupan. Dan kita harus berani mengakui bahwa sastra Indonesia bukan tak ada, melainkan hanya kehilangan kehidupannya karena para "pelayan"-nya berkhianat, melakukan desersi, atau bunuh diri dengan kemapanan lain.

Menandai kepergian Jassin dengan memberinya kehormatan dalam sejarah tidak cukup. Kepergian Jassin seharusnya menjadi peringatan bahwa kita sudah mengabaikan sebuah potensi untuk membangun. Ketiadaan yang akan menyebabkan ada sudut kosong dalam jiwa.

Jassin bukan hanya seorang kritikus sastra. Ia adalah sastra itu sendiri. Fungsi yang ditinggalkannya tidak sepantasnya dinobatkan sebagai jabatan yang kemudian memerlukan pengangkatan seorang pegawai baru. Fungsi yang ditinggalkannya adalah sebuah mesin yang mestinya harus tetap bekerja dan, karena itu, memerlukan bukan hanya "pujian" atau "pengakuan", tapi juga perawatan dan pengorbanan, sebagaimana yang sudah dipraktekkan oleh Jassin.

Bahkan, ketika pendengarannya sudah mulai terganggu, Jassin masih sering tampak di Teater Arena TIM, menonton pertunjukan teater. Kehadirannya sendiri menjadi sebuah pertunjukan. Kita tidak ingin mengusut apakah dia sepenuhnya dapat menikmati pertunjukan tersebut karena kehadirannya sendiri sangat berharga. Jassin membuat kita malu karena penghargaan dan upayanya "merawat" kehidupan berkesenian tak pernah susut.

Kita semua sudah tahu, masalah perawatan adalah persoalan yang sangat pelik dan membosankan, khususnya bagi orang yang baru saja menikmati "kebebasan dan kemerdekaan" di era reformasi ini. Karena itu, almarhum mesti kita bicarakan sebagai "sebuah kesalahan kita bersama terhadap sastra." Sebagai sebuah tugas yang selama ini terabaikan.

Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum