Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kontroversi-Kontroversi di Sekitar Jassin

Wajahnya yang santun dan tutur katanya yang lembut tidak mencerminkan hidupnya yang ramai dengan kontroversi. Hidup Jassin jauh dari sunyi. Inilah sebagian dari kontroversi dalam hidup Jassin:

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puitisasi Alquran

"Saya bertolak dari Alquranul Karim sendiri. Jadi, terjemahan saya bukan terjemahan dari terjemahan…." Kata-kata itu diucapkan Jassin menjawab pertanyaan para kiai di Musabaqah Tilawatil Quran Nasional tahun 1975 di Palembang. Para ulama itu meminta pertanggungjawaban cara Jassin menerjemahkan Alquran secara puitis, dengan mengadakan perbandingan dengan 19 terjemahan Alquran. Pada 1978, Jassin menerbitkan terjemahan puitis Alquran Bacaan Mulia yang kemudian bikin geger. Sebab, bagi banyak orang, ada banyak arti yang menjadi kurang tepat.

Nyatanya, terjemahan itu mengalami cetak ulang terus. Timbulah ide kontroversial lain. Bukan hanya terjemahan Indonesia yang ingin dipuitisasikan, Jassin pun kemudian hendak menyusun urutan tulisan Alquran secara puitis. Semenjak 1991, ia menulis ulang Alquran dalam bentuk tipografi puisi, diurutkan secara simetris. Jika ujung ayat itu berbunyi akhir ayat "nun", misalnya, bunyi ujung-ujung ayat berikutnya diatur pada yang berbunyi "nun" juga, begitulah kira-kira. Penulisannya dilakukan oleh kaligrafer D. Sirodjuddin A.R. Baru selesai 10 juz, lalu timbul pro dan kontra. Karena itu, Alquran berwajah puisi tetap tidak bisa dicetak dan disebarluaskan. Sampai Gus Dur telah jadi presiden pun karya itu tidak jadi terbit.

Plagiat Chairil Anwar

Jassin, yang dikenal tak pernah marah itu, suatu kali pernah menonjok Chairil Anwar. Saat itu tahun 1949, Jassin hendak bermain drama berjudul Api di Gedung Kesenian Jakarta. Lawan mainnya Rosihan Anwar dan sutradaranya Usmar Ismail. Sementara ia duduk sembari meresapi perannya, Chairil Anwar lalu lalang terus di depannya. Tampak penyair ceking itu mencibirnya. Jassin segera paham arti cibiran itu. Tulisan terakhirnya di Mimbar Indonesia yang berjudul Karya Asli, Saduran, dan Plagiat membahas puisi Kerawang-Bekasi yang dibandingkan dengan puisi The Dead Young Soldiers karya Archibald Mcleash.

"Kamu bisanya cuma menyindir saja, tak ada yang lain!" Chairil berteriak. Jassin panas hati, dan langsung buk!, Bogem Jassin menghantam Chairil. Tubuh kurus itu menggeloyor. Di mata Jassin, mungkin Chairil ini aneh, sudah dibela malah marah.

Jassin tahu ada beberapa puisi Chairil yang sesungguhnya sebuah saduran, seperti Rumahku, Kepada Peminta-minta, Orang Berdua, dan Kerawang-Bekasi. Sementara itu, Datang Dara Hilang Dara adalah sajak pujangga Tiongkok Hsu Chih-Mo yang dicantumi nama Chairil sendiri. Toh, dalam artikel-artikelnya ia tak menyalahkan Chairil. Meskipun mirip, tetap ada rasa Chairil di dalamnya, demikian tulis Jassin. Puisi Kerawang-Bekasi, misalnya, menurut Jassin tetap punya pribadi sendiri, hingga seolah sajak Mcleash hanyalah katalisator penciptaan. Menurut Jassin, Chairil melakukan hal itu karena butuh uang untuk biaya berobat ke dokter.

Lantas, Jassin seolah membela moralitas Chairil: "Apakah karena beberapa plagiat sajak, sajak-sajaknya yang asli pun harus dianggap tidak lagi bernilai? Dan apakah karena itu harus dicopot predikat Pelopor Angkatan 45?" katanya. Menurut Jassin, kekhilafan plagiat demikian harus dipisahkan dari keutuhan kemanusiaan Chairil secara keseluruhan.

Angkatan 66

Jassin adalah peletak dasar jika melihat sejarah kepuisian Indonesia berdasarkan angkatan—sesuatu yang banyak ditolak oleh kalangan kritikus dan sastrawan lain. Menurut Jassin, generasi penyair yang satu dengan generasi penyair lain bisa dibedakan dengan melihat gabungan unsur estetika, politik, dan sejarah. Karya penyair tahun 1945, misalnya, menurut Jassin secara puitik tak banyak beda dengan penyair tahun 1966-an—tapi atmosfer sejarah dan sikap politik mereka yang tumbuh pada 1966-an itu amat berlainan dengan mereka yang hidup pada 1945. Itulah sebabnya keduanya dapat dibedakan.

Pada 1970-an, Harry Aveling—pengamat sastra Indonesia—memproklamasikan Angkatan 66 telah mati dan telah tergantikan oleh "Angkatan Transisi", yang dikomandani antara lain oleh Sutardji Calzoum Bachri, Darmanto Jt., dan Abdul Hadi W.M. Dalam artikelnya yang berjudul "Angkatan 66 Sudah Mampus?", Jassin melihat pernyataan Avelling tak banyak beda dengan pernyataan Klara Akustia—penyair Lekra yang pada 1950-an menyatakan Angkatan 45 sudah mampus.

Bagi Jassin, adanya perkembangan baru dalam perpuisian tidak niscaya menimbulkan angkatan baru. Setiap penyair punya potensi pengembangan estetika—tapi bukan estetika yang selalu menjadi patokan untuk penamaan angkatan. Bila estetika yang hanya jadi patokan, konsekuensinya, seorang penyair yang terus-menerus berkembang akan selalu berganti-ganti angkatan.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus