SEBUAH survei me~ngenai profil dan ga~ya hidup profesional muda yang sukses pernah dilakukan oleh harian Kompas tahun 1986. Hasilnya cukup menarik sehingga diterjemahkan dan dimuat dalam buku ini. Salah satu hal yang dite~mukan: sebagian besar pro~fesional muda itu tak be~gitu tertarik pada politik atau bahkan pe~ristiwa politik. Sebagian besar lebih menghargai status dan suk~ses keuangan daripada, misalnya, ilmu atau pun kerja keras. Apakah pro~fil ini bisa dianggap sebagai wajah "kelas me~nengah" Indonesia, yang konon sedang bangkit? Kalau memang demikian, persoalan "politik ke~las menengah" sudah selesai. Lantas, siapa yang dimaksud dengan kelas menengah? Dapatlah dipahami kalau buku, yang berasal dari seminar yang diadakan di Monash University (1986), berusaha melakukan identifikasi tersebut. Dalam sejarah Barat modern, perubahan politik sangat ditentukan oleh peranan politik kelas menengah. Baik dalam pengertian Marxis (yang melihat kelas ini sebagai penguasa faktor produksi dalam masyarakat kapitalistik) maupun Weberian (yang melihatnya sebagai kelas pendorong modernisasi dan demokratisasi), kelas menengah selalu tampil punya peran yang sangat penting. Bagaimana dengan Indonesia? Dulu, dalam pengertian apa pun, kelas menengah praktis tak berarti apaapa. Kini, setelah ada kemajuan ekonomi dan MDNMterjadi berbagai perubahan struktural, peranannya MDNMkembali dipertanyakan. Berbagai pendekatan MDNMdipakai untuk memahami perkembangan sosialpolitik di Indonesia. Mulai dari pendekatan sejarah kontemporer (gaya George McT. Kahin dan Herbert Feith) sampai dengan pendekatan kultural (gaya Ben Anderson dan Clifford Geertz) pernah ditempuh. Yang jarang dilakukan ialah MDNMpendekatan analisa kelas. Namun, apakah pendekat~an itu sah untuk konteks Indonesia? Daniel Lev, yang merupakan motor perde~batan ini, meng~akui bahwa konsep kelas menengah agak kabur. Tapi, ia me~nyinyalir bahwa sebagai suatu kenyataan empiris, kehadiran sebuah kelompok ini semakin dominan. Ia secara khusus menyorot peranan kaum profesional yang kian penting. MDNMMereka punya sifat "keswastaan", keterlepasan dari dominasi negara. Kalau sampai waktunya, mereka akan tampil sebagai kekuatan politik yang besar. William Liddle, yang lebih melihat permasalahan pada proses dan sis~tem politik, menyangsikan hal ini. Perlu diingat, ka~tanya, Orde Baru, yang beraliran developmentalisme dan bergaya paternalistik ini, punya dua keunikan, yakni kemampuan untuk mengantisipasi situasi yang secara politik bisa mengancam, dan legitimasi militer untuk ikut memerintah. Ini suatu kenyataan bahwa depolitisasi dan kecenderungan otoriter telah menghasilkan stabilitas. Maka, tidaklah mengherankan bila oposisi pun punya kepen~tingan bagi kelan~jutan sistem itu. MDNM Jamie Mackie mencoba mengurangi kekaburan konsep kelas menengah. Bertolak dari apa yang telah dirintis oleh Harold Crouch, ia mencari kelas menengah di kalangan profesional, yang umumnya tinggal di kotakota, dan memperkirakan jumlah mereka. Agak spekulatif, tapi dengan perkiraan ini ditemukan sebuah kesimpulan, bahwa kelas menengah Indonesia sa~ngat kecil dibandingkan di negaranegara tetangga. Kelas menengah cukup heterogen. Kesamaan yang menonjol ialah gaya hidup. Hal ini pulalah yang menjadi kesimpulan Howard Dick, yang memakai pendekatan pola konsumsi sebagai alat untuk menentukan kelas menengah suatu kelas yang baginya berlandaskan pada "penswastaan alat konsumsi". Dengan kata lain, kelas menengah adalah kelompok sosial-ekonomi yang terikat pada negara. Tapi, Richard Robison, yang sejak semula memakai analisa kelas, melihatnya dari sudut lain. Baginya kelas menengah terdiri dari para kapitalis yang terlibat dalam pemu~pukan modal dan pelembagaan milik pribadi. Kalau pendekatan ini dipakai, kelas mene~ngah tak ada di pedesaan. Sementara itu, Ken Young memakai pendekatan lain, yakni keunggulan ekonomi. Artinya, pejabat pemerintah di desa pun termasuk kelas itu. Kembali pada soal semula. Telah bisakah kita berbicara tentang adanya kelas borjuis, kelas sosial yang menguasai kehidupan ekonomi, lewat pemilikan atau penguasaan kapital dan berpengaruh pada proses pe~ngambilan keputusan politik? Mackie tak menemukannya di BUMN. Juga tidak di kalangan pemegang modal asing. Malah, tak tampak pula pada para cukong konglomerat nonpribumi. Dalam Orde Baru, yang patrimonialistik dan secara retorik antikapitalistik ini, kata Mackie, politik masih "pa~nglima", bukannya ekonomi. Dengan ringkas, tapi sangat sugestif, buku yang juga memuat tulisan Abdurrahman Wahid (tentang kelas menengah Islam Indonesia), Aswab Mahasin, Moh. Slamet, dan Susan Abeyasakere ini telah mempersoalkan berbagai pendekatan untuk memahami perkembangan politik Indonesia. Taufik Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini