Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kembali ke Rumah, Kembali Gelisah

Pematung Awan Parulian Simatupang dan Yani Mariani berpameran di Galeri Edwin, Kemang Jakarta. Kuat akan metafora.

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah adalah tujuan istirah. Tapi bagi Awan Parulian Simatupang, 37 tahun, rumah adalah sebuah problematika. Lihatlah patung Wake Up on The top bermateri perunggu ukuran sekitar 20,5 x 20,5 x 80 cm. Sebuah pencakar langit yang doyong. Seseorang duduk di pucuk, paling tepi. Kakinya menjuntai ke bawah. Di ketinggian itu ia tampak terpekur. Lihatlah Next (49 x 13 x 40 cm), tiga sosok, mungkin ayah-ibu-anak, berdiri meniti bubung rumah. Salah satu di antaranya terlihat menjaga keseimbangan agar tak jatuh.

Tak banyak pematung kita yang mengeksplorasi gagasan rumah. Umumnya mereka terserap ke penjelajahan torso atau bentuk-bentuk eksperimental. Pematung gaek Amrus Natalsja pernah memamerkan karya cukil kayu tentang kehidupan Pecinan. Ia mencongkel-congkel kayu sembari menggali ingatannya tentang loteng-loteng Cina di kawasan Pasar Minggu, Pasar Baru. Hasilnya seperti sebuah relief?yang menonjol dengan serat-serat kayu?kasar.

Yang disajikan Parulian bukan sebuah representasi rumah. Ia tak berniat menyajikan sebuah "maket" rumah konkret yang membuat imajinasi kita melayang ke aneka kehidupan penghuninya, seperti ketika menyaksikan cukilan kayu Amrus. Bukan pula sebuah abstraksi, deformasi bentuk bangunan yang sulit tertangkap.

Patungnya jelas menyiratkan sesosok manusia yang berada di sebuah tugu, bangunan beton, pencakar langit atau lumbung. Tapi bila kita amati, yang terasa ingin ditampilkan Parulian bukan sesosok manusia yang betah-harmoni dengan tempat huniannya, melainkan manusia yang terlempar dari rumah yang pernah ia diami.

Simaklah I Do (35 x 23 x 42 cm). Sesosok laki-laki tengah menahan bangunan yang doyong ke kanan. Terasa ada konflik kekuatan, saling adu tenaga. Sang laki-laki seolah tak kuasa menahan pintu yang mulai melesak ikut miring. Atau simak Whichway (69 x 14,5 x 37 cm), sesosok laki-laki berbaring di bubung atap rumah. Seolah tak jenak di kepengapan rumah, lalu ingin menghirup udara terbuka. Tengadah ke langit luas, tangannya digunakan sebagai bantal.

Sering kali pada sebuah pameran antara karya satu dan karya lain terjadi pengulangan gagasan. Walhasil, secara ide sangat membosankan. Keberhasilan Parulian adalah pada pameran kali ini setiap patungnya mampu menawarkan permasalahan konflik manusia dengan bangunan itu secara berbeda-beda.

Agaknya memang pematung ini kuat metafora. Kita ingat pada 2003, dalam pameran bersama bertajuk Indonesian In Search of Peace untuk merayakan ulang tahun ketiga Asosiasi Pematung Indonesia yang berlangsung di gedung World Trade Centre, Jakarta, ia menampilkan karya Hanya Permainan. Ini sebuah karya berupa sebuah congklang, yang lubang-lubangnya tak berisi batu dakon, tapi tengkorak-tengkorak sebesar gundu.

Sekarang "metafora" itu ditingkatkan secara lebih subtil. Bukan lewat citraan-citraan wadag, tapi justru dengan permainan asimetris antara sosok kecil manusia dan bangunan besar yang miring, doyong atau melengkung, sembari tak meninggalkan simbol-simbol manis. Untuk jendela di tiap rumah itu, misalnya, ia sering membuat rongga-rongga berbentuk mega-mega.

Di samping seri rumah, Parulian juga menampilkan seri "pabrik". Dua karyanya berjudul The Show Must Go On terbuat dari baja tahan karat (stainless steel). Sekali lihat langsung mengesankan pabrik penuh cerobong asap. Tapi bila kita amati lebih lama, karya ini lebih mirip sebuah bangunan imaji. Pabrik itu bisa jadi adalah sebuah mesin atau bahkan sebuah kapal dengan dayung-dayungnya. Sekali lagi, Parulian seolah mengambil jalan tengah antara deformasi dan representasi.

Yang justru kurang berhasil adalah karya kolaborasinya. Begitu memasuki ruang pameran Galeri Edwin, di langit-langit menggantung bentuk-bentuk seperti sebuah kepompong besar, tertutup daun-daun kering, sementara di lantai, batu-batu kali besar kecil berserakan. Ini kolaborasi Parulian dengan Yani Mariani, 49 tahun. Sebetulnya karya bersama ini bisa lebih dari itu. Kita ingat karya Yani Mariani, Endless IV di CP Open Bienalle 2003. Ini salah satu karya yang sugestif. Yani menggantung beragam ukuran batu-batu kali dengan tali plastik. Tinggi rendah gantungan diatur sedemikian rupa sehingga membentuk komposisi yang "magis".

Pameran ini memang pameran berdua. Selain karya Parulian, juga ditampilkan sekitar 16 patung Yani Mariani. Sama seperti karya Parulian, semua patung Yani kebanyakan dibuat pada 2004. Bedanya, fokus Yani adalah deformasi. Ia menampilkan patung-patung tembaga yang mengandaikan kelebatan sosok, tubuh-tubuh yang tertahan, berusaha untuk tak jatuh. Patung-patung keperakan putih tersebut diletakkan di atas gumpalan batu hitam. Kontras putih dan hitam ini memiliki daya pikat tersendiri. Sebuah patung berjudul Menatap Bayangan dilengkapi sorot lampu kecil di bidang hitamnya. Membuat kilatan-kilatan di badan patung. Terasa bahkan sampai unsur pantulan diperhitungkan oleh Yani.

Sesungguhnya karya-karya Parulian dan Yani memiliki wilayah persoalan yang berbeda. Jauh akan lebih intens apabila masing-masing ditampilkan sebagai pameran tunggal atau, paling tidak, sebuah pameran bersama, tapi karya keduanya tidak disajikan dalam ruangan yang sama. Mengherankan bahwa kurator Asikin Hasan maupun Edwin sang pemilik galeri mengemas pameran berdua ini hanya atas dasar kuratorial bahwa keduanya berasal dari sebuah generasi Institut Kesenian Jakarta. Tidak bertolak dari watak permasalahan yang disodorkan.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus