Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARAH angin begitu cepat berganti di Partai Golkar. Enam tahun silam, Akbar Tandjung berhasil mengikat kembali akar partai berlambang beringin yang tengah menahan goyangan badai politik reformasi. Di tangan sang ketua umum, Golkar diberi semangat baru. Partai bentukan rezim Orde Baru itu mendadak fasih bicara tentang reformasi. Golkar yang dicaci malah sukses menjadi pemenang Pemilu 2004. Perubahan itu kini datang lagi. Sekarang, dia memukul balik Akbar, si arsitek "Golkar Baru".
Hari-hari ini, tuntutan agar Akbar tak lagi menjadi bos Beringin mulai muncul ke permukaan. Suhu politik di partai itu kian panas menjelang Musyawarah Nasional Partai Golkar ke-7, yang akan berlangsung 15-20 Desember 2004 di Denpasar, Bali. Di arena itu, Akbar masih ingin terpilih kembali sebagai ketua umum. Rupanya, kini tak semua kader mendukung niat itu. Setidaknya, perdebatan sempat meletik sengit sampai ke basis partai itu di sekujur negeri. Pro dan kontra meruap di mana-mana.
Kritik buat Akbar dilontarkan juga oleh para sesepuh Golkar. Salah satu tokoh gaek Golkar, Sulasikin Moerpratomo, mengatakan Akbar punya kesalahan fatal. "Dia memecat anggota Partai," ujar Sulasikin, Selasa pekan lalu. Saat ramai-ramai pemilihan langsung presiden kemarin, Akbar memang memecat Fahmi Idris dan kawan-kawan. Fahmi dinilai melanggar disiplin karena mendukung paket Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Bagi Akbar, manuver Fahmi bisa merusak Koalisi Kebangsaan yang menyokong pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi.
Masih menurut Sulasikin, para sesepuh sudah pula membuat satu rapat penting di rumah bekas wakil presiden Sudharmono, beberapa waktu lalu. Yang dibicarakan adalah kemungkinan pergantian bos di Partai Golkar itu. Kata Sulasikin, mereka berharap Ketua Umum Golkar nanti diisi orang bervisi masa depan, tidak mementingkan kelompok, serta bersih dari korupsi. Akbar sendiri tampak kalem dengan kritik dari para seniornya itu.
Tapi Akbar punya senjata moral. Dalam acara Musyawarah Daerah Partai Golkar DKI Jakarta, dia balik menyerang para tokoh Golkar seterunya. "Di mana mereka waktu partai kita dikejar-kejar, diteror, dan diancam?" tanya Akbar. Semua yang mencalonkan diri menjadi Ketua Umum Golkar, menurut Akbar, harus dicermati di mana mereka berada lima tahun lalu. Partai Golkar, kata dia, kini sudah eksis dan kuat. Tak mengherankan bila banyak yang membidik kursi pucuk pimpinan.
Sejumlah tokoh Golkar memang muncul sebagai kandidat ketua. Di antaranya adalah pesaing Akbar semasa konvensi Golkar untuk calon Presiden RI, yakni Wiranto dan Surya Paloh. Dari Indonesia bagian timur, muncul pula Marwah Daud Ibrahim. Ketiganya sudah nongol ke publik menyatakan siap berlaga. Belakangan muncul nama baru: Agung Laksono, yang kini menjadi Ketua DPR RI, dan Slamet Effendi Yusuf. Barisan kandidat ini bisa bertambah lagi di arena musyawarah nanti.
Tanda-tanda pertarungan pun sudah mulai terasa sejak Kamis pekan lalu. Misalkan, saat Akbar menggelar acara halal bihalal di markas Partai Golkar di Slipi, Jakarta Barat. Biasanya, semua pengurus datang: lama maupun baru, kader muda atau tua. Tapi jamuan makan kemarin tak seramai biasanya. Yang datang hanya jajaran pengurus pusat, ketua Golkar tingkat I dari berbagai daerah, staf Partai dan sejumlah anggota Dewan Penasihat, misalnya A.A. Baramuli dan mantan Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief. Agung turut hadir karena dia bagian dari pengurus pusat.
Wiranto sama sekali tak muncul. Begitu juga peserta konvensi seperti Surya Paloh atau Aburizal Bakrie. Harmoko dan Sudharmono, yang biasanya rajin datang, hari itu juga tak tampak. Para sesepuh seperti Oetojo Oesman dan Cosmas Batubara juga absen. Tampaknya, Beringin tua itu tak lagi mendukung Akbar. Sudharmono, tokoh yang dikenal mentor politik Akbar, malah sempat meminta "muridnya" itu tak mencalonkan diri lagi. "Agar organisasi Golkar menjadi lebih baik," katanya. Wiranto sebagai pesaing Akbar mendukung sikap sesepuh itu.
Dari sekian calon, Wiranto memang kandidat terkuat membayangi Akbar. Gebrakan Wiranto memang tak bisa dianggap remeh. Dalam konvensi lalu, bekas Panglima TNI itu justru mengalahkan Akbar dengan angka telak 315 suara, sementara Akbar hanya menyabet 227 suara. Manuver Wiranto di basis Golkar inilah yang diwaspadai Akbar Tandjung.
Seperti diakui Wiranto, kekuatan dia justru berada di daerah. "Harus diakui, Golkar bisa menang karena struktur lama di daerah masih kuat," ujarnya kepada Tempo. Sewaktu konvensi itu, Wiranto menangguk suara dari tingkat kota dan kabupaten alias DPD (dewan pengurus daerah) tingkat II. Meski mengatakan suara provinsi tetap penting, mayoritas dukungan Wiranto datang dari struktur di bawah itu. Tapi, dalam musyawarah nasional sekarang, Wiranto agak ragu. Soalnya, "DPD II tidak akan diikutsertakan dalam pengambilan suara," ujarnya.
Isu soal hak suara bagi DPD II ini memang sempat muncul di Rapat Pimpinan Partai Golkar, Jumat pekan lalu. Namun rapat yang berlangsung setengah hari itu ternyata tak memberi kabar baik bagi "kelompok pro-hak suara". Dalam acara pemandangan umum, mayoritas DPD I tak meminta pengurus kota atau kabupaten mendapatkan hak suara dalam musyawarah nanti. Tercatat cuma 7 provinsi yang meminta terang-terangan. Sedangkan 20 lainnya tak menyenggol sama sekali ihwal penting itu.
Sikap itu mungkin bisa menjadi peta awal pertarungan dalam musyawarah nanti. Menurut Ketua Golkar Jawa Tengah Bambang Sadono, sejumlah provinsi yang meminta hak suara untuk kabupaten atau kota adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. "Kami kelihatannya kalah," kata Bambang seusai rapat itu. Jawa Tengah kini tak lagi jadi kaki Akbar Tandjung. Mereka condong ke Surya Paloh. Meski begitu, Bambang berharap ada peluang saat keputusan final dalam musyawarah nanti.
Namun, menurut seorang pengurus pusat Golkar, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur juga tegas menuntut hak itu. "DKI Jakarta menyatakan tak masalah kalaupun ada hak suara itu," ujarnya. Menurut sumber itu, daerah yang tegas menolak adalah Aceh, Riau, Lampung, Sulawesi Tenggara, serta Gorontalo.
Ihwal menuntut hak suara itu muncul setelah para sesepuh Golkar bertemu beberapa pekan lalu. Kelompok "Asal Bukan Akbar" itu aktif menggalang pengurus kabupaten dan kota agar memperjuangkan hak suara. Menurut Ketua Umum Soksi Oetojo Oesman, Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar 1998 pernah berjanji memberikan hak suara itu dalam musyawarah nasional berikutnya, yaitu tahun 2004.
Wiranto pun membenarkan Oetojo. Saat Musyawarah Nasional Luar Biasa 1998, kesepakatan hak suara bagi kota dan kabupaten itu diambil untuk mengatasi jalan buntu. "Ada notulensi rapat bahwa dalam musyawarah nasional berikutnya, DPD II akan mendapatkan hak suara kembali," ujar Wiranto. Dia khawatir ada upaya menahan hak suara itu lewat permainan aturan tata tertib.
Wiranto bukan lawan enteng bagi Akbar. Jauh-jauh hari, dukungan kepada Wiranto sudah dilontarkan secara tersirat oleh kelompok Hasta Karya, kelompok delapan organisasi pendiri Partai Golkar. Selasa dua pekan silam. Dalam sebuah acara halal bihalal di Hotel Shangri-La, Wiranto sudah disambut bak pemenang. Selain Hasta Karya, tentu dukungan sesepuh Golkar tak bisa dilupakan.
Saat Akbar berhalal bihalal, Wiranto ternyata bertemu dengan 40 DPD I dan II di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, Kamis malam pekan lalu. DPD II yang hadir sebagian besar berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Dalam pertemuan itu, Wiranto mengaku maju sebagai kandidat ketua karena didesak sesepuh Golkar dari SOKSI, AMPI, serta beberapa pengurus di tingkat provinsi. "Alasan saya maju bukan karena ilham, wangsit, atau ikut-ikutan," ujarnya.
Dalam konvensi lalu, Wiranto sendiri unggul di banyak kota dan kabupaten. Menurut bekas pengurus DPP Golkar Indra Bambang Utoyo, dukungan untuk Wiranto tetap tak akan berubah. Misalnya kawasan Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, Kalimantan, dan Gorontalo. Wiranto juga sudah menata tim suksesnya, di antaranya Oetojo Oesman, Ponco Sutowo, Achmad Moestahid Astari, Thomas Suyatno, Yuniwati Maksum Sofwan, dan Zainal Bintang.
Sejak awal Wiranto mencium ada upaya memaksakan rancangan tata tertib dalam musyawarah nanti. Misalnya, disebutkan calon Ketua Umum Partai Golkar setidaknya harus lima tahun berturut-turut duduk dalam posisi di Dewan Pengurus Pusat. "Padahal, anggaran dasar dan rumah tangga hanya menyatakan siapa saja yang berjuang selama lima tahun terus-menerus di Partai Golkar," kata Wiranto. Kalau aturan itu dipakai, tentu Surya Paloh dan Wiranto terancam bakal rontok.
Tapi Akbar menolak kalau dia memelintir aturan itu. Soal hak suara, kata Akbar, semua sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Golkar. Dikatakan, dalam musyawarah nasional, hak itu dimiliki pengurus pusat, provinsi, dan organisasi kemasyarakatan pendukung Golkar. Kalaupun ada perubahan, dia tak keberatan, asal perubahan itu dalam musyawarah nasional mendatang. "Tidak ada akal-akalan. Itu yang kita patuhi," kata Akbar.
Di barisan Akbar ada Ketua Angkatan Muda Partai Golkar Akil Mochtar. Menurut Akil, jika dipaksakan kabupaten dan kota punya hak suara, anggaran rumah tangga harus diubah untuk musyawarah daerah. Artinya, dalam musyawarah daerah provinsi, semua kabupaten dan kota dan kecamatan punya hak suara. Begitu juga untuk tingkat kabupaten atau kota. Pengurus kecamatan dan desa juga punya hak memilih pengurus. "Jadi adil, pengurus dua jenjang ke bawah punya hak suara," kata Akil.
Akbar sendiri sedang kerepotan soal musyawarah daerah di sejumlah tempat. Soalnya, banyak jagonya yang rontok. Akibatnya, kekuatan Akbar tak lagi sehebat dulu. Dari 33 provinsi, menurut Indra Bambang Utoyo, paling banter Akbar baru mampu menyabet 10 DPD, antara lain Bangka, Belitung, Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Dua daerah yang selama ini dianggap menjadi basis Akbar, misalnya Sumatera Utara dan Jawa Timur, tak lagi mendukung Akbar. Basisnya di Sulawesi Selatan dan Utara bisa pindah tuan ke Surya Paloh. "Soalnya, Paloh sudah didukung terang-terangan oleh Jusuf Kalla," ujar Indra.
Masuknya unsur Kalla seakan menjadi mesin tambahan bagi Paloh. Menurut Indra, paket Paloh-Kalla ini juga sudah laku dijual ke daerah. Coba lihat Jawa Tengah. Sebelum Musyawarah Daerah Golkar Jawa Tengah ditutup Sabtu dua pekan lalu, 28 DPD tingkat II se-Jawa Tengah menyuarakan dukungan bagi Surya Paloh. Kalla dijagokan sebagai Ketua Dewan Penasihat Golkar.
Berkat dukungan Kalla, kekuatan Paloh tak bisa dianggap enteng. Masih dalam hitungan Indra, jumlah pendukung yang sudah dikantongi Paloh sebanyak 20 DPD I. Banjir dukungan itu tampak saat Paloh mengundang 20 DPD ke Hotel Hilton, Jakarta. Dari undangan itu, 19 DPD hadir. Mereka lalu diajak ke kediaman Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat (lihat, Mencegah Matahari Kembar).
Kandidat lainnya, Marwah Daud Ibrahim, juga tak mau kalah. Kamis malam itu juga, Marwah meluncurkan buku berjudul Bintang dari Timur di Hotel Hilton. Sedangkan Agung Laksono, Kamis malam, juga hadir dalam halal bihalal Kosgoro 1957 sekaligus menjadi pembicara kunci dalam diskusi "Regenerasi di Partai Golkar". Agung Laksono adalah Ketua Umum Ormas Kosgoro 1957 yang juga Ketua DPR.
Betatapun, senjata Akbar adalah tata tertib. Namun, bila perlawanan kian besar dan musyawarah nasional terancam macet, Agung Laksono diperkirakan yang bakal meraup dukungan. "Agung orang yang akomodatif dan merakyat," ujar Ketua Golkar Lampung Alzier Dianis Tabrani. Dia, kata Alzier, bisa diterima semua kelompok. Selain itu posisinya sebagai Ketua DPR RI lebih memudahkan hubungan antarfraksi Partai dan juga eksekutif.
Penasihat Golkar Baramuli juga melihat Agung cocok sebagai Ketua Umum Golkar. Sebagai Ketua DPR, posisi Agung dianggap makin kuat jika bisa menjadi Ketua Umum Golkar. Soalnya, jika lembaga tinggi negara itu dipimpin orang bukan Akbar, anggota beringin pro-Akbar di parlemen pasti menolak. "Bisa konflik terus-menerus dan membahayakan keutuhan Golkar," ujarnya. Jadi, suka tak suka, Agung Laksono bisa tampil sebagai kuda hitam.
Di Partai Golkar, arah angin memang begitu cepat berganti.
Nezar Patria, Widiarsi Agustina, Indra Darmawan, Sohirin (Semarang), Sunudyantoro (Surabaya), Heru C. Nugroho (Yogyakarta), Arief Ardiansyah (Palembang), Verry Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo