Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kembang ditata, dengan otak

Sutradara: teguh karya produksi: pt suptan film pemain: slamet rahardjo dkk resensi oleh: salim said. (fl)

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKAWINAN DALAM SEMUSIM Cerita, skenario & sutradara: Teguh Karya Produser: PT Suptan Film. YANG menarik dari film terbaru Teguh Karya ini adalah cara berceritanya. Meninggalkan cara bercerita plot tunggal pada film-filmnya yang terdahulu, pada film Perkawinan Dalam Semusim ini Teguh Karya menampilkan cerita dengan plot majemuk. Di sini ada cerita mengenai Kooswara (Slamet Rahardjo) yang ditinggal mati oleh isterinya setelah diperkosa oleh Kardiman (Rahmat Hidayat). Kardiman sendiri punya cerita yang dipenuhi dengan kebuasan sex. Agus (Elerman Masduki), putera tunggal Kardiman selain mengikuti jejak sex ayahnya, ia sekaligus menjadi pemeras sang ayah. Lain pula cerita Ipik (1 Manik) yang mengkaryakan adik perempuannya dengan harapan bisa dapat kedudukan dan tentu saja uang. Nyonya Kardiman (Tuty Indra Malaon) juga bukan tanpa kisah yang cukup rumit. Tokoh-tokoh dalam film ini ibarat beraneka ragam bunga yang hinggap di tangan "penata kembang" Teguh Karya. Sebagai penulis cerita dan skenario, Teguh terlalu sadar akan keterbatasannya sebagai sutradara dalam mencobakan tangannya terhadap film dengan plot majemuk. Karena itulah maka tokoh-tokoh itu dilokalisir saja di seputar Kardiman. Keadaan ini menimbulkan kesan penyederhanaan. Cukup mengganggu. Juga struktur cerita berbeda dengan yang bisa dibuat oleh Teguh. Cara bercerita kronologis ditinggalkannya sama sekali. Kejadian masa lalu bercampur baur dengan masa sekarang. Film-film modern memang terbiasa dengan cara ini. Di sini penonton diberi kesempatan berperanan aktif dalam mengikuti cerita. Ditinggalkan Begitu Saja Tapi dalam karya Teguh ini pemain diminta terlalu banyak menggunakan otaknya. Nampaknya ini disebabkan oleh terlalu panjangnya persiapan ke arah pengungkapan puncak konflik. Di samping itu penataan cerita terasa dikerjakan tidak begitu rapi. Tidak semua adegan merupakan kesatun yang utuh, yang mendukung jalannya cerita. Seringkali dalam adegan-adegan itu muncul hal-hal yang kemudian ditinggalkan begitu saja oleh Teguh. Ini tentu saja meninggalkan pertanyaan di kepala penonton. Tokoh Uci dan tokoh yang dimainkan oleh Sari Narulita mempunyai potensi mengasyikkan tapi mereka ditinggalkan begitu saja. Selain bahwa editing film ini memang kurang apik -- sehingga terasa cerita tidak berjalan lancar -- juga terasa adanya kekurangan shot dalam film yang kelebihan adegan ini. Efek dramatis penguburan isteri Kooswara barangkali akan lebih terasa seandainya shot pada adegan itu diperbanyakdan editor bisa bekerja lebih dinamis. Film Teguh yang terbaru ini memang sebuah film yang lebih merangsang dari film-filmnya yang terdahulu. Seperti juga Wim Umboh yang sudah ogah bercerita dengan cara konvensionil, Teguh pun berbuat demikian. Modal terpenting untuk film-film jenis ini adalah skenario. Jika skenarionya kurang rapi, hasilnya hanya sebuah teka-teki yang memusingkan penonton. Perasaan Istirahat Karya Teguh ini belum sampai memusingkan. Tapi yang pasti inilah film dedengkot Teater Populer itu yang paling banyak meminta otak penonton bekerja. Begitu sibuknya sang otak, perasaan jadi istirahat. Kalau saja Teguh terampil menggunakan dialog, kelemahan akibat kekurangan informasi lantaran kurang rapinya penataan cerita (dan kurangnya shot), rasa-rasanya bisa sedikit diatasi. Adapun mengenai tema ceritanya, Teguh masih belum beranjak dari tema lamanya. Dari Wajah Seorang Lelaki, Cinta Pertama, Ranjang Pengantin, Kawin Lari sampai Perkawinan Dalam Semusim ini. Teguh sibuk memerangi perkawinan. Bagi sutradara yang konsekwen membujang ini, perkawinan adalah sumber malapetaka. Tokoh dalam film-film Teguh semua menderita lantaran perkawinan. Bahkan pertemuan antara Kooswara dengan Nana (Anissa Sitawati) di akhir cerita, oleh Teguh cuma dianggap ilusi belaka. Akan hal adegan yang terakhir ini penonton memang terpaksa bingung, sebab usaha Teguh membuat ilusi ternyata tiba di layar sebagai kejadian yang sebenarnya. Dan karena demikian merentetlah sejumlah pertanyaan lagi: begitu mudah Nana meninggalkan pacarnya, begitu mudah ibunya menyuruh ia menyusuli Kooswara. Dan sebagainya. Pertanyaan yang kelihatannya banyak juga dari para penonton itu tentu saja tidak harus membuat Teguh kecil hati. Sutradara didikan ATNI ini baru saja memasuki suatu cara baru dalam membuat film. Bersama Wim Umboh, Teguh memperkenalkan sesuatu unsur baru dalam film Indonesia. Tapi dalam kebaruannya, Teguh toh masih sempat menampilkan Rahmat Hidayat secara amat meyakinkan. Slamet Rahardjo, seperti biasanya, selalu bermain baik. Tuty Indra Malaon, pada film ini memperlihatkan kebolehannya secara amat meyakinkan. Bekas panggung pemain teater terkemuka ini sudah sulit ditemukan. Salim Said

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus