TEGUH Karya, 39 tahun, baru saja selesai dengan film terbarunya,
Perkawinan Dalam Semusim. Selepas pertunjukan perdana untuk pers
pekan silam di Jakarta, Teguh yang sadar betul bahwa filmnya
yang baru ini barangkali lebih berat untuk dicerna ketimbang
film-filmnya yang terdahulu, meminta bantuan para wartawan untuk
kampanye. Kata sutradara yang terus hidup membujang itu: "Saya
telah berusaha dengan berliku-liku dan sulit menerobos kesadaran
baru dari sang produser untuk membuat film sejenis ini, kini
saya merasa perlu suatu usaha penyuluh dari saudara dalam
menerobos kesadaran baru dari sang masyarakat yang akan jadi
penontonnya".
Setelah itu, Teguh menyempatkan diri bercakap-cakap dengan dua
orang wartawan TEMPO, Eddy Herwanto dan Syarif Hidayat. Berikut
ini bagianbagian menarik dari percakapan itu.
Tanya: Seperti dalam film-film anda terdahulu, dalam film
terbaru anda ini kelihatannya anda menyerang lembaga perkawinan
sebagai penyebab malapetaka. Mengapa demikian?
Jawab: Meskipun saya bujangan, tapi ya, jangan tanya begitu,
dong. Tapi saya sudah mewawancarai beberapa pasangan suami
isteri, mereka rata-rata merasa tidak bahagia. Perkawinan
ternyata tidak selalu mcrupakan penyelesaian yang menyenangkan.
T: Apa sebenarnya yang ingin anda katakan lewat film ini?
J: Kalau kita rapi sedikit, maka akan kita temui bahwa dalam
hidup ini kita dihadapkan pada serentetan persoalan. Satu
selesai datang lagi yang lainnya. Nafas kita cuma semusim kecil,
sebab persoalan baru selalu timbul. Tapi masih selalu ada
harapan, meskipun kecil. Itu barangkali yang membikin kita betah
hidup.
T: Masa lalu dan rumah tangga Kardiman (Rahmat Hidayat) dan
isterinya (Tuty Indra Malaon) begitu buruk dan berantakan.
J: Banyak hal dalam hidup ini yang tidak kita peroleh. Itulah
sumber pertentangan dalam keluarga Kardiman. Ini pada hakekatnya
adalah gambaran keserakahan.
T: Tapi film ini didominasi oleh keberantakan.
J: Film modern tidak hanya bicara dengan logika elementer.
Logika bukan dibuang, tapi tidak penting.
T:Apakah lantaran logika tidak penting maka banyak elemen yang
anda masukkan - tokoh Uci, Sari Narulita, sebagai contoh - tapi
tidak dikerjakan dengan selesai, bahkan ditinggalkan begitu
saja?
J: Film ini hanya sebuah ide. Dalam hidup ini kita banyak
menghadapi soal yang seakan selesai tapi ternyata belum.
T: Anda kelihatan mempermudah pertemuan bekas pemerkosa Aisah
(Anissa) dengan Koos dalam rumah mewah Kardiman. Faktor
kebetulan ini terjadi juga pada pertemuan Koos dan Nana di rumah
yang sama. Bagaimana ini?
J: Yang penting adalah ide yang mendukung film itu.
Kebetulan-kebetulan itu bisa diabaikan.
T: Watak Kardiman yang jahat, kemudian juga watak anaknya, Agus
(Herman Masduki) juga demikian. Apakah ini lantaran faktor
keturunan atau lingkungan sosial?
J: Yang saya ungkapkan adalah watak-watak orang serakah, bukan
orang jahat. Ini bukan faktor keturunan, bukan pula faktor
lingkungan.
T: Apa yang anda ingin capai dengan memasang pemain sama (Anissa
Dia Sitawati) untuk dua peranan dalam film anda ini?
J: Ilusi. Sesuatu yang membuat kita senang, bahagia. Nana adalah
ilusi bagi Koos (Slamet Rahardjo) yang telah kehilangan isteri.
T: Antara adegan Nana dan Aisah tidak ada perbedaan pengerjaan,
meski yang satu dimaksudkan sebagai kejadian yang sebenarnya,
sedang yang lain cuma sekedar ilusi. Bagaimana masaalah gaya?
J: Itu bukan percampuran, tapi memang diungkapkan dengan satu
gaya. Gayanya adalah realistis.
T: Setelah film ini selesai dan anda menontonnya sebagai orang
lain menyaksikannya, bagaimana kemudian kesan anda?
J: Menurut saya, film ini sebagai tontonan, enak ditonton dan
sebagai sarana permainan ide ia sudah mulai nampak. Andai kata
saya tidak berkompromi, film ini secara ide bisa lebih murni.
Kompromi itu saya tempuh karena saya ingin penonton saya lebih
luas.
T: Film ini, apakah merupakan langkah maju bagi anda?
J: Pokoknya saya tidak lagi mau bikin film manis macam Cinta
Pertama. Wim Umboh pun rasanya tidak lagi akan bikin film macam
Pengantin Remaja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini