Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

"nafas kita cuma semusim kecil"

Pers diberi kesempatan menonton pertunjukan perdana film perkawinan dalam semusim. wawancara tempo dengan teguh karya. perkawinan tak selalu menyelesaikan masalah.

23 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEGUH Karya, 39 tahun, baru saja selesai dengan film terbarunya, Perkawinan Dalam Semusim. Selepas pertunjukan perdana untuk pers pekan silam di Jakarta, Teguh yang sadar betul bahwa filmnya yang baru ini barangkali lebih berat untuk dicerna ketimbang film-filmnya yang terdahulu, meminta bantuan para wartawan untuk kampanye. Kata sutradara yang terus hidup membujang itu: "Saya telah berusaha dengan berliku-liku dan sulit menerobos kesadaran baru dari sang produser untuk membuat film sejenis ini, kini saya merasa perlu suatu usaha penyuluh dari saudara dalam menerobos kesadaran baru dari sang masyarakat yang akan jadi penontonnya". Setelah itu, Teguh menyempatkan diri bercakap-cakap dengan dua orang wartawan TEMPO, Eddy Herwanto dan Syarif Hidayat. Berikut ini bagianbagian menarik dari percakapan itu. Tanya: Seperti dalam film-film anda terdahulu, dalam film terbaru anda ini kelihatannya anda menyerang lembaga perkawinan sebagai penyebab malapetaka. Mengapa demikian? Jawab: Meskipun saya bujangan, tapi ya, jangan tanya begitu, dong. Tapi saya sudah mewawancarai beberapa pasangan suami isteri, mereka rata-rata merasa tidak bahagia. Perkawinan ternyata tidak selalu mcrupakan penyelesaian yang menyenangkan. T: Apa sebenarnya yang ingin anda katakan lewat film ini? J: Kalau kita rapi sedikit, maka akan kita temui bahwa dalam hidup ini kita dihadapkan pada serentetan persoalan. Satu selesai datang lagi yang lainnya. Nafas kita cuma semusim kecil, sebab persoalan baru selalu timbul. Tapi masih selalu ada harapan, meskipun kecil. Itu barangkali yang membikin kita betah hidup. T: Masa lalu dan rumah tangga Kardiman (Rahmat Hidayat) dan isterinya (Tuty Indra Malaon) begitu buruk dan berantakan. J: Banyak hal dalam hidup ini yang tidak kita peroleh. Itulah sumber pertentangan dalam keluarga Kardiman. Ini pada hakekatnya adalah gambaran keserakahan. T: Tapi film ini didominasi oleh keberantakan. J: Film modern tidak hanya bicara dengan logika elementer. Logika bukan dibuang, tapi tidak penting. T:Apakah lantaran logika tidak penting maka banyak elemen yang anda masukkan - tokoh Uci, Sari Narulita, sebagai contoh - tapi tidak dikerjakan dengan selesai, bahkan ditinggalkan begitu saja? J: Film ini hanya sebuah ide. Dalam hidup ini kita banyak menghadapi soal yang seakan selesai tapi ternyata belum. T: Anda kelihatan mempermudah pertemuan bekas pemerkosa Aisah (Anissa) dengan Koos dalam rumah mewah Kardiman. Faktor kebetulan ini terjadi juga pada pertemuan Koos dan Nana di rumah yang sama. Bagaimana ini? J: Yang penting adalah ide yang mendukung film itu. Kebetulan-kebetulan itu bisa diabaikan. T: Watak Kardiman yang jahat, kemudian juga watak anaknya, Agus (Herman Masduki) juga demikian. Apakah ini lantaran faktor keturunan atau lingkungan sosial? J: Yang saya ungkapkan adalah watak-watak orang serakah, bukan orang jahat. Ini bukan faktor keturunan, bukan pula faktor lingkungan. T: Apa yang anda ingin capai dengan memasang pemain sama (Anissa Dia Sitawati) untuk dua peranan dalam film anda ini? J: Ilusi. Sesuatu yang membuat kita senang, bahagia. Nana adalah ilusi bagi Koos (Slamet Rahardjo) yang telah kehilangan isteri. T: Antara adegan Nana dan Aisah tidak ada perbedaan pengerjaan, meski yang satu dimaksudkan sebagai kejadian yang sebenarnya, sedang yang lain cuma sekedar ilusi. Bagaimana masaalah gaya? J: Itu bukan percampuran, tapi memang diungkapkan dengan satu gaya. Gayanya adalah realistis. T: Setelah film ini selesai dan anda menontonnya sebagai orang lain menyaksikannya, bagaimana kemudian kesan anda? J: Menurut saya, film ini sebagai tontonan, enak ditonton dan sebagai sarana permainan ide ia sudah mulai nampak. Andai kata saya tidak berkompromi, film ini secara ide bisa lebih murni. Kompromi itu saya tempuh karena saya ingin penonton saya lebih luas. T: Film ini, apakah merupakan langkah maju bagi anda? J: Pokoknya saya tidak lagi mau bikin film manis macam Cinta Pertama. Wim Umboh pun rasanya tidak lagi akan bikin film macam Pengantin Remaja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus