Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktris Mieke Wijaya, 74 tahun, masih mengingat beberapa film yang dia bintangi dan disutradarai oleh Bachtiar Siagian. Mieke ikut membintangi film Tjorak Dunia (1955) dan Piso Surit (1960). Istri aktor Dicky Zulkarnaen ini masih belia saat terlibat dalam film besutan Bachtiar tersebut. "Waktu itu masih belum 20 tahun. Saya kenal dengan Bang Tiar waktu saya syuting film di Studio Garuda, dekat rumah dia," ujar Mieke kepada Tempo, pekan lalu.
Di Tjorak Dunia, Mieke berperan sebagai anak pemilik warung yang buta. Dia bertemu dan jatuh cinta dengan veteran perang yang cacat. Suatu ketika sang veteran bertemu dengan teman veteran yang menjadi dokter. Si gadis dapat dioperasi berkat bantuan dokter dan mereka jatuh cinta. Namun, karena tak cocok, mereka berpisah dan si gadis kembali bersama si veteran.
Sedangkan di Piso Surit, sebuah film yang berlatar budaya Karo, Mieke berperan sebagai mahasiswi yang melakukan penelitian. Ke mana-mana dia naik delman. Rupanya, si tukang delman jatuh cinta kepada si mahasiswi. "Ceritanya kayak lagu Piso Surit juga. Intinya seperti pungguk merindukan bulan gitu," ujar Mieke terkekeh mengingat filmnya itu.
Mieke ingat dia harus menjalani serangkaian audisi yang ketat untuk bisa menjadi pemain film bersama Bachtiar. Dia mengatakan Bachtiar saat itu adalah salah satu sutradara top selain Usmar Ismail. Namun keduanya berbeda ideologi politik. Bagi Mieke, Bachtiar adalah sutradara yang komplet. Tak hanya keras, ketat, dan berdisiplin di lapangan, dia juga kebapakan dan suka bercanda. Meskipun dia mengakui tak ingat lagi bahan candaannya.
Beberapa kali bekerja sama, Mieke cukup dekat dengan Bachtiar. Dia menceritakan selalu diperlihatkan karya-karya yang ditulis Bachtiar. Bahkan tak jarang Mieke sering mendapat cokelat dari Bachtiar. "Dia sayang sama saya, saya juga. Tapi sayangnya yang begitu, untuk mengapresiasi saya sebagai aktris yang punya kemampuan, saya hormati dia sebagai sutradara yang bagus," ujarnya.
Mieke juga mengatakan selalu mendapat tawaran main film dari Bachtiar sebelum menawari pemain lain. Namun, di luar kerja film, Mieke mengaku tak akrab dengan Bachtiar. Dia pun hanya mendengar Bachtiar ditahan di Pulau Buru. Dia sempat bertemu dengan Bachtiar sepulang dari Buru, tapi tak berlanjut. Mieke pun tak tahu ketika Bachtiar sakit dan meninggal.
Pujian juga disampaikan Marjolien Tambajong atau Lientje Tambajong atau lebih dikenal dengan nama Rima Melati, 75 tahun. Rima menjadi aktris dalam film yang disutradarai Bachtiar Siagian: Violetta dan Notaris Sulami. Rima menceritakan saat itu dia diminta ikut main dalam film Violetta. Film ini kemudian pada 2013 menjadi salah satu film yang didigitalisasi. "Wah, saya mau sekali. Beliau bikin film bagus. Bangga juga ditangani sutradara top waktu itu," ujar Rima.
Rima menceritakan bahwa ia mengenal Bachtiar saat usianya masih remaja dan saat itu menjadi seorang model. Di Violetta, Rima dipertemukan dengan aktris Fifi Young dan Bambang Hermanto, aktor yang sedang ngetop saat itu. Film ini bercerita tentang seorang ibu yang terlalu melindungi anaknya terhadap laki-laki karena dia ditinggalkan kekasihnya. Anak gadisnya jatuh cinta kepada seorang tentara, tapi tragisnya si gadis mati tertembak.
Menurut Rima, film garapan Bachtiar kebanyakan film drama tapi tidak cengeng dan sangat "Indonesia". Bachtiar, kata Rima, menggarap sendiri skenario filmnya. Ide-ide filmnya, menurut dia, bertema sosialis tapi bagus. Dia pun dinilai punya idealisme yang tinggi. Menurut dia, Bachtiar sudah mempunyai pandangan sendiri saat membuat film. Bachtiar juga merupakan sosok yang disegani karena cerita film yang dibuatnya.
Rima menilai Bachtiar sebagai sutradara yang keras tapi tidak galak. "Kayak bapak sewaktu dia menjelaskan karakter tokoh yang saya mainkan. Kamu ini begini, lho," ujarnya. Rima juga merasa disayang seperti anak sendiri. Bachtiar juga berdisiplin saat syuting. Semua pemain diarahkan untuk bisa menghafal naskah. Jika ada yang tak hafal, Bachtiar tak langsung marah. "Aduh, ini ngapain aja semalam, ayo coba diulangi," kata Rima menirukan Bachtiar.
Baik Rima maupun Mieke mengatakan tak terlalu tahu banyak kehidupan pribadi Bachtiar di luar film. Mieke hanya mengetahui Bachtiar menikahi Nur Ainah dan Tien, keduanya adalah pencatat naskah film Bachtiar. Sedangkan Rima hanya mengingat istri Bachtiar yang sering dibawa saat syuting adalah seorang perempuan berwajah indo. "Saya lupa namanya, tapi sering ikut karena kami syuting di luar kota," ujarnya.
Rima dan Mieke mengaku tak bergaul dengan Bachtiar sekeluarnya dari Pulau Buru. Pada 1990-an, insan film yang banyak bersinggungan dengan Bachtiar adalah aktor Ray Sahetapy. Ray bersama seniman Arjuna Hutagalung dan beberapa yang lain sering berkumpul dengan Bachtiar Siagian di Studio Oncor yang didirikan Ray Sahetapy di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Di situ Ray mengenal Bachtiar lebih dalam. Ray mengaku sering berdiskusi dengan Bachtiar dan banyak membaca tulisan Bachtiar tentang teater, film, dan akting. "Bagus betul tulisannya. Kagum saya dengan pemikiran dia tentang akting, film, dan sebagainya," ujar Ray.
Saat kumpul-kumpul di Studio Oncor itu, Bachtiar misalnya menulis ulang naskahnya tentang keaktoran yang pernah ditulisnya di Pulau Buru. Judulnya: Penuntun untuk Menjadi Aktor/Aktris yang Baik. Dalam kata pengantar naskah yang belum diterbitkan ini, ia menulis: "Penulis mohon maaf atas segala kekurangan karya ini. Maklum, karya ini ditulis pada tahun 1975, ketika menulisnya berada di sebuah daerah terpencil di mana tak ada perpustakaan atau pun buku bacaan, dan apa yang diketengahkan di sini hanya berdasar ingatan dan pengalaman."
Ray juga mengatakan Bachtiar pernah membuat sebuah skenario komedi situasi berjudul Gara-gara Teledor. Sayang, skenario itu tak dilanjutkan dan diproduksi di televisi. Hingga suatu saat Bachtiar menyerahkan banyak tulisan, artikel, skenario, sajak, dan lain-lain kepada Ray. Karya itu lantas oleh Ray diserahkan kepada keluarga Bachtiar. Dia mengharapkan karya dan pemikiran Bachtiar ini bisa disusun dan diproduksi dalam bentuk buku atau film.
Dian Yuliatuti, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo