Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada yang tersisa dari karya sutradara Bachtiar Siagian di pusat arsip film Sinematek Indonesia, kecuali film Violetta yang diproduksi pada 1962. Film ini telah direkam ke cakram digital pada 2013.
"Cuma ada satu ini filmnya. Data yang lain tidak ada," ujar Budi, petugas di Sinematek Indonesia, kepada Tempo, pertengahan Januari lalu. Tempo pun menonton film yang dibintangi Fifi Young, Rima Melati, dan Bambang Hermanto ini. Rekaman film di cakram pertama sudah kekuningan gambarnya, sedangkan rekaman yang lain lebih baik dalam gambar hitam-putih.
Violetta satu-satunya film Bachtiar yang terselamatkan. Film, skenario, atau data lainnya tak berbekas. Violetta ikut terselamatkan setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Sinematek Indonesia mendigitalisasi 29 film lawas.
Banyak yang tak mengenal nama sutradara ini kecuali mereka yang pernah bekerja sama atau mengenalnya secara dekat. Namanya seperti sengaja dihapus dari jejak sinematografi Indonesia, apalagi Bachtiar pernah menjadi penghuni Pulau Buru. Bachtiar adalah Ketua Seni Film Indonesia di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Bersama tokoh Lekra dan Partai Komunis Indonesia, Bachtiar dibuang ke Pulau Buru setelah peristiwa G-30-S/PKI dan dibebaskan pada awal 1978. Filmnya berjudul Turang dan Piso Surit pun dikabarkan dilenyapkan karena berbau komunis. Dua film ini berlatar belakang budaya Karo, Sumatera Utara.
Pada 1958, Bachtiar membuat Tjorak Dunia. Film ini mempertemukan aktor Soekarno M. Noor dan Mieke Wijaya, yang pada waktu itu masih pendatang baru. Film ini bercerita tentang percintaan antara veteran perang yang cacat bernama Johan (diperankan Soekarno M. Noor) dengan seorang gadis buta, Lela. Si gadis, yang diperankan Mieke Wijaya, penglihatannya bisa pulih berkat teman Johan bernama Ibnu, yang merupakan dokter spesialis mata. Johan merelakan Lela kepada Ibnu yang juga menaruh simpati kepada kekasihnya.
Dari memoar yang ditulis Bachtiar Siagian, yang belum pernah diterbitkan dan diperoleh Tempo dari keluarganya, terdapat informasi film itu dipuji oleh tokoh pendidikan Pak Kasur, yang menjadi anggota Badan Sensor Film. Tjorak Dunia dipuji Pak Kasur sebagai film pendidikan yang bagus. "Film ini sampai diputar di RRC, Korea, dan Vietnam," tulis Bachtiar.
Bachtiar sejak kecil mengenal seni di tanah Deli. Kakeknya Ki Emping dan ayahnya Koempoel Siagian adalah pegawai administrasi di gudang pengiriman tembakau tak jauh dari stasiun kereta api Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kakeknya berasal dari Serang, neneknya berasal dari Bandung. Ayahnya berasal dari Tapanuli Selatan. Bachtiar lahir di Binjai pada 19 Februari 1923. Tapi ia kemudian tinggal bersama kakek-neneknya.
Sejak bersekolah di sekolah dasar di perkebunan, dia mengenal berbagai kesenian, seperti wayang kulit, ketoprak dor, wayang golek, tari pedati, tari randai, ronggeng, dan tor-tor opera Batak. Sejak remaja, dia pun mahir meniup harmonium di orkes gambus yang aktif diikutinya. "Orkes kami sering diundang bermain di pesta. Biasanya kami duduk di tikar atau permadani dari sore hingga larut malam," ujar Bachtiar dalam memoar yang ditulisnya.
Bakat seninya, kata dia, mungkin diperoleh dari ayahnya yang gemar melantunkan syair kisah lama, seperti Puteri Hijau, dan ibunya yang suka bermain harmonium. Saat bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Bachtiar pun membentuk orkes Hawaiian Syncopter dan sering bermain di Istana Binjai.
Dia pun sering diajak ayahnya menonton teater klasik dan opera Barat. Dia pernah menonton Dean's Opera dari Malaya, tonil Miss Riboet, teater Dardanela, Surya Negara, dan Cahaya Andalas. Dia pun mendirikan kelompok drama Kencana. Selain aktif dalam kelompok drama Kencana, dia sempat bermain di kelompok sandiwara Kinsei Hegiden pimpinan Ahmad Jafaar dan kelompok Bintang Emas. Kelompok ini selalu berkeliling ke berbagai kota di seputar Sumatera Utara dan Aceh. Pada zaman Jepang, gara-gara sandiwara itu pula Bachtiar dan kelompoknya sempat ditahan tentara Jepang. Rasa nasionalisme Bachtiar menggumpal saat dia dan kelompoknya sering membuat panggung hiburan untuk para pejuang yang berada di Binjai. Ia kemudian aktif terlibat perjuangan hingga dipilih menjadi Sekretaris Umum Persatuan Perjuangan (Volksfront).
Bachtiar pun terlibat dalam Revolusi Sumatera Timur. Kegiatan itu membawa dia mencari modal membuat koran republik untuk mendukung perjuangan republik di Sumatera Timur. Namun Bachtiar kemudian merasa tidak cocok. Dan mulailah dia melirik dunia film. Dia membuat skenario berjudul Musim Badai.
Memang sebelumnya Bachtiar memiliki pengalaman sedikit di dunia film. Pada zaman Jepang, dia diminta membantu seorang Jepang bernama Tonary Gumi membuat film semidokumenter dengan kamera BW 16 milimeter. Saat di Aceh pun dia sempat mempelajari naskah film Art Pudovkin Book yang berbahasa Cina. Setelah mendirikan Mutiara Film, Bachtiar bekerja dengan peralatan film 35 mm yang bersuara. Karena masih asing, dia pun dibantu beberapa temannya dari Singapura dan Hong Kong yang bekerja di Studio Garuda. "Pengalamanku dengan kamera 16 mm dan teori Pudovkin banyak membantuku."
Bachtiar kemudian pindah ke Jakarta atas rekomendasi Saleh Umar, temannya yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Bachtiar berkenalan dengan Adam Malik, pemimpin kantor berita Antara yang juga mempunyai usaha mengimpor film dari Cina. Bersama Adam Malik, yang mendirikan PT Muara Film, Bachtiar memproduksi film pertamanya, Kabut Desember, yang diubah dari naskah Musim Badai. Film ini dibintangi Sakti Alamsyah dan Dahlia, yang sangat kondang saat itu.
Kabut Desember ternyata lumayan sukses. Dia kemudian mendapat tawaran kerja sama dari Abu Bakar Abdy, pemilik Garuda Film Medan. Kerja sama ini menghasilkan film Melati Sendja, yang dibintangi Lier Noor dan dirinya, dibantu Bing Slamet. Bachtiar bertindak sebagai sutradara sekaligus pemain. Film kembali sukses. Lalu dia memuat film Daerah Hilang, yang bercerita tentang daerah gusuran. "Sayang, film itu kena gunting Badan Sensor Film, sehingga tidak bermakna apa-apa," tulisnya. Secara komersial, film itu dianggap gagal.
Pada 1957, Bachtiar bekerja sama dengan Rencong Film dan Yayasan Gedong Pemuda yang diketuai Kolonel Yamin Ginting, Panglima Bukit Barisan. Film yang diproduksi berjudul Turang, yang bercerita tentang perjuangan rakyat Karo melawan Belanda. Pengambilan film di Tanah Karo, tempat Bachtiar pernah ikut berjuang melawan Belanda. Film Turang dibintangi Nizmah, Omar Bach, Ahmadi Hamid, Hadisjam Tahax, Tuahta Perangin-angin, dan Zubier Lelo. Mereka adalah tokoh teater terbaik di Sumatera Utara saat itu.
Lewat film ini, Bachtiar membuktikan kepiawaian dalam dunia sinematografi. Film tersebut meraih gelar film terbaik dalam Festival Film Indonesia kedua pada 1960 dan Bachtiar menyabet penghargaan sutradara terbaik. Ahmad Hamid pun diganjar gelar aktor pembantu terbaik. Rilis kopi film ini juga diekspor ke Uni Soviet (Rusia), Republik Rakyat Cina, Vietnam, dan Korea. Prestasinya ini membuat banyak pihak tak suka. Bachtiar mengatakan kelompok sutradara Usmar Ismail, Perfini, membenci keberhasilannya dan menyebarkan kampanye bahwa dirinya adalah orang politik yang disusupkan ke film. "Karena anggota Seksi Film Lekra Lembaga Film Indonesia, aku dituduh komunis walaupun aku bukan anggota PKI," ujar Bachtiar.
Dalam memoarnya, Bachtiar menulis dia tak keberatan disebut orang politik karena karya filmnya melukiskan sikap patriotik pejuang dan rakyat jelata membela kemerdekaan. Atau karya yang menggambarkan penderitaan rakyat kecil yang diperlakukan tidak adil dan manusiawi. "Mungkin hati nuraniku banyak dipengaruhi lingkungan aku dilahirkan di perkebunan dan dibesarkan di lingkungan kuli kontrak yang diperlakukan sewenang-wenang."
Bachtiar saat itu juga merupakan anggota pengurus Sarikat Buruh Film dan Senidrama (Sarbufis). Anggotanya artis film, awak teater, pemain wayang orang dan ketoprak, dan sebagainya. Bachtiar kemudian menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Produser Film Indonesia. Mereka membuat Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika (Papfias) untuk memboikot film-film Amerika yang mendominasi bioskop saat itu. Mereka juga merencanakan membuat festival film Asia-Afrika, yang ditentang Perfini.
Selain aktif di kegiatan tersebut, Bachtiar rupanya aktif dalam pelatihan penulisan skenario di Lembaga Pendidikan Film Medan dan mendirikan latihan bidang film di Jakarta. Dia pun aktif menjadi panitia Festival Film Asia-Afrika pada 1964, membuat dokumentasi Konferensi Wartawan Asia-Afrika dan membuat film dokumentasi Anti Pangkalan Asing. Selain itu, dia menjadi bagian delegasi Indonesia dalam Konferensi Perdamaian di Tokyo. Saat itu salah satu anggota delegasinya adalah Utami Suryadarma. "Aku membawa kamera 16 mm dan dibantu teman dari Jepang untuk pencahayaan," ujar Bachtiar. Film itu diserahkan ke Departemen Luar Negeri.
Dia juga akan bersiap pergi ke Kuba dan Afrika untuk membuat promosi film tentang Konferensi New Emerging Forces yang akan dilaksanakan di Jakarta. Sayang, acara tersebut gagal karena peristiwa G-30-S. Bachtiar menjelaskan bahwa ia kemudian pergi ke Bali. Tapi, sepulang dari Bali, dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara Salemba, Tangerang, lalu dikirim ke Nusakambangan dan Pulau Buru.
Bachtiar bebas dari Pulau Buru pada 1977-1978. Pada 1979, di usia yang ke-56 tahun, Bachtiar menikahi Yeni Prastanti (kini 54 tahun) dan dikaruniai tiga anak. Kepada Tempo, Yeni menuturkan bahwa dia istri kedelapan Bachtiar. Menurut Yeni, Bachtiar adalah kawan senasib ayah Yeni, yang juga dibuang ke Pulau Buru. Ayah Yeni dulu adalah ketua paguyuban lurah se-Jawa Timur, sedangkan Bachtiar adalah Ketua Seni Film Indonesia di bawah Lekra.
Ayah Yeni dibebaskan lebih dulu, pada 27 Desember 1977. Rupanya, mereka bertemu lagi setelah Bachtiar dibebaskan pada awal Januari 1978. "Bapak melihat di koran ada Bachtiar. Lalu dicari dan ketemu. Dia lalu diajak ke Tengger dan hidup bertani," ujarnya.
Menurut Yeni, sepulang dari Pulau Buru, Bachtiar melarang keluarganya menonton film Barat. Yeni tak pernah boleh menonton film Barat. Acara televisi yang diperbolehkan untuk ditonton adalah siaran berita. "Kadang-kadang kesal juga, sekali-sekali kan kepingin juga lihat hiburan. Tapi Bapak melarang . Siaran radio pun dipilihkan siaran berita luar negeri," ujar Yeni.
Bachtiar lalu kembali mencari hidup dari dunia film. Dia menerima pesanan untuk membuat naskah atau skenario film, baik film komersial maupun film penyuluhan yang diproduksi oleh instansi pemerintah. Tapi Bachtiar tak menggunakan nama asli karena faktor "keamanan" periuk nasi dan banyak menggunakan nama samaran. Hal ini sayangnya dimanfaatkan oleh mereka yang menggunakan jasa Bachtiar. Akibatnya, naskah atau skenario film dibayar rendah dan seenaknya. "Cukup hanya untuk makan dan bayar kontrakan," ujar Yeni. Pemasukan yang tak menentu itu membuat mereka berpindah-pindah kontrakan. Bachtiar juga masih tetap melakukan wajib lapor seminggu sekali ke aparat setempat. Pernah ada kejadian, dia tak melapor. Dia lalu diusir dari kontrakannya.
Menurut Yeni, Bachtiar tak menuntut berapa besar bayaran untuk membuat skenario film itu. Bachtiar diam karena tertindas keadaan. Ia berprinsip yang penting pikirannya masih dipakai. Adapun waktu yang dibutuhkan untuk membuat naskah pesanan lumayan cepat. Sutradara sepuh ini selalu mengetik naskah pesanan pada malam hingga dinihari. Yeni masih mengingat bunyi ketukan tuts mesin ketik itu. Sebelum tidur, dia menyiapkan hal wajib untuk menemani suaminya mengerjakan naskah. "Dua termos air panas, kopi, gula. Kadang-kadang camilan ubi, pisang goreng, tape goreng kalau ada. Supaya tidak mengganggu tidur saya," ujar Yeni tertawa kecil.
Pada subuh, biasanya Bachtiar sudah selesai dengan naskahnya. Setelah salat, dia menyapu halaman dan menunggu nasi uduk. Pagi harinya, dia kadang membeli makanan kecil kesukaannya, ketan dan pisang goreng. Setelah itu, baru dia tidur hingga menjelang tengah hari.
Pada 1996-1997, ekonomi keluarga ini agak membaik. Bachtiar mendapat banyak pekerjaan saat ia berkenalan dengan Ray Sahetapy dan Dewi Yull, yang memiliki beberapa proyek sinetron. Pemasukan lumayan lancar. Namun tiba-tiba situasi politik mulai berubah. Pembuatan film mulai seret, harga-harga mulai melonjak, dan krisis moneter melanda. Dalam waktu singkat, ekonomi keluarga ini porak-poranda. Situasi politik membawa perubahan yang cukup dahsyat bagi keluarga ini. Bachtiar seperti terseret dalam trauma masa lalu dan tak lagi punya semangat. Sejak 1998, kesehatannya pun mulai menurun kemudian meninggal pada 19 Maret 2002. Bachtiar dimakamkan di tempat pemakaman umum Kalimulya, Depok, Jawa Barat.
Dian Yuliastuti
Skenario hampir semua film yang disutradarai Bachtiar dibikin sendiri. Berikut karyanya di dunia sinema.
Filmografi
Kabut Desember (1955)
Pemeran: Dahlia, Sakti Alamsyah
Melati Senja (1956)
Pemeran: Lies Noor, Bing Slamet
Daerah Hilang (1957)
Pemeran: Soekarno M. Noor
Tjorak Dunia (1958)
Pemeran: Mieke Wijaya, Soekarno M. Noor
Turang (1959)
Pemeran: Nizmah, Zoubier Lelo, Ahmadi Hami(Film Terbaik FFI 1960)
Baja Membara (1960)
Memburu Hantu (skenario 1961)
Pemeran: Farida Ariani, Arifin, Alu Yugo, Sofia Waldy
Kamar Tiga belas (1962)
Notaris Sulami (1962)
Pemeran: Fifi Young, Rima Melati
Membangun Hari Esok (1963)
Pemeran: Dicky Zulkarnaen, Nani Wijaya
Piso Surit (1964)
Violetta (1964)
Pemeran: Bambang Hermanto, Rima Melati, Fifi Young
Sekejap Mata (1964)
Pemeran: Mieke Wijaya, Ahmady Hamid
Karya Skenario Film di Zaman Orde Baru, tanpa Nama
Karya Semidokumenter di zaman Orde Baru, tanpa Nama
Karya Sinema Elektronik
Karya Film Dokumenter 16 Mm (1955-1981)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo