Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Saksi Mata Penculikan Amir Hamzah

Bachtiar Siagian ternyata mengetahui detik-detik ditangkap dan dibunuhnya penyair Amir Hamzah di Binjai. Catatan hariannya yang belum diterbitkan mengungkapkan hal itu.

9 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amir Hamzah adalah nama pena dari Tengku Amir Hamzah Pangeran Indra Putra. Sastrawan yang digelari Raja Penyair ini termasuk Angkatan Poedjangga Baroe. Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, dan Setanggi Timur adalah sedikit contoh dari banyak karyanya yang begitu terkenal. Amir lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari 1911, dari keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat. Amir menikah dengan Tengku Puteri Kamiliah, putri tertua Sultan Langkat, Sultan Machmud. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Gubernur Tengku Muhammad Hasan memilih Amir sebagai wakil pemerintah RI di Langkat.

Pada 3 Maret 1946, pecah revolusi sosial yang tidak mengakui keberadaan kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Istana Tanjung Pura kediaman Sultan Langkat diserbu, penghuni laki-laki dan perempuan dipisahkan. Istana Binjai kediaman Amir pun tak luput dari penggerebekan.

Amir ditangkap pada 7 Maret 1946. Ia dibawa ke sebuah perkebunan yang dikuasai faksi komunis di Kuala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai. Ia diyakini dieksekusi pancung pada lewat tengah malam, 20 Maret 1946. Pada November 1949, sebuah kuburan dangkal dibongkar. Di dalamnya ada delapan mayat. Salah satunya memakai cincin kecubung dan dua giginya tanggal. Itulah kerangka Amir. Kerangka itu dikuburkan di pemakaman keluarga kerajaan di samping Masjid Azizi. Dengan Keputusan Presiden Nomor 106 Tanggal 3 November 1975, Amir Hamzah ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Selama ini bagaimana Amir Hamzah menemui ajalnya itu masih menjadi misteri. Ternyata sedikit-banyak memoar Bachtiar Siagian (19 Februari 1923-19 Maret 2002) bisa mengungkapnya. Peristiwa pembunuhan Amir Hamzah itu ditulis Bachtiar cukup panjang. Berikut ini nukilannya yang diambil Tempo dari memoar Bachtiar Siagian yang belum diterbitkan dengan seizin keluarganya.

Waktu itu tanggal 3 Maret 1946. Aku memimpin pertunjukan drama di panggung bioskop Deli, Binjai, dengan judul Darah Rakyat. Tema itu menyikapi penderitaan rakyat di bawah penindasan penjajahan dan feodalisme, penderitaan yang akhirnya menimbulkan kebencian dan semangat perlawanan. Pengunjung pertunjukan itu sebagian besar adalah anggota Laskar Rakyat Medan Area. Ada Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), Hisbullah, Barisan Merah, Barisan Harimau Liar, dan TKR/TNI. Area di depan panggung penuh sesak oleh pemuda pejuang itu. Mereka menyambut setiap adegan dengan hangat. Pertunjukan itu dimulai sekitar pukul 08.30 dan berakhir menjelang pukul 23.00.

Sebelum pertunjukan, aku mendengar berita yang agak mengagetkan. Semua anggota Laskar Rakyat diperintahkan siap sedia. Aku, yang waktu itu menjabat Sekretaris Umum Persatuan Perjuangan (Volksfront) Kabupaten Langkat, segera menghubungi teman di bagian penyelidikan yang juga hadir di pertunjukan malam itu. Dari dia, kuperoleh keterangan memang ada instruksi rahasia dari Markas Agung di Medan, bahwa pukul 00.00 itu semua daerah kerajaan di Sumatera Timur tidak diakui lagi kekuasaannya oleh rakyat.

Aku sendiri masih ragu terhadap desas-desus itu. Apakah instruksi itu benar-benar ada? Keraguan itu mungkin timbul karena pada pertengahan Februari yang lalu, beberapa pengurus Volksfront, antara lain H. Abd. Wahab dari Masyumi, Alaudin Samah (PNI), Yusuf Malik (adik Adam Malik), dan aku sendiri, mewakili Pesindo, mendesak Sultan Langkat agar menurut kepada bunyi Undang-Undang Dasar Republik Pasal 2 ayat 18: "Diakui haknya sebagai daerah Istimewa untuk membentuk sebuah Badan Perwakilan Rakyat yang menampung aspirasi masyarakat dan mendampingi Pemerintah dalam melaksanakan pemerintahan."

Berdasarkan hal itu, Tengku Amir Hamzah—penyair kita yang terkenal dan menantu Sultan Langkat—ditunjuk sebagai wakil pemerintah Republik di daerah tersebut. Dalam pertemuan antara Tengku Amir Hamzah dan delegasi dari Volksfront, di Istana Pangeran—di belakang Istana Langkat—Tengku Amir Hamzah menyatakan bahwa dia akan menyampaikan usul itu kepada Sultan. Kabarnya Sultan sudah setuju dan segera menugasi sekretarisnya, O.K. Djamil, untuk mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil rakyat.

Ternyata O.K. Djamil, yang kemudian diketahui sebagai agen NEFIS (dinas rahasia Belanda), tidak setuju dengan usul tersebut dan tidak mengundang wakil-wakil rakyat seperti yang diinstruksikan Sultan. Pengurus Volksfront yang menyampaikan tuntutan itu menunggu-nunggu dan undangan itu tak pernah datang. Akhirnya Markas Agung Persatuan Perjuangan mengambil keputusan tidak mengakui semua kesultanan di Sumatera Timur dan pecahlah peristiwa 3 Maret malam itu.

Sekitar pukul empat pagi tanggal 4 Maret, Laskar Rakyat menyerbu Istana Sultan (Istana Tanjung Pura) dan menurunkan bendera kerajaan yang berwarna kuning dan menggantikannya dengan Sang Dwi Warna. Istana diobrak-abrik. Lemari pakaian sultan yang panjangnya hampir sepuluh meter diobrak-abrik oleh laskar dan masing-masing mengganti celana "goni" mereka dengan salah satu pakaian sultan.

Aku sendiri yang tahu siapa Tengku Amir Hamzah, yang syair-syairnya sangat terkenal dan kukagumi. Segera aku memintanya untuk mengikutiku. Tapi laskar yang lain hanya tahu dia adalah seorang musuh rakyat. Aku khawatir keselamatan jiwanya terancam. Maka kularikan dia dengan sebuah sedan, yang kukendarai sendiri dengan dikawal seorang pengawal. Tengku Amir Hamzah duduk di sampingku.

Menjelang dinihari, Tengku Amir Hamzah kemudian kutitipkan di sebuah markas laskar di Kebun Lada, Binjai Utara, yang penjaganya sangat kukenal baik, seorang buruh perkebunan. Kepada kepala markas itu, aku instruksikan agar siapa pun tidak diperbolehkan memeriksa atau mengambil orang tahanan tersebut. Kepala markas itu berjanji akan melaksanakan instruksi tersebut. Kemudian keesokan harinya aku menginstruksikan kepada salah seorang petugas untuk menghubungi istri Tengku Amir Hamzah, Tengku Puteri Kamiliah, untuk mengirimkan makanan bagi Tengku Amir Hamzah.

Aku merasa agak tenang karena dapat menyelamatkan Tengku Amir Hamzah dari gilasan revolusi. Selain menantu Sultan, dia adalah penyair kenamaan. Setelah itu soal keamanannya kuserahkan kepada Arifin. Sebagai kepala siasat ketika itu, Arifin sendiri tahu siapa dan arti penting Tengku Amir Hamzah sebagai penyair. Aku memang bertekad mengupayakan keamanannya. Sebab, sebagai Sekretaris Umum Volksfront, aku sangat sibuk. Apalagi di Tanjung Pura ada kejadian yang harus ditangani.

Tapi harapan itu kiranya sia-sia belaka karena terjadi peristiwa-peristiwa di luar dugaan yang menyebabkan terpecahnya kekuatan Barisan Laskar Rakyat ketika itu. Peristiwa itu berawal dari kaburnya O.K. Djamil—yang menyabot perintah Sultan untuk mengadakan pertemuan dengan wakil rakyat. Dia berlindung ke kamp NICA di Medan. Kejadian lain dipicu oleh perlakuan tidak senonoh Ketua Umum Volksfront yang sekaligus Ketua Umum Pesindo, Saudara Usman Parinduri, yang menggagahi putri sultan.

Kejadiannya berlangsung di Maskas Istimewa Nomor 2L, yang terletak di Simpang Jalan Bengkatan, Kampung Tambung, Binjai, tak jauh dari Rumah Sakit Bengkatan. Aku mencari Ketua Umum ke sana sekitar pukul 22.00. Begitu aku tiba, seorang pengawal melaporkan bahwa Ketua Umum Usman Parinduri berada di kamar sedang memeriksa seorang putri sultan yang bernama Tengku Ajrun. Mereka sudah berjam-jam ada di kamar itu. Pengawal itu menyampaikan pesan tak seorang pun diperbolehkan masuk ke kamar tersebut.

Aku mulai curiga dan rupanya beberapa pengawal yang ada di situ pun curiga, tapi tak berani berkata apa-apa. Salah-salah bisa kehilangan nyawa. Kuanggap perbuatan ketua umum itu tidak tepat. Mengapa dia yang harus memeriksa anak sultan tersebut? Mengapa bukan bagian penyelidik saja yang melakukannya dan mengapa dia melarang siapa saja masuk ke kamar? Karena penasaran, akhirnya aku menunggu di luar.

Sekitar pukul 04.30, Ketua Umum keluar dari kamar dan agak kaget begitu melihat kehadiranku. Lalu Putri Sultan yang berkacamata keluar dari kamar. Wajahnya muram bekas menangis. Dengan agak gugup, Ketua Umum menyuruh aku mengantarkan gadis itu. Ketika berjalan ke mobil melalui halaman yang agak luas, gadis itu berjalan secara tak wajar, seolah-olah menahan sakit luar biasa. Aku antar gadis itu ke rumah salah satu keluarganya yang berada di dekat lapangan bola. Lalu aku pergi dengan perasaan jengkel dan kecewa. Aku yakin gadis itu telah digagahi oleh ketua umumku. Mengapa revolusi menggagahi seorang gadis? Aku memprotes dalam hati.

Siangnya, kejadian itu kusampaikan kepada beberapa pengurus Volksfront yang lain, di antaranya H. Abd Wahab, Alaudin Samah, dan Joembak. Seminggu kemudian, Volksfront memutuskan menangkap Usman Parinduri. Diambil keputusan untuk menghukum ketua umum itu dengan hukuman mati karena telah merusak tujuan revolusi.

Selain menjadi anggota dan Ketua Umum Pesindo, Usman Parinduri tergabung dalam Barisan Harimau Liar—organisasi yang dibangun oleh pemuda-pemuda yang dilatih di Takipat, pimpinan Jayob Siregar dan Saleh Umar dengan supervisi Kapten Inoue. Teman-teman Usman Parinduri dari Barisan Harimau Liar yang sedang berada di gunung membelanya. Mereka mengirim sepasukan laskar ke Binjai dan dengan paksa membebaskan Usman Parinduri dari penjara dan membawanya ke daerah Pancuran Batu, markas mereka. Sementara itu, laskar di Kebon Lada terpengaruh dan memihak Barisan Harimau Liar. Pada saat itulah Tengku Amir Hamzah dibunuh.

Pada suatu ketika aku mendapatkan laporan bahwa Usman Parinduri mendatangi Sultan di istananya setelah kekuasaannya tidak diakui lagi oleh rakyat. Dia memaksa Sultan agar menikahkan putrinya dengan dia dan dua putrinya yang lain dengan dua pengawalnya. Karena paksaan itu, Sultan akhirnya melakukannya. Mendengar laporan itu, aku segera berangkat malam-malam ke Tanjung Pura dengan dua pengawal. Sesampai di Tanjung Pura, aku segera mencari Usman Parinduri. Di markasnya tak ada, aku pun mencarinya ke istana sultan. Istana dijaga ketat oleh pasukan Barisan Merah dengan instruksi tak seorang pun diperbolehkan memasukinya. Pesan untuk bertemu yang kusuruh disampaikan melalui pengawalnya dijawab Usman dengan penolakan.

Aku pun pulang ke Binjai menjelang dinihari. Hati kecilku mulai yakin bahwa laporan mengenai Usman Parinduri yang sewenang-wenang adalah benar. Keesokan harinya dilaporkan bahwa Usman Parinduri membawa putri sultan ke sebuah perkebunan di sekitar Batang Serangan yang dijaga ketat oleh Pasukan Barisan Merah. Karena Usman Parinduri tetap menolak dipanggil, pengurus Volksfront mengambil keputusan untuk menggempur markas tersebut dan menangkapnya.

Suatu pasukan Ksatria Pesindo bersenjata lengkap di bawah pimpinan Sahadi menggempur tempat itu. Pasukan Barisan Merah menyerah kalah dan Usman Parinduri ditangkap. Setelah diperiksa di hadapan pengadilan rakyat yang diketuai oleh O.K.H. Salamudin, Usman dijatuhi hukuman mati. Sebelumnya, Usman mengajukan pleidoi. Secara terus terang dia mengakui tindakannya itu atas dasar dendam. Ketika dia kecil, ibunya diambil secara paksa dan dijadikan semacam gundik di istana.

Usman Parinduri merupakan kawan dekatku ketika aku sering ke Tanjung Pura. Dia memang aktif di Partai Komunis Indonesia dan pekerjaan sehari-harinya sebagai tukang jahit. Dia telah beristri dan mempunyai dua anak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus